Umat muslim akan menghadapi bulan Ramadhan sekitar satu minggu lagi, meski tetap harus menunggu keputusan Sidang Itsbat awal bulan Ramadhan oleh Kementrian Agama. Fenomena keagamaan menjelang Bulan Suci ini terasa mulai terlihat semakin akrab, tidak hanya masjid-masjid yang mulai berbenah, barang-barang “khas Ramadhan”pun ikut meramaikan etalase di beberapa toko, mall, atau pasar modern. Spanduk dan billboard tak ketinggalan, terpajang di jalanan dan sudut-sudut kota sekadar mengucapkan selamat datang kepada bulan yang penuh berkah ini. Saya tidak begitu tahu, apakah ucapan selamat datang bulan Ramadhan—dengan spanduk atau billboard ini juga memang menghiasi negeri-negeri mayoritas muslim lainnya di dunia. Walaupun bagi saya, terkadang ucapan selamat yang disertai foto pejabat, partai politik, ormas, tidaklah murni sebuah ucapan tulus menyambut kegembiraan hadirnya Bulan Suci.
Memang ada sebuah riwayat yang disebutkan berasal dari sebuah hadis Nabi Muhammad—walaupun dinilai sangat lemah—yang menyatakan, “siapa saja yang bergembira menyambut datangnya Ramadhan, maka diharamkan atasnya api neraka”. Riwayat ini tentu saja bermasalah terutama untuk masyarakat awam, dimana bergembira datangnya Ramadhan saja sudah cukup, meski pelaksanaan puasanya tidak diikuti. Jika demikian, alangkah tidak adilnya Tuhan, jika dengan ungkapan kegembiraan seseorang terhadap Ramadhan dianggap sama dengan mereka yang menjalankan ibadah puasa. Bagi saya, nilai kegembiraan yang diekspresikan seorang muslim, bukan pada simbolisasi atau atribusi keagamaan yang biasa dipajang di jalanan kota atau pasar-pasar modern, tetapi kegembiraan justru karena umat muslim diberi kesempatan bertemu kembali dengan Bulan Suci untuk memperbaiki dan meningkatkan ibadahnya, sebagai “pembakar” dari dosa-dosanya yang pernah dilakukan.
Bagi saya, kehadiran bulan Ramadhan—terutama dalam tradisi masyarakat Indonesia—sejauh ini telah membuka lebih lebar ruang-ruang keekonomian dan humanistik. Betapa besar keuntungan keekonomian yang didapat oleh para pegiat bisnis musiman, dari mulai makanan, busana, layanan-layanan keagamaan bahkan hingga moda transportasi. Tidak sedikit pula, para dermawan menunjukkan jati dirinya sebagai para penyalur zakat yang dimanfaatkan oleh mereka yang secara sosial kurang beruntung nasibnya. Bahkan, disadari ataupun tidak, bulan Ramadhan justru menciptakan banyak hal yang “bernilai” secara ekonomi bahkan melampaui nilainya jika dibandingkan dengan bulan-bulan selain Ramadhan. Walaupun, terdapat kenyataan bahwa bulan Ramadhan juga mendegradasi humanisme, terutama mereka yang bekerja dan memiliki usaha tempat hiburan, terpaksa harus menutup tempat usahanya dan tentu saja nasib para pekerjanya tidak seberuntung usaha-usaha lainnya.
Di kota-kota besar, seperti Jakarta, tempat-tempat hiburan harus siap-siap merugi karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI secara tegas melarang aktivitas mereka selama puasa. Bahkan tahun ini, akan ada Tim Pengawas yang berasal dari Dinas Pariwisata dan Kepolisian yang akan menyisir tempat-tempat hiburan malam yang nekat tetap buka di bulan Ramadhan. Para pengusaha dan pekerja pada sektor-sektor ini jelas mengeluh, disaat mereka harus mendapatkan untung malah “buntung” dengan datangnya bulan Ramadhan. Para pekerjanya-pun sudah pasti “gigit jari” karena tidak mendapatkan gaji seperti biasanya, mereka adalah jelas orang-orang yang bernasib kurang beruntung disaat yang lainnya justru meraih nilai keekonomian lebih tinggi di bulan Ramadhan. Pengakuan Erick Halauet, Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija), bulan Ramadhan telah menurunkan omzet pengelola hiburan hingga 40 persen dan ini jelas berimbas secara langsung kepada para pekerja yang mungkin terancam tak dapat THR secara penuh.
Saya terkadang mempertanyakan, apakah benar Ramadhan justru di sisi lain paradoks terhadap humanisme dan keekonomian? Disaat sebagian orang bergembira, memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi yang berlipat ganda, munculnya para dermawan dadakan, atau bahkan kadar humanistik setiap orang mengalami akselerasi, tapi disisi lain, justru ada yang merugi, kurang beruntung, bahkan mereka tidak sebahagia sebagaimana orang lain? Bagi saya, Ramadhan adalah tetap Bulan Suci bagi setiap orang yang meyakininya dan ia tetap “suci” walaupun seluruh manusia melakukan kemaksiatan di bulan tersebut. Ramadhan tidak mungkin ternodai oleh sikap kesombongan, ketamakan atau sikap buruk apapun yang dilakukan manusianya.
Disinilah saya kira, sebuah Hadits Qudsi menemukan momentumnya, ketika Tuhan menyatakan, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan langsung menilainya”. Puasa yang dijalankan pada setiap bulan Ramadhan, bukanlah untuk siapa-siapa dan tidak berpengaruh terhadap kondisi apapun kecuali bagi kebaikan yang terbentuk dalam diri seseorang yang berpuasa itu sendiri. Nilai substansi puasa di bulan Ramadhan bukan diukur oleh maraknya simbolisasi dan atribusi keagamaan, bukan juga soal nilai keekonomian atau humanisme yang menurun atau meningkat, tetapi lebih pada upaya penyadaran seseorang secara lebih dalam atas segala prilaku buruk yang selama hidup dilakukannya. Kemaksiatan dan kejahatan tidak akan menurun, walaupun pihak-pihak terkait melarang kegiatan itu dan humanisme tidak akan meningkat meskipun setiap Ramadhan kita selalu disadarkan.
Sejauh ini, kita hanya berkutat pada simbolisasi tanpa secara lebih jauh menyentuh nilai dan substansi. Penutupan tempat hiburan, dilarangnya warung-warung makan beroperasi di siang hari, spanduk ucapan yang marak, atau masih banyak bentuk atribusi atau simbolisasi yang justru lebih diperlihatkan sebagai bagian dari ekspresi kegembiraan masyarakat. Saya kira, tidaklah menjadi sebuah jaminan bahwa ketika simbolisasi itu diperketat dan “diperhebat” akan lebih memberikan makna “kesucian” bulan Ramadhan yang berpengaruh terhadap akselerasi humanisme dan nilai-nilai kebaikan dalam masyarakat. Saya kira, disinilah kemudian Nabi Muhammad juga menanamkan nilai-nilai humanistik bukan simbolik kepada umat muslim pada waktu itu. Nabi bahkan terus mendorong setiap muslim berbuat kebajikan karena “nilai”nya yang berlipat-lipat dibanding kebajikan yang dilakukan bulan-bulan selain Ramadhan dan justru melarang berbuat buruk karena juga sama keburukan yang dilakukan menjadi berlipat-lipat nilainya dibandingkan bulan selain Ramadhan.
Lalu, jika ada sebagian orang yang bernasib kurang baik karena bekerja di sektor-sektor bisnis yang terkena dampak pelarangan Bulan Suci, bahkan kebahagiaan mereka direnggut oleh aturan-aturan yang tidak humanis, karena jelas hak-hak mereka “terampas” karenanya, apakah ini sebuah keburukan yang dilakukan sehingga berlipat nilai kesalahannya? Ataukah dianggap sebuah kebajikan yang berlipat nilai kebajikannya? Saya kira, setiap orang dengan akal sehatnya akan dapat membedakan dan mengetahui mana yang disebut kebajikan dan mana keburukan. Dalam hal soal hak-hak kemanusiaan, Nabi bahkan berpesan, “bayarlah para pekerja itu sebelum keringat mereka kering”, bahkan menunjukkan sangat humanistik-nya Nabi, agar memberikan hak-hak para pegawai dan pekerja bahkan sebelum jatuh tempo pembayarannya. Jangan jadikan Ramadhan bermuatan paradoksal: meningkatkan keekonomian dan membahagiakan sebagian orang, tetapi disisi lain menyengsarakan dan merampas hak-hak orang lain dan menciptakan kesedihan kepada sebagian orang. Selamat berpuasa Ramadhan!
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H