Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kaesang, "Ndeso" dan Umat Pilihan Rasulullah

7 Juli 2017   23:22 Diperbarui: 9 Juli 2017   05:55 2100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin kejadiannya akan lain, jika bukan anak bungsu Presiden Joko Widodo yang mengunggah video blog (vlog) dengan mengumbar kata-kata "ndeso" yang kemudian dianggap "menghina" kelompok lain. Tapi, karena Kaesang Pangarep adalah putra bungsu presiden, maka vlog-nya menjadi perbincangan banyak pihak, bahkan mewarnai hampir seluruh media mainstream dan sosial. Ungkapan "kebencian" sepertinya menjadi tren di Indonesia, setelah berlakuknya regulasi tentang hatespeech yang diikuti dengan revisi terhadap UU ITE sejak 2016 lalu.

Atas berlakunya pengetatan soal ujaran kebencian atau hatespeech, maka lalu lintas media sosial semakin diawasi dan mudah sekali menjadi polemik berbagai pihak untuk saling melapor jika terdapat indikasi ujaran kebencian di dalamnya yang dirasa berpotensi merugikan salah satu pihak.

Banyak sekali kasus-kasus terindikasi hatespeech yang kemudian menjadi perhatian publik. Salah satunya adalah ujaran kebencian yang dituduhkan kepada Ahok atas dugaan penistaan agama Islam yang memiliki dampak yang sangat luar biasa. Atas kelalaiannya, Ahok diganjar hukuman dua tahun penjara oleh pengadilan dan ini merupakan efek ujaran kebencian yang dilakukan seseorang melalui media sosial.

Masyarakat memang sudah seharusnya berhati-hati dalam mengungkapkan apapun di media sosial, karena tidak seluruh apa yang diungkapkan, sepenuhnya diterima secara wajar oleh publik. Karena bisa saja terdapat unsur "kebencian" dari seseorang atau satu kelompok terhadap suatu ungkapan yang diunggah di media sosial, walaupun terkesan biasa saja, dapat menimbulkan masalah dan berujung pada implikasi hukum.

Entah kenapa, hidup bermedia sosial belakangan ini sarat dengan berbagai ungkapan kritik, kebencian, nyinyir atau kemarahan yang seringkali ditujukan kepada pihak-pihak tertentu yang dirasa kontra dengan dirinya. Kapan dimulainya hal ini, kita tidak pernah tahu, yang jelas orang akan semakin mudah merasa tersinggung atau terancam kehormatannya jika ada seseorang atau pihak lain yang mengungkapkan rasa ketidaksukaan pada diri atau kelompoknya, entah itu sekadar mengkritik, menyindir, atau bahkan terang-terangan menghina dan mengumbar ujaran kebencian.

Ketersinggungan pihak tertentu karena merasa direndahkan atau dilecehkan, kemudian akan melakukan langkah hukum, dengan tujuan agar seseorang yang melecehkan atau menghina tersebut mendapatkan konsekuensi hukum atas perbuatannya. Hukum jelas akan memproses siapapun yang terbukti melakukan pelanggaran, termasuk soal hatespeech yang belakangan ramai dituduhkan kepada salah satu putra Presiden Indonesia, Joko Widodo.

Jika melihat lebih seksama vlog yang diunggah Kaesang, mungkin tidak semua pihak sepakat, soal ungkapan nyinyir atau ujaran kebencian yang sengaja dibuat dirinya yang dianggap menghina kelompok lain, terlebih jika disebut menistakan agama. Hanya saja barangkali, unggahan vlog putra bungsu Presiden Jokowi ini tidak berada pada tempat dan posisi yang tepat, disaat kondisi masyarakat belakangan ini sedang dilanda virus post-truth atau pasca-kebenaran yang sedikit sekali memandang segala hal secara obyektif. Ruang-ruang emosional dan keyakinan personal masih diisi penuh oleh nalar subyektivitas yang menguasai seluruh cara pandang mereka terhadap apapun, terlebih ketika yang mereka lihat adalah bagian dari "seteru" mereka.

Saya justru teringat dan sekaligus terinspirasi bagaimana Rasulullah mengelola cara pandangnya terhadap realitas di luar dirinya. Rasulullah jelas, dalam kaitannya dengan hubungan sosial, tidak pernah sekalipun mencaci-maki (sabbab), mengumbar kebencian (li'an) atau berkata kotor (faahisy) kepada siapapun atau kelompok manapun.

 Lalu, bagaimana jika beliau dicaci atau dihina orang atau kelompok lain? Beliau tetap biasa-biasa saja dan paling sering justru Rasulullah membalas dengan pebuatan baik (tudzhib al-sayyiaat bi al-hasanaat) dan beliau dikenal paling mudah memaafkan orang lain. Terlebih dalam hal-hal yang sangat sepele yang beliau sendiri hanya anggap sebatas "angin lalu", cenderung tak mau memperpanjang menjadi sebuah urusan yang lebih rumit. Sebagai umat muslim, saya merasakan bahwa teladan yang diberikan Rasulullah sangatlah patut untuk ditiru kepada seluruh umat manusia, terlebih jika kita adalah umat muslim.

Saya kira, kondisi masyarakat di Indonesia belakangan ini memang dirasakan sangat rentan, karena bagaimanapun, efek dari peristiwa "ujaran kebencian" yang pernah dilakukan Ahok yang dianggap menyakiti umat muslim beberapa waktu yang lalu, cukup menjadi alasan kuat dimana kondisi emosi umat masih sangat mudah tersulut oleh hal apapun yang dianggap "menyudutkan" atau bahkan "melecehkan" mereka.

Saya sangat merasakan sendiri, bagaimana misalnya, lalu lintas media sosial dan internet yang riuh-rendah soal kritikan, sindiran, bahkan nyinyiran yang seringkali diungkapkan oleh berbagai pihak yang merasa "tersudutkan", tak terkecuali di dalamnya adalah sebagian umat muslim yang masih belum sepenuhnya reda emosionalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun