Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keunikan Bulan Sya'ban diantara Historisitas dan Ritualitas

30 April 2017   22:40 Diperbarui: 30 April 2017   23:10 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di Indonesia, sebagian umat muslim seringkali menjadikan bulan Sya’ban sebagai bulan yang istimewa, baik karena keistimewaan bulannya yang berdekatan dengan bulan Ramadhan atau karena banyak informasi yang dianggap valid bahwa Sya’ban merupakan bulan dimana dianjurkannya untuk berpuasa sebagaimana riwayat otoritatif yang diyakini berasal dari Nabi Muhammad saw. Bahkan, untuk sebagian umat muslim di tanah air, malam nishfu (pertengahan) bulan Sya’ban memiliki keistimewaan sendiri dengan menjalankan serangkaian ritual tertentu—seperti sholat tasbih, dzikir, membaca surat Yasin dan ritual lainnya yang sepertinya sudah mentradisi menjadi bagian dari budaya umat muslim jelang kedatangan bulan Ramadhan.

Bulan Sya’ban memang unik, karena secara historis bulan ini menjadi “penjelas” antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan dalam kalender Hijriyyah. Secara historis, Sya’ban sendiri yang diambil dari akar kata “sya’aba” yang berarti “kelompok” atau “saling memisahkan” karena orang-orang Arab kuno di bulan ini mereka berpencar berkelompok-kelompok untuk mencari air akibat kekeringan. Bulan Ramadhan dianggap sebagai bulan paling panas dan kekeringan yang sudah didahului sejak bulan Sya’ban, sehingga banyak berbagai suku di Arab kuno berpencar untuk mencari air untuk persiapan mereka menghadapi bulan Ramadhan. Informasi mengenai bagaimana bulan Sya’ban ini diambil sebagai salah satu bulan diantara Rajab dan Ramadhan, sisi historisnya dapat ditelusuri dalam sebuah kajian Arab klasik karya Ibnu al-Mandzur, Lisaan al-‘Arab.

Jika zaman Arab kuno Sya’ban dijadikan tradisi berkelompok untuk menyebar mencari air, maka di Indonesia, bulan Sya’ban dijadikan tradisi “berkelompok” sebagian umat muslim untuk mengunjungi, membersihkan, tabur bunga di makam para leluhur mereka. Kita mungkin tak asing menyaksikan banyak kelompok orang kemudian mengunjungi makam orang-orang tua mereka atau leluhur mereka di setiap bulan Sya’ban yang di Jawa Tengah dikenal dengan istilah “nyadran” dan di Betawi dikenal dengan tradisi “ruwahan”. Saya kira, terdapat keterkaitan tradisi antara bangsa Arab dengan muslim di Indonesia yang entah kapan tradisi ini mulai dijalankannya tetapi yang jelas tradisi berkelompok dan memisahkan dari kelompok lainnya di bulan Sya’ban memiliki tradisi yang juga “serupa” sebagaimana kata “syu’ub” dalam bahasa Arab yang berkait dengan “sya’ban” juga mempunyai konotasi “sama” atau “serupa” dalam bahasa Indonesia.

Bulan Sya’ban bahkan mendapat tempat istimewa dalam kitab suci al-Quran, dimana disebutkan oleh salah satu sahabat Nabi, Ikrimah, bahwa sesungguhnya al-Quran diturunkan ke dunia melalui transmisi pewahyuan kepada Nabi Muhammad yang terjadi pada malam Nishfu Sya’ban. Ikrimah menjelaskan hal ini ketika menafsirkan kalimat, “Inna anzalnaahu fii lailatin mubaarokatin” (sesungguhnya Kami menurunkan (al-Quran) pada malam yang diberkahi) yang ada dalam surat ad-Dukhoon ayat 3, bahwa “lailatin mubarakatin” adalah malam Nishfu Sya’ban yang berbeda dengan mainstream penafsir lain yang kebanyakan menafsirkan bahwa al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Para mufassir di hampir seluruh kitab tafsir-nya selalu menyebutkan pendapat Ikrimah ini walaupun kebanyakan diantara mereka tidak menyepakatinya. Inilah saya kira, bentuk penghargaan para ulama terhadap perbedaan tafsir yang tetap dihargai sebagai bagian dari dinamika pemikiran bukan sebagai bentuk perselisihan yang harus dipertajam.

Hasil dari ijtihad Ikrimah mengenai bulan Sya’ban yang istimewa justru saat ini banyak diamini oleh umat muslim di Indonesia dengan mengkhususkan bulan Sya’ban—terutama di bagian pertengahannya sebagai malam istimewa yang menggambarkan peristiwa keagamaan yang luar biasa karena di malam tersebut seluruh malaikat diturunkan ke dunia atas izin Tuhan. Atas dasar ini, maka seluruh ritual keagamaan dalam bentuk doa ataupun dzikir justru akan memiliki nilai yang sangat besar dibanding bulan-bulan yang lainnya dalam rangkaian bulan Hijriyyah.

Ikrimah seakan memberikan pandangan lain soal kapan diturunkannya al-Quran yang melawan mainstream para sahabat dan ulama lainnya. Sejauh ini, informasi yang sampai kepada seluruh umat muslim bahwa kitab suci al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan berdasarkan rujukan historis terutama dari sumber-sumber otoritatif, al-Quran dan juga Sunnah Nabi SAW. Namun, melalui pembacaan yang lain, Ikrimah bin Abu Jahl justru berbeda dalam menyikapi kapan al-Quran itu diturunkan yang menurut pendapatnya justru di pertengahan bulan Sya’ban-lah al-Quran turun dari Lauh al-Mahfudz ke “langit dunia” bukan pada bulan Ramadhan walaupun pendapat seperti ini sangat jarang sekali diungkapkan. Bahkan pendapat Ikrimah kemudian dikritik oleh Ibnu Katsir sebagai anggapan yang terlampau jauh (ab’ad al-naj’ah) dalam menafsirkan “lailatun mubarokah” sebagai malam nishfu Sya’ban dan bukan malam lailatul qadar di bulan Ramadhan.

Terlepas dari perbedaan pendapat yang begitu mencolok tentang kapan al-Quran itu diturunkan, bulan Sya’ban tetap memiliki keunikan dan keistimewaan merujuk pada sisi historis dan pelembagaan ritualitas agama yang selama ini mewujud dalam tradisi masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Kita tentu tak dapat memungkiri bahwa bulan Sya’ban yang saat ini sedang berjalan tentunya akan dimaknai secara istimewa, terlebih puncaknya akan terlihat pada pertengahan bulan (nishfu) Sya’ban nanti. Selain akan digelar ritual-ritual keagamaan secara khusus pada malam tersebut, tradisi nyadran atau ruwahan yang umumnya dilakukan setelah pertengahan bulan juga akan tampak ramai dilakukan masyarakat muslim di Indonesia, khususnya di Jawa. Hendaknya kita tetap mengapresiasi tradisi yang sekiranya baik yang dijalankan sebagian umat muslim, terlebih berdoa dan berdzikir serta melakukan ziarah merupakan kegiatan yang bernilai ibadah yang tak ada sama sekali penyesatan di dalamnya. Sama halnya ketika para ahli tafsir menghargai pendapat Ikrimah dan menyebutnya sebagai pendapat yang telah melawan arus.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun