Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haji Mabrur itu Seperti Apa?

8 September 2017   10:26 Diperbarui: 8 September 2017   10:40 2311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah "haji mabrur" barangkali bukanlah sebuah identitas yang serampangan diberikan kepada seseorang yang telah menjalani rukun Islam kelima, yaitu haji. Pemberian gelar haji mabrur jelas terkait dengan seorang muslim yang telah selesai menjalankan seluruh rukun Islam yang puncaknya diakhiri oleh ibadah haji. "Mabrur" berarti identitas sosial yang melekat dalam diri seorang muslim setelah tumbuh secara baik menjadi pribadi yang "birrun" (penuh kebajikan), bukan sekadar selesai menunaikan ibadah haji selama sebulan penuh di Mekkah, Arab Saudi.  

Soal haji mabrur, pernah secara lugas diungkapkan Rasulullah, bahwa haji mabrur tak ada balasan lain, kecuali surga. Ungkapan Rasulullah ini jelas menyematkan kata "mabrur" pada ibadah haji karena ibadah ini adalah puncak dari seluruh rangkaian rukun Islam yang lima. Ini artinya, haji mabrur lekat dengan kebajikan dari efek seorang muslim setelah secara sempurna menjalankan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan dan haji. Rasa-rasanya tak mungkin jika beribadah haji saja kemudian Rasulullah menyebut "mabrur" tanpa mengaitkan ibadah-ibadah lainnya yang juga menjadi kewajiban seorang muslim.

Istilah "birr" yang berarti "kebajikan" yang kemudian kata ini dibendakan (mashdar) menjadi "mabrur" berkonotasi kebajikan yang diimplementasikan dalam ruang-ruang sosial. Kebajikan bukan bersifat pribadi, tetapi lebih bernuansa sosial. Kitab suci Al-Quran lebih jelas menyatakan, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa" (QS. Al-Baqarah: 177).

Ayat diatas jika diperhatikan, istilah "birr" atau "kebajikan" selalu memiliki muatan dan implikasi sosial. Kebajikan bukanlah "menghadapkan wajah ke barat atau timur", tetapi jauh dari itu bagaimana seseorang dapat berperan lebih aktif dalam dimensi sosial: memberikan harta yang paling dicintainya untuk saudaranya, fakir miskin dan mereka yang selalu menepati janji-janjinya kepada pihak lain jika berjanji. Ini artinya, Islam jelas lebih banyak memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menjalankan ibadah sosial dibanding sekadar ibadah individual. Jika kemudian istilah haji dilekatkan dengan "mabrur" berarti jelas, seseorang yang "mabrur" adalah mereka yang secara sosial terbukti gemar berbuat kebajikan dalam kondisi apapun.

Setiap umat muslim yang berangkat beribadah haji, tentu saja banyak harapan agar sepulang dirinya ke tanah air dapat menjadi haji mabrur. Haji mabrur tentu saja bukan sekadar penambahan abjad "H" dibelakang namanya, karena itu hanyalah tradisi saja di Indonesia. Namun, jauh dari sekadar simbolisasi "H", kemabruran haji seseorang justru nampak telah dirasakan bahkan sebelum seseorang itu pergi menunaikan perjalanan ibadah haji. Kebiasaan dirinya beribadah secara sosial dengan menunjukkan sikap-sikap kebajikannya kepada orang lain dan lingkungan sekitar, inilah yang lebih memperkuat seseorang yang selesai berhaji diberi label "haji mabrur".

Entah kenapa, ibadah haji dalam tradisi Indonesia memiliki kekuatan sosial tersendiri, terbukti dari antusiasme masyarakat yang sedemikian massif dan rela mengantri bertahun-tahun lamanya agar bisa berziarah ke Mekkah dan Madinah. Apakah memang ingin mengejar titel "H" dibelakang namanya, atau berharap mendapatkan identitas sosial baru yang dapat dibanggakan di tengah masyarakat. Tentu saja, soal-soal seperti ini, hanya diri sendiri dan Tuhan yang dapat menilai, karena sejatinya setiap kebajikan dalam ibadah hanyalah Tuhan yang akan menilai, bukan manusia.

Kita tentu tahu, bahwa umat muslim Indonesia saat ini sudah selesai melaksanakan rukun Islam yang Kelima. Secara bertahap, mereka sudah akan kembali ke Tanah Air yang tentunya "oleh-oleh" terhebat adalah haji mabrur. Kemarin (07/09), kloter pertama jamaah haji asal DKI Jakarta yang berjumlah 391 orang telah tiba di Asrama Haji, Pondok Gede, Bekasi. Suasana haru-biru atas kedatangan mereka disambut dengan luapan kegembiraan oleh keluarga penjemputnya. Bersyukur atas nikmat Tuhan yang begitu luas karena mereka telah kembali dan bertemu dengan seluruh keluarganya dan disisi lain, gelar "pak haji" atau "bu haji" jelas menunggu disematkan masyarakat. Walaupun seringkali pertanyaan memenuhi pikiran kita, mabrurkah haji mereka? Ya, karena jika melihat dari hadis Rasulullah, tampaknya tidak semua haji menjadi mabrur, kecuali memang seseorang yang terbiasa menjalankan kebajikan yang berdampak kemanfaatan secara sosial.

Meski demikian, kita senantiasa berharap bahwa ketika seluruh rangkaian ibadah haji selesai secara sempurna dijalankan oleh seluruh jamaah haji, maka tak lain mereka diharapkan menjadi haji-haji mabrur yang setelah kembali ke Tanah Air akan lebih peka dengan persoalan-persoalan sosial. Haji bukan semata-mata perjalanan panjang dengan biaya mahal, lalu berkunjung ke Rumah Tuhan dan berkeluh kesah soal kehidupannya selama ini. Namun jauh dari hal itu, predikat "mabrur" jelas menunggu, membentuk pribadi-pribadi muslim yang gemar melakukan kebajikan, bukan sekadar gemar beribadah secara individual. Istilah "haji mabrur" yang pernah diungkapkan Rasulullah bukan diperuntukkan bagi mereka yang berhaji saja, tetapi "mabrur" adalah semakin sempurnanya pribadi seseorang dalam memaknai hidup, penuh kebajikan dan kemanfaatan sosial. Bukankah haji itu "berziarah"? Dan manusia sesungguhnya adalah makhluk peziarah yang selalu berpindah dari satu titik ke titik yang lain dengan tujuan menebarkan kebajikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun