Pasca vonis Ahok yang fenomenal, hampir seluruh orang di penjuru dunia menyuarakan pendapatnya melalui serangkaian aksi solidaritas dengan tema yang secara umum sama, yaitu “save NKRI”. Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seakan-akan menjadi “korban” dari sebuah gerakan yang akan menghancurkan kedaulatan NKRI, bahwa mereka-mereka yang telah “menghakimi” Ahok justru dipersepsikan sebagai bagian dari “gerakan pemecah-belah” kebangsaan dan persatuan. Dari beragam informasi di media sosial, serentetan aksi solidaritas dengan tema “save NKRI” menggema dari sejak Vancouver hingga Dallas bahkan Toronto dan tak ketinggalan pula dari Belanda hingga ke Sidney, semua melakukan gerakan aksi solidaritas dengan nuansa NKRI: menyanyikan lagu kebangsaan, menyalakan lilin sebagai bentuk dukungan merasakan “beban” yang sama sebagaimana yang saat ini sedang dipikul oleh Ahok.
Solidaritas, atau lebih tepatnya solidaritas sosial, memang selalu dilatarbelakangi oleh sebuah komitmen yang harus dipikul bersama atas nasib atau keadaan orang lain. Umumnya, aksi-aksi solidaritas muncul disebabkan disparitas yang nyata soal adanya sebagian orang atau seseorang yang kurang beruntung nasibnya dibanding yang lain. Jika persepsi keagamaan menggambarkan bahwa dosa seseorang adalah harus dipikul oleh yang bersangkutan secara pribadi, maka dalam konsep sosiologi, dosa sosial biasanya ditanggung bersama dan bahkan seringkali ditanggung oleh mereka yang sama sekali tidak melakukannya. Jika Ahok kemudian dinyatakan bersalah dalam kasus penistaan agama, maka seakan dia menjadi semacam “dosa sosial” yang harus ditanggung bersama dan mereka yang menggulirkan aksi solidaritas, memang tidak sedang melakukan “intervensi” atau “tekanan” terhadap kedaulatan hukum Indonesia. Maka, aksi solidaritas seharusnya memang tidak berada dalam tema besar “save NKRI” karena sesungguhnya mereka sedang mengakui bahwa disparitas memang tak bisa dihindarkan.
Umumnya aksi solidaritas akan membentuk “tangan-tangan tak terlihat” (charity) sebagai bentuk penguatan atau perhatian atas seseorang atau kelompok orang yang “lemah” kedudukannya dalam suatu struktur sosial. Jika benar bahwa aksi solidaritas untuk Ahok adalah sebagai upaya karitas atas kedudukan Ahok yang “lemah” dari sisi penegakan hukum, maka kenapa harus menyanyikan lagu Indonesia Raya? Bagimu Negeri? Atau Maju Tak Gentar? Atau ada yel-yel yang menggema “bebaskan Ahok”? yang lebih membuat kening kita mengerenyit adalah aksi solidaritas untuk penyelamatan negara. Apakah benar negeri ini perlu diselamatkan? Diselamatkan dari siapa dan dari apa? Saya sendiri merasakan hingga saat ini, NKRI itu tetap kokoh dan tidak ada satu orangpun yang akan berdiam diri jika seandainya NKRI ini akan “diganggu” oleh siapapun. NKRI sudah menjadi sunnatullah yang tak akan mungkin ada “tangan-tangan kotor” sanggup menghancurkan atau memecah-belah NKRI ini sampai kapanpun! Dan itu adalah tekad bulat seluruh anak bangsa.
Lalu sepertinya banyak timbul pertanyaan dalam benak kita, benarkah bahwa Ahok adalah korban gerakan anti NKRI sehingga negara ini dalam bahaya? Apa benar kasus Ahok ini telah mengoyak solidaritas kebangsaan, persatuan dan kesatuan kita? Apakah hukum soal penistaan agama di negeri ini adalah “pesanan” sekelompok orang, sehingga tidak lagi independen? Ah, rasanya pertanyaan-pertanyaan lain akan semakin banyak menghinggapi kepala kita bahkan semakin sulit untuk menjawabnya. Yang jelas, dunia internasional saat ini sedang menyoroti kasus Ahok secara khusus, bahwa terjadi ketidakadilan atas vonis hakim yang dijatuhkan kepada Ahok karena melanggar demokrasi dan HAM, melanggar “rambu-rambu” kesepakatan hukum internasional dan lebih jauh lagi, vonis atas Ahok adalah mencederai NKRI, merusak persatuan dan kesatuan.
Bagi saya, jika aksi-aksi solidaritas ini dipersepsikan sebagai bentuk perjuangan mereka menyelamatkan NKRI tentu saja salah besar, karena sampai detik ini, seluruh sistem pemerintahan, hukum, bisnis semuanya tetap berjalan dengan normal dan tidak mengalami kendala apapun. Masyarakat-pun seperti biasa melakukan tugas dan pekerjaannya tanpa ada yang perlu ditakutkan atau dikhawatirkan bahkan tidak ada sama sekali bentuk-bentuk intimidasi dari pihak manapun yang menghalang-halangi seluruh aktivitas masyarakat. Ini artinya, NKRI tetap kokoh berdiri, tidak akan terkoyak atau hancur hanya karena vonis atas Ahok yang dianggap menjadi polemik. Lalu, apa sebenarnya yang dipersepsikan dunia internasional? Sejauh ini, pemeberitaan media asing tentang kondisi sosial-politik di negeri ini memang tampak tidak berimbang dan cenderung di-framing-kan sebagai negara dengan penduduk muslim “bergaris keras”.
Padahal, sepanjang yang saya tahu, beragam aksi massa yang dilakukan berjilid-jilid di Indonesia yang menuntut Ahok dihukum atas dugaan penistaan agama yang dilakukannya, selalu diapresiasi oleh hampir seluruh media mainstream lokal, paling tidak dengan menulis besar-besar di laman utamanya dengan ungkapan “terima kasih”. Ucapan terima kasih, tidak hanya karena aksi-aksi itu tidak pernah diwarnai kekerasan atau chaos, tetapi pasca aksi senantiasa meninggalkan jejak yang baik, tidak ada fasilitas umum yang rusak atau bahkan jalanan yang kotor karena sampah. Aparat keamanan yang berjaga pun tampak friendly dengan peserta aksi, saling bercengkrama, berdialog dengan tidak menimbulkan pretensi apapun diantara mereka. Inilah barangkali yang kemudian luput sama sekali dari pembacaan media asing atas beragan aksi yang sepanjang 2016 hingga 2017 sebagai bentuk aksi solidaritas muslim yang merasa “tersakiti” atas ucapan Ahok ketika berkunjung ke Kepualan Seribu.
Jika kemudian beragamnya aksi solidaritas yang digelar diberbagai daerah di Indonesia, termasuk di mancanegara tetapi dengan mempersepsikan soal keutuhan NKRI sedang dipertaruhkan oleh hasil keputusan pengadilan atas kasus Ahok, bagi saya adalah salah kaprah yang menyesatkan. Aksi solidaritas seharusnya dipersepsikan sebagai dukungan kepada Ahok agar di masa-masa yang akan datang tidak lagi terjadi lagi sebuah “bencana kata-kata” yang kemudian dapat digiring menjadi suatu unsur dalam penistaan agama. Kebebasan berpendapat di negeri ini—sejak reformasi digulirkan—telah lebih baik dibanding ketika Indonesia masih dibawah penguasaan rezim Soeharto. Namun demikian, kebebasan berpendapat tetaplah bertanggungjawab dengan tidak menghina, mengumbar kebencian kepada pihak lain atau memfitnah dengan mengkaitkan SARA di dalamnya.
Aksi solidaritas tidak seharusnya juga melakukan tekanan massa untuk dapat mengintervensi proses-proses peradilan di Indonesia karena jelas ini merupakan langkah mundur dalam berdemokrasi. Hukum di Indonesia belum mati dan seluruh bangsa ini masih berharap bahwa keadilan bisa benar-benar didapatkan dari seluruh proses hukum yang telah disepakati. Bangsa ini tentu bangga, memiliki hakim-hakim profesional yang benar-benar independen seperti yang mewujud, misalnya pada seorang Artidjo Alkostar yang juga fenomenal, menjadi “algojo” menakutkan bagi pihak-pihak berperkara yang akan mengajukan proses banding ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi. Beberapa kali kasus korupsi atau narkoba yang mengupayakan proses banding, alih-alih memperoleh keringanan hukuman, di tangan Artidjo justru malah diperberat hukumannya. Pun, ketika majelis hakim dalam kasus Ahok, mereka adalah pioneer-pioneer bangsa yang masih “jernih” dan “tegas” dalam memutus suatu perkara secara independen dan adil. Jagalah NKRI dari “tangan-tangan kotor” tak bertanggung jawab yang terkadang suka bersembunyi dibali “baju” keadilan atau HAM.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H