Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Islam, Komunisme, dan Bencana Ingatan Kolektif

27 September 2017   16:44 Diperbarui: 28 September 2017   10:21 4567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu-satunya tragedi kemanusian sepanjang sejarah republik ini yang sulit sekali dilupakan adalah konflik berdarah yang terjadi antara umat Islam dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyaknya cerita yang tersebar mengenai pembantaian yang dilakukan oleh masing-masing kelompok, telah menancapkan ingatan yang kuat---baik mereka sebagai pelaku maupun korban---yang belakangan ini justru menemukan momentumnya setelah maraknya isu soal kebangkitan kembali komunisme. 

Sulit untuk dipungkiri, Islam dan komunisme tampaknya menjadi seteru abadi yang menjadi bencana sejarah ingatan kolektif atas suatu tragedi konflik. Rekonsiliasi nampaknya terlampau sulit dilakukan, karena masing-masing belum dapat diyakinkan bahwa tragedi kemanusiaan itu tak akan terulang lagi.

Tak hanya sebatas ingatan kolektif mengenai konflik, keberadaan komunisme sebagai sebuah ideologi politik seringkali dipertentangkan dengan agama, karena komunisme identik dengan atheisme yang menganggap agama adalah "musuh". Entah apakah karena Karl Marx pernah menyatakan "agama adalah candu bagi masyarakat" sehingga komunisme kemudian dianggap memusuhi agama, yang dalam hal ini agama Islam. 

Berbagai peristiwa sejarah kelam soal pembantaian umat Islam oleh simpatisan PKI digambarkan sedemikian mengerikan, sehingga bisa saja muncul semangat balas dendam yang selalu saja menguat kembali dari masa kemasa. Diakui maupun tidak, Islam dan komunisme di negeri ini, sepertinya masih terpengaruh oleh dosa-dosa masa lalu yang sulit sekali dihapus, meskipun masing-masing telah saling meminta maaf.

Para eks PKI justru semakin tertekan, padahal mereka bukanlah pelaku, tapi terlanjur mewarisi dosa-dosa pendahulunya yang dicitrakan sebagai tetap "komunis" yang memusuhi agama, walaupun pada kenyataannya mereka sesungguhnya juga beragama. Belakangan muncul isu akan diadakannya demonstrasi oleh umat muslim, di mana di antaranya menegaskan penolakan atas isu kebangkitan komunisme yang dipersoalkan melalui pemberlakuan Perpu nomor 2 tahun 2017 tentang ormas. Isu kebangkitan komunisme sepertinya menjadi isu utama yang digarap oleh aksi pada tanggal 29  September nanti dan dipastikan, slogan-slogan "ganyang PKI dan antek-anteknya" akan menggema dahsyat jika demo ini benar-benar terlaksana.

Mempertentangkan Islam dengan komunisme untuk kasus Indonesia, nampaknya berangkat dari sebuah ingatan kolektif tragedi kemanusiaan tahun 1965-1966, dimana persepsi komunis adalah "musuh agama" sehingga keberadaannya tak boleh hidup kembali. Ingatan kolektif atas peristiwa konflik yang memicu kebencian dan permusuhan, justru menjadi bencana kebangsaan jika tak dapat diselesaikan. Kita sepertinya terus memelihara bencana itu, tanpa ada keinginan untuk mengantisipasi bahkan menanggulanginya. 

Upaya-upaya konstuktif ke arah rekonsiliasi, dengan membuka fakta sejarah soal kebenaran sesungguhnya terhadap tragedi 52 tahun yang lalu atau berdamai, sepertinya tak akan pernah terwujud. Padahal, memaafkan setiap kesalahan, terlebih mendamaikan akibat konflik-konflik masa lalu, pernah ditunjukkan Rasulullah ketika peristiwa Fathu Mekkah.

Ingatan kolektif soal tragedi kemanusiaan antara umat Islam dan PKI, memang berhasil dipropagandakan oleh rezim Orde Baru, bahkan secara nyata, penguasa "memanfaatkan" umat Islam pada waktu itu untuk "membereskan" siapa saja yang mendukung PKI. Pembantaian massal para pendukung PKI bukanlah isapan jempol, termasuk keterlibatan partai pimpinan D.N Aidit ini mengeksekusi umat muslim, khususnya para santri dan ulama yang tercatat dalam bingkai sejarah. 

Entah kenapa sulit sekali membereskan bencana ingatan kolektif ini, karena masing-masing memang diklaim sebagai "korban" sekaligus juga "pelaku". Kedua indikator ini memang sulit dipertemukan, terlebih di alam demokrasi yang masing-masing menuntut keadilan ditegakkan.

Rekonsiliasi sepertinya hanya mimpi di siang bolong, sulit menjadi kenyataan bahwa bangsa ini terbebas dari ingatan kolektif yang membelenggu secara turun-temurun, baik umat muslim maupun eks PKI yang masing-masing terus menuntut keadilan. Sepertinya kebanyakan diantara kita mudah sekali menciptakan "musuh", padahal musuh abadi yang diajarkan oleh semua agama adalah setan, yang justru seringkali tanpa sadar mengalir senada dengan aliran darah kita sendiri. 

Sulit rasanya mendamaikan antara Islam dan Komunisme, padahal dalam sejarah Islam sendiri, berbagai tragedi kemanusiaan, baik yang terjadi akibat peperangan atau permusuhan, akan terbangun sebuah peradaban karena satu sama lain saling memaafkan dan melupakan. Saya kira, agar ingatan kolektif soal tragedi 1965 ini tidak menuai bencana lebih besar, memang perlu sama-sama saling menyadari, enough is enough, akhiri bencana sejarah ini dengan rekonsiliasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun