Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mana yang Kamu Pilih, Sukses atau Bahagia?

17 September 2017   22:54 Diperbarui: 18 September 2017   14:56 1839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Terkadang dalam menjalani kehidupan bagi seseorang harus memilih diantara sukses dan bahagia. Bahkan ketika ditanyakan apakah mau sukses atau bahagia, keduanya menjadi paket yang harus diambil, karena ketika yang dituju hanya kesuksesan belum tentu kebahagiaan didapatkan, begitupun sebaliknya. Sukses, mungkin secara sederhana berarti tercapainya keinginan atau tujuan seseorang yang memang telah terencana sejak awal untuk terus mewujudkannya. 

Seseorang yang bertujuan menjadi PNS misalnya, ia akan terus berjuang mewujudkan keinginannya hingga mencapai kesuksesan menjadi PNS dan tentu saja termasuk beragam jenjang karir yang diperolehnya. Namun, apakah setelah mencapai puncak kesuksesan dirinya bahagia? Itu ternyata persoalan lain, karena ada juga seseorang yang dianggap sukses tetapi hidupnya tak pernah bahagia.

Setiap orang pasti ingin bahagia, bahkan tidak saja bahagia di dunia, tetapi juga bahagia di kehidupan lainnya di akhirat. Kebahagiaan juga tak bisa diukur dari kesuksesan, karena bisa saja ada orang yang bahagia, tetapi dirinya tak pernah sukses. Seseorang, misalnya, tetap bahagia dan bersyukur menjadi pegawai kontrak dalam sebuah instansi pemerintahan, walaupun dirinya tak pernah berkesempatan diangkat menjadi PNS. Kebahagiaan juga tak bisa diukur oleh banyaknya materi yang dimiliki, karena banyak orang yang berkelebihan materi tetapi justru hidupnya penuh derita, tak pernah mengalami kebahagiaan. Bahagia berarti menerima apa adanya atas apa yang seharusnya dia terima, walaupun banyak keinginan dirinya yang belum terwujud.

Bagi saya, sukses dan bahagia memang seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, keduanya harus bisa diraih atau minimal mewujud dalam realitas kehidupan. Tak cukup rasanya, sukses saja atau bahagia saja, karena jika perlu keduanya harus ada dan menjadi bagian dari kehidupan diri kita sendiri. Walaupun pada kenyataannya, dorongan untuk meraih kesuksesan dalam karir nampaknya lebih kuat dibanding dengan keinginan mendapatkan kebahagiaan. Lihat saja, betapa hidup penuh kompetisi, berjuang meniti kesuksesan, walaupun kebahagiaan terkadang dikorbankan, baik kebahagiaan diri sendiri terlebih kebahagiaan orang lain. Dalam soal memburu jabatan saja, kecurangan selalu saja ada, entah sengaja menyalip, menyingkirkan lawan, "membeli" jabatan bahkan dengan cara menghilangkan kebahagiaan orang lain.

Dunia bekerja adalah dunia kompetisi yang bisa saja menjadi "dunia perang" yang menguji berbagai strategi atau taktik untuk tujuan menjatuhkan lawan. Perang, berarti menganggap setiap kompetitor kita adalah "musuh" yang harus kita lenyapkan atau minimal kita jatuhkan kredibilitasnya. Prinsip sukses akan dihadapkan pada kondisi "perburuan" meniti jenjang karir ke tahap yang lebih tinggi dan setiap pekerja akan "dipaksa" mencapainya. Fenomena ini jelas ada dalam realitas dunia kerja, terutama yang seringkali kita saksikan dalam berbagai institusi di pemerintahan. Jangankan mereka yang sudah sukses memperoleh jabatan penting, para pegawai kontrak-pun rasanya berlomba-lomba meraih sukses ke tahap lebih nyaman, entah itu menjadi pegawai tetap pemerintahan atau berjuang untuk meningkatkan status kepegawaiannya menjadi PNS.

Dorongan seseorang untuk meraih kesuksesan sekaligus memperoleh kebahagiaan dalam lingkup pekerjaan, memang harus dapat dijembatani melalui proses penyadaran berkala yang diinisiasi oleh perusahaan atau instansi dimana seseorang itu bekerja. Inilah yang kemudian seringkali dilakukan oleh setiap perusahaan atau instansi pemerintahan membangun karakter setiap pegawainya agar memiliki ikatan emosional sekaligus kultural yang terlembagakan dalam iklim dan dunia kerja nyata. Sehingga, friksi yang muncul akibat kompetisi jabatan antarpekerjanya atau terlampau sulitnya menemukan dan memperoleh kebahagiaan terkait dunia kerja, dapat dengan mudah terkondisikan.

Hal ini saya rasakan, ketika mengikuti Pelatihan Pengembangan Kompetensi Pegawai UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di Cianjur, Jawa Barat. Acara yang diinisiasi oleh civitas akademika UIN Jakarta ini, memang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi setiap pegawainya agar selalu disadarkan soal makna kesuksesan dan kebahagiaan. Sukses dalam meniti karir memang harus linier dengan nuansa kebahagiaan yang didapatkan, bukan saja kebahagiaan bersifat personal, tetapi justru bagaimana dapat memberikan dampak kebahagiaan kepada pihak lainnya. Kompetensi bagi saya adalah "kemanfaatan", dimana setiap pekerjaan yang dilakukan oleh setiap pegawai UIN Jakarta justru akan bernilai manfaat, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi lebih dari itu, bermanfaat bagi orang atau pihak lain. Ketika kemanfaatan itu nyata dan dirasakan, maka disitulah kebahagiaan diraih, yang tak mungkin dapat diukur oleh nilai materi, baik uang maupun kedudukan.

Kegiatan yang berlangsung selama dua hari (15-16/9/2017) di Hotel Via Renata, Cimacan, Cianjur memberikan kesan yang cukup kuat, soal bagaimana penyadaran itu tumbuh, baik soal kebersamaan, kekompakan, bahkan nilai-nilai integritas dan kejujuran. Berbagai materi yang disuguhkan dari mulai soal sistem dan mekanisme kepegawaian yang diatur dalam instansi pemerintahan hingga masalah pembangunan karakter bagi pegawai disambut antusiasme pegawai yang saat itu berjumlah kurang lebih seratus orang. 

Kegiatan yang dikhususkan bagi para pegawai administrasi di lingkungan UIN Jakarta ini, merupakan rangkaian dari berbagai kegiatan yang juga akan melibatkan para direktur atau ketua lembaga, bahkan para petugas keamanan dan pramusaji. Departemen Kepegawaian UIN Jakarta nampaknya menginginkan agar kompetensi seluruh pegawai dapat mengalami peningkatan dan perbaikan, minimal penyadaran agar yang terpenting adalah soal bagaimana setiap pekerjaan yang dilakukan dapat memberi banyak kemanfaatan.

Kondisi dunia kerja di lingkungan UIN Jakarta bisa saja memiliki kesamaan dengan instansi lainnya yang bernaung dibawah pemerintahan RI. Banyak persoalan pegawai yang belum terselesaikan, entah itu karena lambatnya jenjang karir, friksi akibat kompetisi jabatan, mimpi para pegawai honorer untuk dapat diangkat menjadi PNS dan lain-lainnya. 

Seluruh permasalahan ini, saya kira akan lebih mudah terselesaikan melalui program peningkatan kualitas pegawai dengan cara mengiventarisir persoalan dan memberikan solusi terbaik melalui pemahaman dan penyadaran pada  setiap pegawainya. Ikatan-ikatan emosional, baik antara pimpinan dan yang dipimpin atau antarpegawainya, justru akan lebih mudah terbentuk dan memperkuat simpul-simpul kebersamaan dan menciptakan jejaring yang kuat bagi keutuhan sebuah organisasi. Kekuatan sebuah organisasi jelas terletak pada attitude, system, leaderdan people-nya, sehingga kompetensi atau kemanfaatan, jelas terkait erat dengan attitude dan juga pembangunan people dalam memajukan organisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun