Semarak Kemerdekaan RI yang ke-72 tidak hanya menghiasi pemberitaan di media konvensional, tetapi juga sosial dan bahkan sekedar viral. Dari sejak soal upacara bendera hingga lomba-lomba terus membanjiri kanal-kanal media, bahkan kegiatan-kegiatan unik dan menarik---baik dari dalam maupun luar negeri---tak luput menjadi berita viral yang terus memenuhi imaji masyarakat. Animo masyarakat dalam "mengisi" seremonial Agustusan sungguh luar biasa, benar-benar merasakan kegembiraan menyambut kemerdekaan, walaupun kemerdekaan sesungguhnya lebih dirasakan oleh para pejuang kita dengan bercucuran darah dan air mata, mengobarkan semangat perjuangan menghalau segala bentuk kolonialisme dan penjajahan! Kita sekedar generasi "penikmat" kemerdekaan, bahkan kadang tak pernah merasakan bagaimana kemerdekaan itu terwujud.
Bukan suatu kebetulan, bahwa Hari Kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 Agustus juga berdekatan dengan beberapa minggu lagi perayaan Hari Raya Kurban (Idul Adha). Penting untuk dicermati, bahwa kemerdekaan diraih oleh bangsa ini atas pengorbanan dan juga pengurbanan seluruh hidup para pejuang kemerdekaan. Pengurbanan merupakan kondisi psikologis dimana setiap orang cenderung memberi (to give) dari pada mengambil (to take). Kita tahu, bahwa kondisi bangsa ini yang kita rasakan, lebih besar keinginannya untuk "mengambil" dari berbagai keuntungan atas relasi-relasi sosial, termasuk kekuasaan politik. Sangat sedikit rasanya, individu yang disadarkan untuk "memberi" kepada orang lain, terlebih kepada bangsa dan negara.
Ketika "pengurbanan" berkonotasi "memberi" atau "mempersembahkan" apa yang terbaik yang kita miliki, walaupun dalam konteks transendensi-sosial, bagi saya akan memberikan dampak kesetaraan sosial yang lebih terjaga dan harmonis. Etos pengurbanan yang diajarkan oleh sejarah kemerdekaan dan juga Idul Adha, sejatinya memiliki makna identik: berkurban semata-mata karena rasa syukur kepada Tuhan, sekaligus lebih dekat dengan realitas sosial seraya menebarkan egalitarianisme dan mewujudkan kesetaraan sosial. Sejauh ini, ruang-ruang keakuan manusia dipenuhi nafsu keserakahan justru untuk "mebgurbankan" pihak lain demi meraih keuntungan pribadi, baik dalam konteks sosial maupun politik.
Menarik barangkali ketika membaca tulisan seorang sosiolog, Peter L Burger yang menggambarkan bahwa terbangunnya peradaban manusia adalah hasil dari perebutan kekuasaan yang menyakiti dan merugikan orang lain. Kurban-kurban manusia akibat kerakusan manusia lainnya dalam memperoleh kekuasaan menumpuk dan menggambarkan bentuk piramida, dimana puncak kekuasaan diisi oleh segelintir orang yang menjadikan orang lain yang justru bertumpuk di bagian bawahnya. Bentuk keserakahan inilah sebenarnya yang hendak dihapus oleh makna kemerdekaan dan juga semangat yang tercermin pada Hari Raya Kurban.
Istilah "kurban" sendiri memang berasal dari bahasa Arab, "qoriba" yang berarti "dekat" atau "berdekatan". Maka, ketika seseorang ingin berkurban, berarti dirinya memang ingin lebih dekat dengan Tuhannya, dan secara bersamaan ingin lebih dekat dengan komunitas sosialnya. Etos pengurbanan berarti tertanam kesadaran dalam diri sesorang untuk menjadi pribadi "pemberi" dan bukan keserakahan untuk berniat dan bernafsu "mengambil" apalagi yang diambil justru adalah bukan berasal dari hak miliknya sendiri. Sejauh ini, dalam prinsip kekuasaan politik, semangat "mengambil" nampaknya lebih didahulukan, bahkan seakan-akan muncul prinsip: "apa yang bisa kita ambil dari negara, bukan apa yang bisa kita beri untuk negara dan bangsa".
Kemerdekaan adalah "pengurbanan" yang dilakukan oleh diri kita masing-masing untuk selalu memberi kemanfaatan kepada masyarakat, bangsa dan negara. Kita harus mempersembahkan apa yang kita miliki yang terbaik untuk bangsa ini, bukan senantiasa berpikiran untuk selalu ingin "mengambil" dari segala keuntungan materi dari setiap relasi sosial. Walaupun sesungguhnya, mindset untuk "mengambil" lebih tertanam di benak generasi milenial bangsa ini dan gagal membangun etos pengurbanan sebagai generasi "pemberi" segala kemanfaatan untuk negeri. Barangkali, tidak hanya saya saja yang merasakan, mungkin anda yang membaca tulisan ini juga merasakan, betapa generasi kita ini sepi dari etos pengurbanan.
Saya memang tak pernah pesimis, karena tidak sedikit pribadi-pribadi pejuang yang mau berkurban, memberikan seluruh kemanfaatan yang terbaik yang ada dalam dirinya untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa ini. Saya kira, kita bisa menimbang-nimbang masing-masing, berada di posisi manakah kita? Apakah termasuk pribadi yang "memberi" atau yang "mengambil"? saya kira, momen kemerdekaan dan juga Idul Adha yang sebentar lagi akan datang, seharusnya dapat memberi pelajaran hidup, bukan sekedar menghidupkan pelajaran dengan sekadar mengingat, bergembira dengan berbagai simbolisasi yang justru mengabaikan isi. Berkurbanlah, karena dengan berkurban, kita tidak hanya lebih dekat kepada Tuhan, tetapi akan lebih bermanfaat bagi sesama. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H