Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Soal Fulus Haji yang Kontroversi

31 Juli 2017   12:07 Diperbarui: 1 Agustus 2017   22:51 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana ruas jalan tol Mojokerto Barat - Mojokerto Utara, Jawa Timur, Selasa (28/06/2016). Ruas jalan tol ini akan digunakan sementara untuk jalur mudik lebaran.(KOMPAS IMAGES / KRISTIANTO PURNOMO)

Entah kapan pastinya soal fulus (dana) haji ini menjadi konsumsi publik, pro kontra di tengah masyarakat, antara boleh tidaknya dipergunakan untuk urusan-urusan lainnya, termasuk biaya infrastruktur. Dana hasil dari masa tunda jamaah haji yang konon mencapai 90 triliun, saya kira perlu dipastikan ke khalayak, apakah itu hanya bunga apakah termasuk dana pokok. Sebab, fulus senilai triliunan rupiah itu akan bermasalah jika dipergunakan untuk hal-hal yang tidak produktif, apalagi masih ada hak jamaah haji yang sudah membayar. Jangan sampai fulus menjadi incaran para "akal bulus" yang memang sudah sejak awal menunggu kesempatan dari dana yang sedemikian besar ini.

Imbas dari era keterbukaan informasi dan data publik, membuat hal apapun harus "dibuka" dan hak publik untuk mengetahuinya. Terlepas dari kemudian muncul persoalan-persoalan di tengah masyarakat yang kian memperumit karena informasi yang diterima juga jelas setengah-setengah. Tak ayal, dana haji menjadi "bulan-bulanan" publik dari yang nyinyir, karena terlampau suudzon kepada pemerintah, ada yang melarang memanfaatkan dana ini untuk kepentingan lain selain yang berkait dengan kehajian atau mendukung agar dana haji dipergunakan saja untuk pembangunan infrastruktur dan dimanfaatkan untuk hal-hal positif yang dapat meningkatkan kemaslahatan rakyat.

Saya kira, perlu melihat pada hasil Ijtima Ulama IV, Komisi Fatwa MUI Tahun 2012 yang jelas dinyatakan bahwa dana haji yang mengendap di rekening pemerintah boleh dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat tasharruf (kemanfaatan sosial) dan dapat dipergunakan untuk hal-hal yang produktif dan tentunya di-tashorruf-kan pada sektor halal, terhindar dari unsur maisir (perjudian), gharar (penipuan) dan riba (rente).

Lalu, jika dana ini hanya boleh dipergunakan untuk hal yang terkait dengan kehajian saja, sama artinya dengan melampaui fatwa para ulama yang sebelumnya menegaskan bolehnya dana ini dikelola pemerintah. saya kira, di sinilah perlunya melihat lebih jauh dari sisi kemanfaatan, bukan karena kecurigaan (suudzon) berlebih ketika pemerintah berinisiatif melalui BPKH mengelola dana waiting list jamaah haji secara profesional.

Kita seringkali masuk dalam jebakan-jebakan kritis yang hanya melihat sisi luar, bukan mengkritisi dari sisi terdalam. Melakukan kritik hanya pada hal yang kita lihat secara kasat mata, justru sikap naif yang seringkali menjerumuskan kita pada penilaian apa yang kita lihat. Padahal, nalar dapat lebih jauh menalaah sisi terdalam dari sebuah persoalan atau obyek untuk dikritik. 

Bagi saya, persoalan dana haji bukan pada angka 90 triliun-nya yang menjadi pro-kontra publik, tetapi dana "nganggur" itu bagaimana dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan kemaslahatan rakyat banyak. Saya kira, para ulama sudah terlebih dahulu memaparkan hal ini, bagaimana mereka kritis terhadap fulus haji yang "ngendon" di rekening pemerintah, rentan dikorupsi tetapi tidak juga dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat.

Persoalan waiting list haji yang belum juga terselesaikan adalah akibat dana talangan BPIH di tahun-tahun sebelumnya yang memungkinkan para jamaah haji yang belum lunas, dapat beribadah haji ke Tanah Suci. Sengkarutnya soal ini semakin menambah antrian panjang akibat salah kelola dana haji di masa-masa sebelumnya.

Beberapa tahun ke belakang, rasionalitas dan efektifitas ibadah haji jauh semakin baik dan profesional, meskipun tak dipungkiri, para "mafia haji" sejauh ini sulit diberantas walaupun kenyataannya semakin berkurang. Persoalan antrean haji yang dikeluhkan, kini ditambah oleh kegaduhan soal dana haji, semakin memperpanjang saja persoalan ibadah yang dikelola pemerintah ini. Saya khawatir, ibadah haji yang sejatinya mencari berkah, justru berubah menjadi beban masalah akibat orang-orangnya yang terlampau serakah.

Acuan yang sudah ada dalam mengatur soal dana haji yang termaktub dalam Pasal 10 UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji memungkinkan untuk dikelola sesuai kemanfaatan dan kemaslahatan umat Islam. Jika membangun infrastruktur adalah kembali untuk kemanfaatan umat secara umum, baik itu jalan, jembatan, gedung sekolah, pesantren atau apapun menyangkut kemaslahatan dan kemanfaatan umat selaras dengan semangat aturan yang telah disahkan.

Terlebih dari hasi Ijtima Ulama MUI yang membolehkan dana haji dikelola untuk sektor-sektor halal dan dapat di-tashorruf-kan bagi kepentingan rakyat banyak. Saya kira, sudah tidak perlu lagi dana haji menjadi kontroversi, tetapi bagaimana pemerintah memang perlu berhati-hati mengkaji kemanfaatan dana haji ini sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Presiden Joko Widodo pada saat melantik Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Istana Negara, secara tegas menyatakan perlunya hati-hati mengelola dana umat, karena dana haji yang terkumpul bukan dana pemerintah. Kehati-hatian harus mengacu pada peraturan yang ada ditambah oleh fatwa para ulama yang kompeten dalam menyelesaikan persoalan polemik dana abadi umat muslim ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun