Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nestapa Negeri

30 Juli 2017   21:02 Diperbarui: 30 Juli 2017   21:44 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masyarakat Indonesia mungkin sudah tidak asing lagi dengan merek terkenal salah satu rokok kretek yang cukup populer, Gudang Garam. Barangkali, pemilik pabrik kretek ini terinspirasi oleh kekayaan devisa laut Indonesia yang tidak saja menjadi kebanggaan karena hasil lautnya yang sedemikian melimpah. Mungkin saking melimpahnya, apa saja yang diolah dari hasil laut dapat bernilai ekonomis, termasuk garam yang seringkali kita anggap sepele karena harganya murah meriah. Namun apa lacur, laut Indonesia yang konon luasnya lebih dari tiga juta kilometer, seringkali tak mencerminkan kekayaan lautnya yang seharusnya mampu menopang devisa negara. Bahkan, garam-pun sekarang langka dan harus "membeli" garam hingga jauh ke negeri Kangguru.

Gambaran "Gudang Garam" yang terpajang pada bungkus produk kretek populer, justru miris bagi saya, bagaimana tidak, Indonesia seharusnya mampu menjadi gudang garam, malah gudangnya kosong, tak ada garam. Hampir setiap tahun, negeri "Gudang Garam" ini malah mengimpor garam dengan alasan yang selalu sama, klasik: produksi dalam negeri tak mencukupi! Saya tahu, garam memang harganya sangat murah, bahkan orang minta sekalipun, garam tak akan sayang-sayang diberikan. 

Saya bisa membayangkan, bagaimana sulitnya petani garam yang berjibaku dengan terik matahari yang menyengat, mengolah air laut menjadi garam yang bernilai ekonomis, tetapi hasilnya tidak pernah berharga bahkan bagi dirinya sendiri. Jelas saja, petani garam banyak yang beralih mengolah hasil laut lainnya yang lebih mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Berbagai data dari sumber pemerintahan, sejak 2015, Indonesia sudah mengimpor garam sebesar 1,51 juta ton. Bahkan ditahun sebelumnya, impor garam juga dilakukan dengan jumlah lebih besar, 2,25 juta ton yang di datangkan dari empat negara. Dari total ke empat negara tersebut, jumlahnya memang bervariasi dan menghasilkan nilai angka impor yang cukup fantastis, lebih dari 11 juta dollar Amerika. Saya tidak begitu paham, apakah sedemikian besar harga garam yang sedemikian melimpah hanya demi mencukupi "gudang garam" yang kosong di negeri ini? Padahal, garam itu sangat sepele dan tidak dipandang sebelah mata oleh bangsa ini, walaupun kenyataannya garam jelas kebutuhan sehari-hari masyarakat.

Barangkali, ditengah nestapa negeri bahari yang kekurangan garam, ada sebagian orang yang justru berbahagia karena mendapat proyek jutaan dolar karena pemerintah kemudian membuka peluang impor garam dari negara lain. Pemerintah jelas harus melakukan impor garam dan kenyataannya, 75 ribu ton garam akan didatangkan dari Australia dan akan masuk Indonesia pada 10 Agustus mendatang. Impor memang harus, karena jika tidak, masyarakat Indonesia tak bisa enak makan, karena semua lauk-pauk yang ada terasa hambar tanpa garam. Inikah yang dinamakan "kongkalikong?" Biar bisa impor garam, maka produksi petani garam lokal sengaja dibeli dengan harga sangat murah dan tidak masuk akal, sehingga produksi garam lambat laun gulung tikar? Jawabannya, "wallahu a'lam".

Istilah "surplus" yang selalu dibangga-banggakan oleh kementrian-kementrian yang mengurusi soal komoditas hasil bumi dan laut Indonesia, termasuk mengatur lalu-lintas perdagangannya, hampir tak pernah lagi terdengar. Bahkan kalimat "surplus" ini secara nyata selalu terdengar nyaring pada masa pemerintahan Orde Baru. Lalu bagaimana dengan sekarang? Apakah ada surplus pada pertanian, seperti beras? Ternyata beras bermasalah karena sengkarut antara pemerintah dengan pengusaha soal ketentuan harga dan indikasi kecurangan produksi beras oplosan. Dengan demikian, bagaimana mau surplus? Lha, wong berasnya saja dimasalahkan. Adakah komoditas lain yang surplus? Sejauh ini saya hanya mendengar istilah itu walau wujudnya belum pernah tahu seperti apa.

Dari beberapa informasi media lokal, terdapat beberapa tempat di Indonesia yang memiliki potensi sangat baik bagi perkembangan produksi garam lokal, bahkan konon katanya dapat menghasilkan garam terbaik di dunia jika diolah secara baik dan sesuai standar. Demak, Pasuruan, Jeneponto, Bima, Kupang, Rembang, Pati, Sampang, Pamekasan, Indramayu dan Cirebon adalah beberapa lokasi yang dianggap paling potensial untuk mengembangkan industri garam lokal tapi bermutu internasional. 

Lalu, kenapa potensi mereka tidak diangkat dan dimanfaatkan? Apakah biaya impor yang mencapai jutaan dolar akan merugi jika dialokasikan untuk pengembangan industri garam lokal? Saya memang tidak paham berhitung ala ekonom yang rumit, dengan menghubungkan banyak hal sehingga menghasilkan angka-angka keuntungan dan kerugian. Tapi yang jelas, jika jutaan dolar dialokasikan untuk membeli garam lokal milik petani, barangkali stok hingga puluhan tahun ke depan, keberadaan garam negeri ini bisa aman. Tapi, apakah ada goodwill pemerintah ke arah sana? Lagi-lagi jawabannya, "wallahu a'lam".

Saya hanya miris, melihat teman disebelah saya ketika ngobrol di warung kopi mengeluarkan rokok kretek bermerek "Gudang Garam". Betapa "gudang garam" yang seharusnnya menjadi kebanggaan negeri ini karena lautnya yang luas dan sangat bernilai ekonomis, kini hanya tinggal cerita yang tertempel lekat pada sebuah bungkus rokok kretek. Isinya pun, cengkeh dicampur tembakau yang dibungkus kertas kemudian dinyalakan dan dihisap dalam-dalam. Mereka menikmati "Gudang Garam" dalam bentuk lain, karena gudang garam yang sesungguhnya malah kosong, tak berisi garam satu butir-pun. Mereka pemilik gudang garam yang sesungguhnya justru menunggu bahagia siap-siap mengisi "gudang garam"nya yang sudah kosong, menangguk keuntungan jutaan dolar disaat rakyat dipaksa terus bersabar. Benar-benar negeri ini nestapa dari garam, bukan sebab anomali cuaca, tetapi anomali para tengkulaknya yang piawai "kongkalikong" menghilangkan garam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun