Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Parpol, Degenerasi, dan Masyarakat Korup

7 September 2017   16:37 Diperbarui: 7 September 2017   16:47 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sebuah masyarakat modern, keberadaan partai politik (parpol) merupakan prasyarat bagi sebuah kemajuan masyarakat politik. Seluruh institusi yang bernuansa sosial maupun primordial, digantikan oleh terbentuknya institusi-institusi politik yang kuat, sebagai sarana kepentingan bersama sekaligus membatasi ekses-ekses yang mungkin muncul secara personal maupun parokial. Parpol, tentu saja merupakan bentuk pelembagaan politik yang rasional, dimana seluruh unsur kepentingan individu maupun kelompok sosial melebur didalamnya. Parpol merupakan unit terkecil dari sebuah masyarakat politik yang kemudian membentuk unit terbesar yaitu, negara-bangsa.

Parpol jelas, berfungsi sebagai wadah "kepentingan bersama" berbagai elemen masyarakat atas kesamaan ideologi dan kepentingan. Sehingga, kemampuan parpol dalam menciptakan berbagai lembaga politik, sama halnya dengan keberhasilan dirinya menciptakan kepentingan-kepentingan publik. Lalu, jika fungsi parpol kemudian "melemah" hanya sekadar menyuarakan kepentingan kelompoknya atau afiliasinya dan mengabaikan "kepentingan bersama" yang lebih besar, bukankah itu sebuah kemerosotan politik? Saya membayangkan, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat dukungan kuat publik, tetapi terus menerus "dilemahkan" oleh parpol di DPR, bukankah sama halnya dengan ketiadaan---meminjam istilah de Tocqueiville---"seni untuk hidup bersama" dalam sebuah masyarakat politik modern?

Ada benarnya ungkapan Alexis de Tocqueville yang menyatakan bahwa hukum tertinggi dalam tata kelola kemanusiaan adalah bagaimana kita sanggup menyemai suasana dalam bingkai seni bergaul  tanpa harus menjatuhkan satu sama lain. Walaupun dalam kenyataannya, konsep ini terlampaui sulit direalisasikan oleh peradaban dunia manapun. Lihatlah, banyak dari berbagai institusi negara justru saling menjatuhkan, bukan saling memperkuat sehingga terbentuk sebuah iklim suasana bergaul yang semakin baik. DPR versus KPK, DPRD versus Pemerintah atau mungkin tak hanya itu, ada juga parpol lawan pemerintah yang terus menerus melakukan kritik tanpa ada suasana "seni bergaul" di dalamnya. Jika benar kondisi ini terus berlanjut, maka sama saja dengan model "masyarakat korup" dimana meningkatnya dominasi "kelompok politik" yang cenderung merusak.  

Keberadaan setiap lembaga politik yang semestinya saling memperkuat, tetapi yang terjadi justru malah saling menjatuhkan barangkali tepat jika dikatakan sebagai sebuah fenomena kemerosotan politik (political decay) dalam lingkup tatanan negara-bangsa. DPR sebagai institusi politik yang disokong kekuatan parpol, justru keukeuh ingin melucuti kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), padahal kekuatan dan dukungan sebuah institusi politik seperti KPK mutlak diperlukan ditengah maraknya prilaku korup para pejabat negara yang terafiliasi parpol. Terbentuknya Hak Angket, jelas merupakan upaya DPR dalam memperlemah keberadaan institusi politik seperti KPK dan jauh dari upaya kritik yang saling menguatkan antarlembaga negara.

Sangat disayangkan, ketika institusi-institusi politik yang terus berkembang dan membaik setelah digulirkannya reformasi, belakangan malah terlihat melemah dan mungkin saja satu persatu dipreteli. Setelah 9 lembaga negara struktural dihapus oleh Presiden Jokowi, saya justru khawatir akan ada lembaga-lembaga lainnya yang juga akan dibekukan dengan alasan tumpang tindih atau tak berfungsi secara baik terlebih memboroskan anggaran negara. Ini bisa terjadi saya kira, ketika parpol di DPR terus ngotot agar KPK mengembalikan fungsi kewenangan hukum kepada kepolisian dan kejaksaan. Bahkan, seluruh elemen yang memproses penegakkan hukum, seperti penyidik, tidak boleh independen, tetapi harus berasal dari unsur kepolisian, bukan KPK sendiri.

Perwakilan parpol yang ada di DPR semestinya menyadari, bahwa mereka merupakan perwujudan lembaga politik yang harus bersinergi dengan kepentingan publik, bukan semangat mengedepankan kepentingan kelompok, klik atau afiliasi politik yang semakin tampak di permukaan. Menumbuhkan kesadaran politik, bahwa sebuah lembaga antirasuah itu sangat penting sebagai sarana penguatan proses-proses politik yang bersih, transparan dan akuntabel, sudah seharusnya tidak terus menerus didesak atau dibongkar berbagai macam kelemahannya. Kondisi ini jelas menunjukkan betapa para elit politik masih enggan melakukan "modernisasi" politik, yang ada tetap mempertahankan status quo, degenerasi masyarakat politik (policy) yang cenderung "korup" dengan upaya memperlemah institusi politik lainnya yang semestinya didukung dan diperkuat.

Ini jelas aneh, dimana seharusnya parpol dapat berfungsi memberikan legitimasi dan kestabilan dalam sistem politik, malah berupaya terus melemahkan institusi politik lainnya. Yang lebih mengherankan, parpol sebagai perwujudan kepentingan publik, malah tak mencerminkan hal itu, publik malah beramai-ramai menuduh parpol yang ada di DPR berkongsi untuk melawan dan mendiskreditkan lembaga antirasuah. Ada ketidaksinkronan antara ekspektasi publik dan kewenangan parpol di DPR menyoal fungsi dan peran lembaga antirasuah. Publik jelas berharap, bahwa praktik korupsi harus lenyap dari negeri ini, sehingga lembaga antirasuah tentu saja harus kuat, tetapi disisi lain, DPR terkesan seperti "menghalang-halangi" pemberantasan korupsi melalui serangkaian evaluasi yang akan mengebiri hak-hak kewenangan hukum KPK.

Saya kira, sinergitas antarlembaga politik itu sangat penting, terutama jika memang ingin tertata sebuah kestabilan sosial dalam membangun peradaban manusia yang lebih maju. Jangan sampai pembangunan politik di negeri ini justru tercemari oleh polusi politik yang justru berasal dari parpol yang merupakan perwujudan kepentingan publik. 

Kepentingan parpol haruslah cermin kepentingan umum, terlebih parpol saat ini memiliki wewenang penuh dan legitimasi yang kuat dari rakyat setelah mereka duduk menjadi anggota parlemen. Tidak ada lagi ego politik kekeluargaan, kolegial, pertemanan atau kepentingan-kepentingan pribadi lainnya yang justru semakin menciptakan "masyarakat korup" yang akan merusak seluruh sistem politik yang ada. Negeri ini butuh sinergi antarelemen masyarakat, lembaga politik dan institusi-institusi sosial lainnya demi menopang seluruh pilar negara-bangsa. "Seni bergaul" memang diperlukan guna "saling memahami" sehingga terjalin sinergitas antarseluruh komponen masyarakat.    

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun