Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ahmadiyah dan Nestapa Beribadah di Balik SKB Tiga Menteri

6 Juni 2017   11:30 Diperbarui: 7 Juni 2017   00:43 1962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberadaan Jamaah Ahmadiyah kerap mendapat penolakan publik, bahkan pernah terjadi persekusi dari pihak intoleran terhadap jamaah ini beberapa tahun yang lalu, sehingga keberadaannya saat ini mungkin tak lebih dari kelompok-kelompok kecil dan itupun terkadang masih dipersekusi. Entah apa dasarnya, beberapa kelompok intoleran justru menjadi “beringas” ketika berhadapan dengan jamaah Ahmadiyah, seakan-akan mereka adalah “musuh bebuyutan” yang harus dimusnahkan.

Padahal, jamaah Ahmadiyah bukanlah sekelompok orang yang gemar memaksakan kehendak kepada pihak lain, melakukan tindak kekerasan, apalagi menebar kebencian. Perbedaan mereka dalam soal agama, hanya pada soal sumber-sumber rujukan keagamaan didasarkan pada ajaran para syekh mereka sendiri, bukan pada sumber-sumber yang umum digunakan masyarakat muslim. Keyakinan yang besar Jamaah Ahmadiyah hanya atas keulamaan Syekh Mirza Ghulam Ahmad (SMGA), belakangan menjadi masalah di tengah realitas umat, karena dianggap memiliki ajaran “menyimpang” dari agama Islam.

Konon, jamaah Ahmadiyah secara garis besar terbagi ke dalam dua kelompok, Qodiyan dan Lahore. Perbedaan keduanya lebih dititikberatkan pada soal memposisikan SMGA, di mana Qodiyan menganggap ia sebagai utusan Tuhan setelah Nabi Muhammad dan Lahore hanya memosisikan SMGA sebagai seorang mujaddid (pembaharu) ajaran Islam, sama dengan ulama-ulama muslim lainnya. Karena banyak ajaran Ahmadiyah yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam secara umum, maka kelompok ini dinyatakan dilarang oleh pemerintah, melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada tahun 2008 yang memerintahkan kepada kelompok Ahmadiyah agar menghentikan seluruh kegiatannya karena bertentangan dengan Islam. Implikasi dari SKB tersebut, jelas memunculkan sikap terbelah dalam masyarakat karena terdapat pro dan kontra di antara mereka.

Ekses dari SKB tiga menteri itu jelas, membuat Jamaah Ahmadiyah semakin kesulitan melakukan ibadah, karena rasa-rasanya untuk melakukan “tobat” menjadi muslim kembali seperti kebanyakan adalah hal aneh bagi mereka. Mereka tetap meyakini sebagai seorang muslim, sehingga tak perlu lagi mengulang syahadat dan kembali masuk Islam. Mereka juga tidak seperti yang digambarkan banyak orang, bahwa seluruh ritual ibadahnya adalah asing dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Para jemaah Ahmadiyah yang terdiri atas 11 orang pria dan dua orang perempuan melaksanakan shalat jumat berjamaah di tengah jalan karena masjid disegel. Sumber gambar: Dwi Rizki | watakota.tribunnews.com
Para jemaah Ahmadiyah yang terdiri atas 11 orang pria dan dua orang perempuan melaksanakan shalat jumat berjamaah di tengah jalan karena masjid disegel. Sumber gambar: Dwi Rizki | watakota.tribunnews.com
Mereka tetap sholat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, melakukan haji ke Mekkah, berzakat dan seluruh ritual keagamaan mereka jalankan sama dengan muslim kebanyakan. Saya kira, mereka mewarisi keyakinan Ahmadiyah secara turun temurun dari leluhur mereka, sama seperti umat muslim kebanyakan yang juga mewarisi agama orang tua mereka. Diskriminasi terhadap kelompok “sempalan” agama seperti ini, terlebih mereka adalah warga negara Indonesia, hanya akan melahirkan rasa kebencian yang timbul dalam masyarakat, baik yang pro maupun kontra.

Keberadaan Jamaah Ahmadiyah yang semakin terjepit dan terpinggirkan akibat pelarangan pemerintah, sejauh ini hanya mengandalkan rumah-rumah pribadi yang di multifungsikan sebagai tempat ibadah bagi jamaah mereka. Salah satu Mubaligh Ahmadiyah Jakarta, Muhammad Ali, bahkan mengklaim hanya ada sembilan rumah ibadah yang dipergunakan oleh Ahmadiyah, itupun dua di antaranya sudah disegel aparat karena melanggar hak peruntukannya. 

Nestapa Ahmadiyah tidak hanya keberadaannya yang dicurigai bahkan tidak diterima oleh masyarakat, tetapi juga nestapa ibadah yang mereka rasakan, karena rumah ibadah yang diyakini “sesuai” dengan kelompok mereka saat ini hampir sulit untuk dijangkau dan ditemukan. Saya kira, pemerintah juga sudah semestinya memberikan jalan keluar yang terbaik bagi mereka, sehingga mereka tidak seperti warga kelas dua di tanah kelahiran mereka sendiri.

Saya cenderung berasumsi, bahwa lahirnya SKB tiga menteri yang melarang aktivitas Ahmadiyah lebih mempertimbangkan unsur kerawanan yang mungkin bisa timbul di tengah masyarakat sehingga mengancam suasana kedamaian masyarakat, bukan semata-mata karena adanya unsur “kesesatan” dalam ajarannya. Kriteria “kesesatan” sangatlah subjektif tergantung dari cara pandang keumuman keyakinan agama seseorang, bukan secara objektif menilai kenapa muncul keyakinan yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama secara umum.

Suasana subjektivitas yang selalu dibawa-bawa, kemudian semakin mudah menyimpulkan yang tentunya berdasarkan “subjektivitas”nya bahwa suatu ajaran agama itu terindikasi menyimpang. Padahal, keyakinan atau agama adalah hal yang tak bisa dipaksakan, karena itu menjadi wilayah individual yang sangat privat yang manusia tidak berhak menilainya. Sesungguhnya, hanya Tuhan-lah yang paling berhak menilai, seseorang itu sesat atau benar, menyimpang atau lurus, karena manusia tidak akan sanggup mengukur kadar nilai keimanan seseorang.

Meski demikian, sebagai seorang atau sekelompok muslim yang sudah diperingatkan tentang adanya penyimpangan dalam keyakinan yang mereka anut, harus mau berdialog dan membuka diri serta mengakui bahwa ketika terjadi penyimpangan, tentu harus mau meluruskannya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam secara umum. Jika tidak mau berdialog, atau bahkan keukeuh bahwa ajaran yang mereka anut tidak menyimpang, maka hukum yang akan berbicara soal bagaimana menanggulangi kelompok yang dianggap meresahkan masyarakat. Barangkali hal ini kurang lebih sama ketika Abu Bakar menjadi khalifah menggantikan Nabi Muhammad, mengajak orang-orang yang murtad kembali kepada ajaran Islam, tetapi mereka menolak, maka negara tentu harus bersikap tegas agar tidak terjadi praktik kekerasan di tengah masyarakat.

Memang dirasa sulit bagi aparat pemerintah yang mencoba ingin mengakomodasi beberapa kelompok yang dinilai “menyimpang” secara agama. Di satu sisi, negara harus melindungi setiap hak warga negara, termasuk ketika terjadi aksi kekerasan, persekusi atau main hakim sendiri terhadap kelompok-kelompok tertentu, maka negara harus hadir untuk menyelesaikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun