Tidak terlalu mengherankan jika kampus disebut-sebut sebagai lahan bagi tumbuhnya pegiat radikalisme. Alasannya, karena mahasiswa merupakan target yang fresh untuk penyemaian ide-ide radikal. Mereka memiliki kecenderungan untuk mencari tahu banyak hal, belum lagi kondisi peralihan dari lingkungan sekolah ke kampus telah membuka lebih luas cakrawala pemikiran mereka untuk menerima berbagai asupan “paham” yang kelak membentuk identitas mereka.
Semaraknya kajian-kajian kelompok diskusi mahasiswa, dengan membangun sendiri mazhab pemikirannya secara bebas dan terbuka, seringkali menyemai benih-benih radikalisme di kampus. Proses radikalisasi ini seringkali luput dari pantauan pihak berwenang kampus, karena mereka terlampau disibukkan oleh praktek perburuan karir dan jabatan demi kepentingan pribadi mereka sendiri.
Menguatnya fenomena radikalisme di kampus-kampus negeri di Indonesia pernah menarik para peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hingga kemudian melakukan penelitian soal radikalisasi ini dan menyimpulkan bahwa radikalisme marak dan menguat di lima universitas negeri terbesar di Indonesia.
Kampus berhasil dijadikan target pegiat radikalisme untuk menumbuhkembangkan pemikiran radikal di kalangan mahasiswa, melalui pembentukan kelompok-kelompok diskusi yang bebas dan luput dari pantauan pihak berwenang kampus. Kekurangpedulian pihak berwenang kampus sendiri ditengarai karena sebagian besar dari mereka disibukkan oleh perburuan jabatan, karena kampus saat ini layaknya “perusahaan” dimana setiap orang berkompetisi dalam perebutan jenjang karir, jabatan, posisi, dan termasuk menjadi pimpinan tertinggi dalam kampus atau rektor.
Sulit untuk dihindari, bahwa aroma suap selalu saja tercium dari setiap perhelatan pemilihan rektor yang terjadi di beberapa kampus negeri di Tanah Air. Bagaimana tidak, mekanisme pemilihan rektor terbuka celah yang memungkinkan “amannya” praktik jual beli jabatan. Celah ini ada pada peraturan Kemenristek Dikti No 1 tahun 2016, tentang pengangkatan pemberhentian rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi Negeri. Aturan ini berbicara soal 35 persen suara merupakan hak pejabat kementrian dan 65 persen sisanya dibagikan untuk suara majelis amanat dan senat di kampus masing-masing.
Seringkali hak suara yang dimiliki pihak kementerian ini justru diperjual belikan oleh para “makelar jabatan”, sehingga sulit sekali menilai bahwa pemilihan rektor benar-benar cerminan dari proses pemilihan yang sehat dan kompetitif. Prosesi pemilihan rektor yang dianggap “cacat” ini kemudian berimbas pada prosesi pemilihan para pejabat kampus di bawahnya dimana nuansa KKN akan muncul sebagai hal yang tak mungkin bisa dihindari dalam prakteknya.
Hampir dipastikan, bahwa fenomena kampus negeri saat ini menjelma bak perusahaan besar yang benar-benar menerapkan cara kerja yang “profit oriented”. Model kecenderungan “berbisnis” yang menggejala di seluruh kampus negeri lambat laun menciptakan “ketimpangan” dalam banyak hal, terutama semakin melemahnya karakter dan ideologi dalam diri mahasiswa. Mungkin ini salah satu penyebab menguatnya ide-ide radikalisme di kampus, karena selain lemahnya pertahanan karakter dan ideologi mahasiswa, juga imbas dari manajemen kampus yang lebih condong mengejar keuntungan materi sehingga abai terhadap proses pembentukan karakter dan ideologi mahasiswa sebagaimana yang diteguhkan melalui trilogi perguruan tinggi.
Kecenderungan mengejar keuntungan-keuntungan yang bersifat materialistik, menjadikan lingkungan kampus-pun sarat dengan aroma kontestasi yang tidak sehat. Terlalu banyak kepentingan yang pada akhirnya “bermain” di wilayah kampus, dan tanpa ragu-ragu, seringkali mereka pertontonkan, terutama di saat kontestasi pimpinan kampus yang selalu sarat aroma KKN.
Majalah Tempo misalnya pernah menyebut pemilihan rektor di beberapa kampus, seperti Universitas Haluoleo, Kendari; Universitas Jambi; dan Universitas Sumatera Utara disinyalir telah dikotori praktek suap hingga tingkat pejabat Kemristek dan Dikti. Saya kira, ini hanya sebagian kecil potret kampus yang diungkap oleh media karena terindikasi “suap” dalam hal kontestasi pimpinannya, hal-hal lain yang lebih besar bisa saja belum terungkap.
Kondisi kampus yang dibilang “mengkhawatirkan”, tentu menjadi sangat masuk akal ketika Presiden Jokowi berkeinginan untuk mengambil alih kewenangan pemilihan rektor yang sebelumnya berada ditangan Kemenristek dan Dikti. Meskipun belum secara jelas diuraikan bagaimana mekanismenya, namun mengembalikan wewenang hal ini kepada presiden, paling tidak akan memutus mata rantai KKN yang semakin mentradisi di setiap kontestasi di kampus.
Presiden juga diharapkan mampu untuk memilih para rektor berdasarkan pertimbangan masukan dari masyarakat, terutama memilih dengan kriteria-kriteria yang lebih kuat dalam mengemban etos berpendidikan dan berbudaya sehingga dapat secara langsung mencegah benih-benih radikalisme verkembang di dalam kampus. Kampus-kampus negeri saat ini sedang menjadi sorotan, akibat kemandiriannya dalam hal pengelolaan bisnis kampus, tetapi tidak diiringi oleh penguatan terhadap reformasi birokrasi, keterbukaan informasi, atau iklim transparansi yang justru menjadi pendorong etos profesionalitas birokrasi kampus.