Kasus kematian bayi Debora yang viral, seakan mengangkat lagi cerita lama soal rumah sakit yang lebih menghargai duit daripada nyawa manusia. Saya kira, ini bukan kasus pertama yang terungkap, jutaan kasus serupa lainnya malah seperti dipeti-eskan, raib tanpa bekas. Jika ditanyakan kepada setiap orang, pernahkah mengalami hal serupa ketika sakit? Saya rasa jawabannya pasti pernah.Â
Saya pun demikian, mungkin 3 atau 4 kali harus adu mulut dulu dengan petugas rumah sakit, gara-gara persoalan duit, padahal kondisi darurat harus segera ditangani. Saya kira, siapapun pernah merasakan hal yang sama, dimana soal duit adalah hal utama dan pertama daripada menolong nyawa atau minimal membuat orang sakit menjadi lebih tenang.
Apalah arti sebuah aturan atau undang-undang soal kesehatan sebagaimana disebut dalam UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009, khususnya pasal 190 dan 191 jelas akan memidanakan tenaga kesehatan yang tidak memberikan pertolongan pertama pada pasien dalam keadaan gawat darurat. Masalahnya, siapa yang dapat memastikan seseorang dalam kondisi gawat darurat? Lha, wong saya pernah berada di ruang ICU di sebuah rumah sakit, melihat pemandangan orang-orang terluka karena kecelakaan beruntun, tanpa pertolongan sama sekali. Bahkan, ketika saya coba bertanya, katanya mereka yang kesakitan hampir mati belum bisa ditindaklanjuti karena siapa yang akan bertanggungjawab? Ah, lagi-lagi duit lebih berharga daripada nyawa seorang manusia.
Saya kira, memang perlu ada reformasi menyeluruh soal tata-kelola rumah sakit yang seharusnya lebih menghargai nyawa manusia dibanding duit. Saya terkadang tak habis pikir, soal rumah sakit yang masih saja bicara soal rugi materi, dibanding menjadi pahlawan karena berhasil menyelamatkan nyawa manusia.Â
Bukankah manusia memang diciptakan untuk saling membantu? Saling menolong? Terlebih persoalan nyawa yang semestinya dipertahankan habis-habisan tanpa berpikir soal materi? Jika melihat bangsa lain, sungguh nyawa itu sangat berharga, bahkan tidak hanya nyawa manusia, binatang sekalipun tak luput didahulukan keselamatannya, jika memang jelas nyawanya terancam.
Saya kira, bangsa ini adalah bangsa agamis, penganut tepo-seliro yang tinggi dan begitu sangat respek terhadap tolong-menolong atau gotong-royong. Namun, kenyataannya sungguh paradoks: budaya tolong-menolong nampaknya tak berbanding lurus dengan kepentingan pribadi yang selalu mendewakan duit. Segala hal diukur oleh ada tidaknya duit, bukan oleh mental penolong yang semestinya tertanam kuat dalam setiap orang Indonesia.
 Yang menyakitkan, kita yang sudah dibekali oleh asuransi semisal BPJS, selalu saja dipandang sebelah mata, sebagai warga "kelas dua" yang harus menunggu antrian, bahkan tak jarang disuguhkan pelayanan yang kurang mengenakkan. Ini adalah realitas dalam dunia kesehatan kita, sepertinya benar ada ujaran, "orang miskin dilarang sakit", karena betapa sulitnya akses kesehatan yang diperoleh mereka.
Lalu, kita harus mengeluh kepada siapa? Jangan-jangan ketika kita sampaikan keluhan atau protes, kita sendiri yang dilaporkan mencemarkan nama baik, dan dijerat pasal UU ITE yang terkenal "luwes" itu. Satu-satunya jalan yang terbaik jelas mengalah, toh kita sebenarnya berada pada posisi serba salah: butuh pengobatan dan juga ingin cepat sehat, gak masalah walaupun pelayanannya "kurang sehat".Â
Saya kira kebanyakan dari pemangku kepentingan juga seperti menutup mata, seolah tak mau tahu soal pelayanan kesehatan walaupun sering dikeluhkan masyarakat. Barangkali, inilah cermin dimana soal sakit dan sehat hanya berpihak pada mereka yang berduit, tetapi mencampakkan mereka yang memang tak punya atau kekurangan duit.
Menarik membahas soal bagaimana cara kita memperlakukan orang yang sakit, karena dalam agama Islam, orang sakit wajib dihibur dan digembirakan. Menengok orang sakit, sama dengan mendekatkan diri pada Tuhan, karena Tuhan ada bersama diantara orang-orang yang sedang sakit. Jadi, tak perlu harus jauh-jauh jika ingin berdekatan dengan Tuhan, karena dengan mengunjungi orang sakit, jelas Tuhan semakin dekat dengan kita.Â
Jika setiap orang disadarkan atas kenyataan agama seperti ini, sebagai masyarakat yang lekat dengan nuansa religius, sudah seharusnya menghibur dan memberikan kegembiraan kepada yang sakit, jelas perintah agama. Lalu, kenapa masih terjadi saja orang sakit yang ditelantarkan karena faktor ekonomi? Berarti ada yang salah dengan pemahaman mereka terhadap agama mereka sendiri.