Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Tularkan Virus Pemaksaan Kehendak

12 Mei 2017   09:29 Diperbarui: 12 Mei 2017   12:14 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika dulu kelompok pemaksa kehendak disematkan kepada beberapa kelompok yang dianggap kontra terhadap kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, bahkan mereka menjadi semacam kondisi  endemik yang terus menularkan “virus”nya kepada pihak lain. Belakangan justru berbalik, kelompok yang disebut pro kepada Ahok juga sedang terjangkiti virus endemik pemaksa kehendak yang bahkan lebih parah dan tak terbayangkan sebelumnya. Keberadaan mereka yang terus menyuarakan “pembebasan Ahok” sepertinya terus meluas dan menularkan virus pemaksaan kehendak juga kepada pihak-pihak lain. Tak tanggung-tanggung, serangkaian aksi demonstrasi yang mereka lakukan pun tak mengenal waktu dan tempat, bisa kapan saja dan dimana saja. Tentu saja ini membuka sedikit tabir yang dulu sempat tertutupi: siapakah sebenarnya yang disebut kelompok pemaksa kehendak? Pro Ahok atau kontra Ahok?

Saya kira, kelompok pro Ahok selalu disebut sebagai kalangan “rasional” yang memahami betul proses-proses demokratisasi dan hukum, bahkan mereka cenderung mengedepankan proses-proses berdemokrasi yang selalu ditunjukkan sejak awal oleh para pendukungnya. Banyak sekali pernyataan-pernyataan yang “lebih rasional” dibanding kelompok lainnya yang kontra Ahok, seperti kalimat, “mari kita selesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku” atau “semua pihak harus menghormati hukum” dan sejenisnya yang sepertinya menunjukkan sisi rasionalitasnya dibanding kelompok kontra Ahok yang dianggap “tidak rasional”. Saat ini kondisi itu benar-benar terbalik, kelompok pro Ahok semakin tidak rasional dalam menyikapi berbagai hal yang bahkan lebih tepat jika dikatakan merekalah sebenarnya para pemaksa kehendak dengan terus menerus melakukan serangkaian aksi yang tidak bisa menerima keputusan hukum atas Ahok.

Berakhirnya drama peradilan atas kasus Ahok, justru memberikan gambaran kepada kita sebuah proses dan mekanisme hukum yang bermartabat dan tentu saja rasional karena tidak didasarkan atas pertimbangan adat, budaya atau agama, tetapi murni didasarkan atas pertimbangan perundang-undangan yang telah menjadi kesepakatan bersama. Semestinya yang merasa kecewa dengan putusan pengadilan adalah mereka yang kontra Ahok, karena hukuman yang diberikan terlampau ringan—bandingkan dengan kasus Albert Voss yang menghina agama Kristen di Jerman yang diganjar 3 tahun penjara dan denda 500 euro—dibanding efek kasus Ahok yang ditimbulkannya dalam masyarakat. Namun, yang terjadi justru mereka yang pro Ahok menolak hasil keputusan hukum yang telah ditetapkan, memaksakan kehendak dan membuat sikap mereka tidak rasional: tuntutan pembebasan Ahok atas keputusan hukum tetap, membuat petisi pembebasan Ahok atau mengumpulkan tandatangan untuk mempengaruhi pengadilan. Praktek-praktek ini jelas tidak rasional, karena mekanisme hukum alternatif bisa ditempuh ketika ada keputusan yang tidak memuaskan salah satu pihak.

Saya justru tak dapat membayangkan jika virus pemaksaan kehendak ini terus menjadi endemik, tidak hanya menyangkut wilayah tertentu seperti Jakarta, tapi justru bisa menular kepada siapa saja di wilayah lainnya. Bisa saja jika kemudian pengadilan mengabulkan tuntutan para pemaksa kehendak ini, kemudian juga bisa menular dan dilakukan oleh siapapun jika mereka tidak puas atas keputusan hukum: membuat petisi, berdemonstrasi terus menerus dan menuntut pengadilan menganulir hasil keputusannya. Seakan para pemaksa kehendak ini memaksakan keyakinannya bahwa Ahok tidak bersalah walaupun sudah ditetapkan sesuai mekanisme hukum bahwa Ahok bersalah. Padahal, sebuah keyakinan itu tidak bisa dipaksakan kepada orang lain agar mau mengikuti keyakinan kita, terlebih jika ditunjukkan dengan cara-cara yang tidak rasional.

Memang harus diakui sebenarnya, bahwa kita yang sedang hidup di zaman modern ini—bahkan  postmodern sedang dihadapkan pada kondisi yang serba paradoks: membangun berhala-berhala rasionalisme tetapi justru kita pula yang sedang menghancurkannya. Kita mengagungkan dan menghamba pada seluruh proses rasionalisasi politik, demokrasi, mengikuti dan menjalankan prosedur hukum, tetapi semuanya masih “setengah-setengah”, karena memang sesungguhnya apa yang kita bayangkan sebagai sesuatu rasional yang utuh, justru hanya memberikan kepuasan yang tak pernah utuh kepada kita. Kita ini seperti “terpisah” karena selalu ingin “tampil beda” dengan orang lain atau kelompok lain, padahal kita seringkali melupakan jiwa terdalam yang disebut sebagai “kebulatan suara umat manusia” (the human unanimity).

Kita seringkali hanya melihat kepada “suatu hal yang tampak” padahal sesungguhnya yang tampak tidak selalu mewakili sebuah kebenaran. Mereka yang terus menerus memaksakan kehendak untuk menganulir keputusan hukum—entah dengan penangguhan penahanan ataukah pembebasan—hanya memandang pada sesuatu “yang tampak” bahwa Ahok dalam kasus ini dinilai hanya sebagai “tumbal” dari “politisasi” hukum dan tidak mewakili dari sebuah realita yang sebenarnya. Padahal, kebenaran yang diagungkan melalui nalar yang hanya meyakini dari sesuatu “yang tampak” tidaklah mencerminkan sebuah “kebulatan suara manusia” yang terdalam dan terpatri dalam jiwa, dimana ia merupakan representasi atas sesuatu yang “tidak tampak”. Memang, realitasnya adalah manusia selalu berpegang teguh kepada kebenarannya sendiri, bahkan banyak orang yang ngotot memegang keyakinannya disaat orang lain memegang teguh keyakinan kebenarannya secara berbeda.

Yang lebih parah, bahwa banyak diantara kita yang meneriakkan bahwa ada sebagaian diantara mereka sedang “melawan arus”, tidak rasional, memaksakan kehendak atau tak mau kompromi, namun sekarang berlawanan secara diametral, bahwa seluruh kondisi ini sedang dialami oleh diri mereka sendiri. Kasus Ahok memang telah membuka pikiran kita secara lebih jernih untuk lebih dapat membedakan siapakah sebenarnya yang layak disebut kaum pemaksa kehendak. Paling tidak, inilah sesungguhnya tantangan demokrasi yang tidak melulu harus dijalankan melalui “impor nilai” dari Barat, tetapi harus disesuaikan dan diselaraskan dengan nilai-nilai moral, keyakinan, adat dan budaya masyarakat lokal, sehingga tidak ada kemudian yang menyalahkan atau berasumsi bahwa proses-proses sosial-politik di negeri ini tidak demokratis, minimal tidak Barat sentris.

Mereka yang menularkan virus pemaksaan kehendak memang seharusnya dapat ditangkal melalui upaya penyadaran akan sebuah kebenaran yang sesungguhnya seringkali luput dari pengamatan kita sendiri. Kebenaran itu sesuatu yang “tak tampak” dan tak kasat mata tetapi dapat mewakili kebeningan suara jiwa yang ada dalam diri setiap manusia. Jangan menjadi bagian dari penyebar virus pemaksaan kehendak yang justru saat ini kian marak menulari sekian juta orang yang tadinya tidak pernah tau apa-apa. Saya kemudian hanya berpikir, bahwa kasus Ahok ternyata menyimpan sejuta “ketidakberesan” dalam memaknai kehidupan berbangsa dan bernegara ini, tidak hanya direfleksikan oleh para pemaksa kehendak, baik dari pihak yang pro maupun kontra, tetapi sikap para penguasa yang tak luput dari “keberpihakan” dalam menangani berbagai macam ketidakberesan ini. Mari kita tangkal virus pemaksaan kehendak dengan meruntuhkan egosentrisme yang mengungkung diri kita, memperbaiki seluruh penyimpangan yang berasal dari diri kita sendiri dan kembali “bergabung” dengan seluruh manusia lagi setelah kita lama “tampil beda”.  

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun