Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Mimpi Sepak Bola Indonesia

27 Agustus 2017   10:41 Diperbarui: 27 Agustus 2017   10:49 2325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertandingan sepak bola semi final Indonesia-Malaysia di perhelatan olah raga Asia Tenggara Sea Games, tidak hanya kali ini saja. Sudah 16 kali sejak 1977 Indonesia melawan Malaysia namun kebanyakan hanya menang tipis dan tentunya tak pernah juara. Mimpi sepak bola Indonesia untuk menjuarai berbagai laga bergengsi di Asia nampaknya selalu gagal, bahkan yang menyakitkan selalu saja di saat-saat momen terakhir saja Indonesia gagal meraih kemenangan. Barangkali tidak hanya Sea Games, di Piala AFF Suzuki juga sama, dewi fortuna belum berpihak pada timnas Indonesia.

Rasanya sudah tak terbendung, gairah persepakbolaan di negeri ini, kian hari kian meningkat, melihat dari antusiasme masyarakat yang sedemikian besar menaruh harapan pada olah raga ini. Jangankan mereka yang terhitung sebagai fans berat para pemain yang piawai mengolah si kulit bundar ini, yang tak suka sepak bola sekalipun, sekarang ikut-ikutan menyaksikan pertandingan ini, atau minimal mencari tahu soal beritanya. Indonesia seperti baru "melek" sepakbola, terbukti dari semaraknya sekolah-sekolah bola yang bak jamur di musim hujan dan sederetan tanah kosong yang disulap menjadi lapangan futsal, lengkap dengan fasilitas nongkrong yang mengesankan. Siapa yang tak kenal futsal? Bahkan para pegawai kantoran pun selalu menyempatkan di sela-sela akhir pekan menggeluti olah raga ini meskipun dilakukan sore atau bahkan malam hari.

Ladang bisnis dari persepakbolaan belakangan semakin menjanjikan, tidak hanya membuat fasilitas-fasilitas futsal yang menyasar para pelajar atau pegawai kantoran, namun juga kaos-kaos sepak bola yang laris manis dijajakan pedagang keliling di pinggir jalan. Dari anak-anak hingga orang dewasa seakan tersihir oleh olah raga bola sepak ini, bahkan kadang orang-orang tua seringkali gagal paham ketika anak-anaknya lebih tahu soal Madrid, Manchester United atau Barca lengkap dengan nama-nama pemainnya yang hafal di luar kepala. Ini menunjukkan, betapa cintanya rakyat Indonesia terhadap sepak bola, sehingga banyak menaruh harapan-harapan pada tim nasional yang berlaga di berbagai ajang kompetisi, memanangkan pertandingan.

Entah kenapa, kecintaan yang begitu besar nampaknya selalu terkikis, sehingga hanya seonggok harapan yang seringkali kandas di tengah euforia persepakbolaan yang semakin menguat belakangan ini. Apakah memang sepak bola hanya sebatas euforia, atau permainan menyenangkan yang sekadar menyehatkan? Ataukah memang diakui bahwa sepak bola harus dilatih secara khusus sehingga melahirkan para profesional dalam mengolah si kulit bundar ini? Saya melihat nampaknya sepak bola belum menjadi profesi yang benar-benar dijalankan secara penuh bagi para pemainnya, sama halnya dengan sekolah bola atau futsal yang sekadar menjadi ajang kesenangan menyehatkan, karena mereka tetaplah pelajar atau pegawai yang nyambi bermain bola.

Saya jadi teringat, dulu banyak pemain-pemain fenomel yang menjadi legenda sepak bola Indonesia, sebut saja misalnya Ajat Sudrajat, Rulli Nere, Hermansyah, Robi Darwis, Ricky Yakobi atau banyak lainnya yang tidak semuanya eksis di persebakbolaan nasional, bahkan juga kita tak tahu sepenuhnya nasib mereka seperti apa. Walaupun diantara deretan nama-nama yang disebutkan ada juga yang bernasib baik menjadi pelatih sepak bola di daerahnya masing-masing. Saya kira, mimpi sepak bola Indonesia agar dapat mengangkat citra para pemainnya di kancah internasional sudah terbetik sejak dulu, walaupun pada kenyataannya mimpi-mimpi itu seringkali tak pernah menemui kenyataan. Mudah saja, adakah pemain nasional yang sukses merumput di klub-klub sepak bola internasional? Padahal mereka adalah para pemain handal di negerinya?

Pada kenyataannya, lebih banyak pemain asing yang merumput di negeri sendiri, dengan tentu saja memperoleh bayaran yang lebih mahal dibanding pemain lokal. Yang mengherankan, pemain naturalisasi bahkan seringkali lebih terkenal dibanding pemain aslinya sendiri. Lalu, ketika diukur dengan standar penghasilan pesepakbola nasional, adakah mereka bak selebritis seperti yang digambarkan media-media internasional tentang para bintang sepak bolanya? Sejauh ini kadang saya masih miris, melihat perbedaan yang terlampau jauh pemain sepak bola kita dengan pemain negara lain. Lalu bisakah pemain kita setara dengan mereka? Saya yakin bisa dan bisa melampaui mereka yang sudah terlebih dahulu menempati urutan papan atas persepakbolaan dunia.

Iklim sepak bola Indonesia yang belakangan tampak "basah" sepertinya tak sebanding dengan tata kelola persepakbolaan nasional yang selalu saja penuh intrik beragam kepentingan, dari soal politik, bisnis hingga campur tangan para penguasa. Sejauh ini, sepak bola nasional bukan membentuk para profesional tetapi lebih banyak pada persoalan gengsi para manajernya, diuntungkan secara politik atau dapat mendulang keuntungan ekonomis dari beragam laga yang diasuhnya. Bahkan kita tak bisa menutup mata, konflik internal yang terjadi dalam manajemen sepak bola nasional yang digawangi PSSI adalah lebih banyak karena benturan kepentingan ekonomi-politik, bukan disadarkan soal bagaimana mempertajam profesinalitas para pemain dalam negeri. Anehnya, para fans sepak bola juga nyatanya ikut-ikutan berkonflik, saling serang dan bermusuhan, sulit sekali berdamai.

Saya kira, banyak pakar yang sudah mengajukan pendapatnya soal bagaimana memajukan dan memperbaiki iklim persepakbolaan nasional, bukan sekadar membuka gerai-gerai bisnis sepak bola yang memberikan keuntungan sesaat. Semestinya, yang harus ditunjuk mengelola persepakbolaan adalah ahli bola, ahli strategi bermain atau minimal memiliki pengalaman merumput sehingga paham benar soal persepakbolaan. Belum lagi para menteri yang ditunjuk mengurusi olah raga, kadang bukan olahragawan, tetapi lebih banyak soal bargaining politik yang diajukan para penguasa. Itu-pun jika ada political will dari pemerintah agar olah raga berkembang lebih baik, minimal sepak bola yang begitu digemari oleh berbagai kalangan masyarakat. 

Profesionalitas itu perlu, karena mereka akan lebih teruji mental juaranya dibanding yang setengah-setengah. Masihkan mimpi sepak bola Indonesia nanti juga kandas? Cukup bergembira dengan yang didapat dan pasrah karena itu dianggap takdir Tuhan? Saya kira, Tuhan tidak akan merubah nasib sekelompok orang, kecuali diri mereka dan tata kelolanya sendiri yang akan merubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun