Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aksi Simpatik 55 yang "Tidak Simpatik"

3 Mei 2017   16:53 Diperbarui: 3 Mei 2017   17:03 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar akan digelarnya Aksi Simpatik 55 pada tanggal 5 Mei mendatang, nampaknya memperlihatkan belum usainya soal kasus penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang saat ini masih di sidangkan di pengadilan. Nampaknya kasus penistaan agama seakan menjadi “seteru abadi” antara kelompok yang menamakan dirinya GNPF-MUI dan berbagai pendukungnya dengan Ahok dan juga para pendukungnya. Kasus yang sudah menjerat Ahok menjadi tersangka kasus penistaan agama ternyata tidak membuat kelompok ini puas dengan hasil yang sudah dalam tahap persidangan tetapi belum mendapatkan keputusan hukuman tetap ini. Memang, menyuarakan pendapat di muka umum adalah hak setiap warga negara yang dilindungi undang-undang, tetapi bersikap “simpatik” dengan tidak harus turun ke jalan-jalan terlebih hanya ingin “memaksakan kehendak” justru akan lebih bermartabat.

Asumsi saya, jika aksi ini kemudian digelar dengan melakukan long march di jalan-jalan mempertontonkan kekuatan massa, apalagi kemudian diiringi “yel-yel” tertentu, bisa saja berubah menjadi aksi yang tidak simpatik dan bahkan bisa saja didoakan masyarakat yang merasa terganggu dengan aksi tersebut. Jika Aksi 55 ini disebut sebagai aksi doa bersama sebagaimana disebutkan oleh Ustadz Bahtiar Nasir dan mengharapkan diantara sekian banyak orang kemudian bisa saja doanya diterima oleh Tuhan, seharusnya berdoalah di tempat yang memang “mustajabah” seperti di masjid atau di waktu-waktu tertentu yang memang “mustajabah” jika berdoa. Mungkin Ustadz Bahtiar tidak lupa, bahwa Allah memberikan waktu-waktu istimewa kapan sebuah doa itu mustajabah untuk dipanjatkan.

Saya secara pribadi begitu sangat memahami keinginan saudara-saudara sesama muslim yang merasa terusik rasa keadilannya karena kasus penistaan agama yang menjerat Ahok tidak juga kunjung memberikan kepastian hukum. Ketukan palu hakim dalam sidang kasus ini dirasa lambat, entah ada intervensi dari pihak lain ataukan memang sengaja mengulur waktu karena hal-hal tertentu. Namun yang pasti, bahwa kasus ini sudah ditangani secara profesional dan tak keluar dari koridor hukum yang berlaku, itulah seharusnya yang perlu diapresiasi. Kita tentu sangat paham dan menyadari, bahwa hukum di Indonesia masih belum mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dalam banyak hal, tidak saja dalam soal kasus penistaan agama. Namun demikian, kita sebagai umat beragama harus meyakini, bahwa hanya Tuhan-lah satu-satunya hakim yang paling adil bagi manusia, walaupun memang bukan di dunia tempatnya.

Kita yakin, bahwa Aksi Simpatik 55 yang akan digelar nanti pasti akan memperhatikan “aturan main” dengan tidak melakukan aksi yang bersifat anarkistis. Namun rasa-rasanya, energi umat Islam pada akhirnya hanya dihabiskan untuk melakukan satu tuntutan yang tidak juga begitu berpengaruh terhadap kebaikan bangsa dan negara ini. Penegakkan keadilan memang harus dijalankan, ketika terdapat indikasi adanya “intervensi”, tekanan atau bentuk dorongan apapun untuk mempengaruhi keputusan hakim sehingga menjadi tidak adil. Sesungguhnya, masih banyak mekanisme hukum yang nanti bisa dipergunakan, ketika rasa keadilan justru tak terpenuhi dan inilah sebenarnya cara-cara demokratis yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap warga negara Indonesia. Memaksakan kehendak yang dilakukan dengan aksi massa pada akhirnya hanya akan menambah “citra buruk” umat Islam yang terkesan “arogan” karena tidak memperhatikan aspirasi umat lain yang justru merasa terganggu dengan aksi demonstrasi.

Saya ingin menggarisbawahi ungkapan Ustadz Bahtiar Nasir yang menyatakan, “Sebab jutaan sekian hamba yang ada di Indonesia khususnya, pasti ada salah satu yang dikabulkan oleh Allah SWT”. Ini artinya, bahwa permohonan doa sekian banyak umat muslim seharusnya ada yang dikabulkan Allah dan permintaan keadilan melalui doa memang tidak seharusnya diiringi dengan kegiatan aksi terlebih ketika memenuhi jalan-jalan raya. Berdoalah karena doa merupakan perintah Tuhan kepada hamba-Nya, karena jika tidak berdoa manusia sungguh menjadi mahluk yang paling sombong. Jika memang titik tekannya adalah doa, maka sudah seharusnya dapat lebih bersikap adil dengan menempatkan tatacara berdoa sesuai dengan tempat dan waktunya. Jika titik kumpul berdoa dipusatkan di Masjid Istiqlal, maka saya sangat mengapresiasi dan akan ikut mendoakan agar keadilan di bumi pertiwi ini bisa benar-benar ditegakkan.

Saya khawatir jika dengan alasan berdoa yang berharap dapat dikabulkan Tuhan lalu kemudian melakukan long march menuntut keadilan, maka kekhusyukan dalam berdoa justru menjadi rusak karena pasti ada umat lainnya mendoakan untuk “kegagalan” aksi ini. Bukankah kita paham tentang ajaran Islam yang justru ada doa yang dikabulkan Tuhan pada saat terdzalimi oleh orang lain? Walaupun kemudian aksi ini dilakukan secara simpatik, namun tetap saja bahwa ketika melibatkan banyak orang pasti ada elemen masyarakat lain yang justru terganggu, disinilah sesungguhnya nilai doa yang bisa menjadi rusak karena telah mengganggu keberadaan orang lain. Akan sangat berbeda ketika berdoa dijalankan secara khusyuk di tempat suci, seperti masjid dan dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu yang memang diyakini sebagai waktu mustajabah yang diistimewakan Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun