Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Menyoal Politisasi Masjid

28 April 2017   16:57 Diperbarui: 28 April 2017   17:12 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Maraknya beragam tulisan yang menyebutkan masjid telah dipolitisasi oleh beragam kepentingan politik terutama disangkutpautkan dengan kemenangan Anies-Sandi di Pilkada Jakarta terasa sangat berlebihan. Terlebih diketahui belakangan bahwa terdapat unsur “agama” yang ternyata menjadi alasan warga Jakarta dalam merealisasikan pilihan politiknya, tentu semakin mudah untuk menjustifikasi banyak hal yang kemudian dicap sebagai bagian dari politisasi, termasuk masjid yang dalam hal ini dituduh telah “dipolitisasi” untuk kepentingan-kepentingan politik oleh sebagian kelompok masyarakat muslim. Tuduhan politisasi terhadap masjid sebenarnya lebih banyak diarahkan oleh mereka yang Islamopobia yang beranggapan bahwa masjid seharusnya hanya dipakai untuk kegiatan ibadah, seperti sholat, i’tikaf atau pengajian yang kemudian khawatir jika masjid dipolitisasi, maka akan berpengaruh terhadap kualitas ibadah umat muslim.

Pilkada Jakarta terasa sangat berdampak luas, tidak hanya membentuk segmentasi masyarakat tetapi juga memunculkan banyak kelompok yang satu sama lain justru saling berbenturan dan yang paling berkesan adalah munculnya Islamopobia yang semakin parah. Agama justru seakan-akan diseret ke medan politik kepentingan dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menjustifikasi beragam fenomena pada kontestasi politik. Padahal, sepertinya pilihan berdasarkan “agama” adalah pilihan yang rasional ketika merujuk pada teori pilihan rasional klasik. Bagi saya, pertimbangan apapun yang didasarkan oleh pemilih, baik agama maupun program adalah sama-sama rasional dan harus dilihat sebagi bagian dari refleksi identitas sosial individu pemilih. Perdebatan mengenai rasional dan tidak rasionalnya pemilih, seharusnya tidak diperlebar kepada hal-hal yang seakan menyudutkan agama tertentu, termasuk kemudian menganggap terjadi politisasi di masjid-masjid.

Jika politisasi yang dimaksud adalah tempat ibadah yang dilaksanakan untuk kegiatan-kegiatan politik, seperti kampanye untuk memenangkan salah satu kontestan, memasang spanduk yang mengarah kepada salah satu kandidat atau berorasi untuk memilih salah satu calon kontestan dan itu jelas dilakukan oleh tim sukses salah satu calon kandidat, jelas ini sudah mengarah kepada bentuk politisasi. Sejauh ini, pihak pengelola masjid, saya kira, masih lebih banyak yang bersikap “netral” dan tidak mau masjidnya dijadikan ajang politisasi apalagi melakukan kampanye negatif. Jika-pun ada, itu hanya pihak-pihak lain yang ingin mencuri perhatian dengan memasang spanduk di masjid-masjid yang berisi “penolakan” kepada salah satu kontestan tertentu. Masjid, tentunya tetap menjadi tempat suci yang tak mungkin “dikotori” oleh hal-hal duniawiyah yang jelas-jelas agama telah melarangnya.

Nabi Muhammad SAW jelas telah melarang melakukan sesuatu kegiatan yang tidak bermanfaat terlebih dapat menjauhkan seseorang dari kekhusyukan dalam beribadah ketika berada di dalam masjid. Hal ini dijelaskan secara lebih jauh dalam sebuah hadis riwayat Muslim, dimana Nabi melarang siapapun melakukan “nasyd al-dloollah” (kegiatan yang menyesatkan dari ibadah) yang kemudian dirinci oleh Imam Nawawi sebagi bentuk kegiatan berbisnis yang tidak ada kaitannya dengan mudzakaroh fil ‘ilmi (belajar), sholat atau apapun kegiatan yang mendatangkan kebaikan bukan mengundang keburukan. “Masjid dibangun bukan untuk kegiatan yang seperti itu (nasyd al-dloollah)”, kata Nabi SAW. Bagi saya, politisasi bagian dari nasyd al-dloollah yang dilarang oleh Nabi, sehingga sangat tidak mungkin para pengurus masjid justru abai terhadap seruan Nabi seperti ini.

Saya kira, tuduhan berbagai pihak terhadap adanya kegiatan politisasi di masjid-masjid sehingga mengantarkan salah satu pasangan kandidat memenangkan kontestasi di Pilkada Jakarta adalah alasan yang sangat mengada-ada. Bahkan lebih naif lagi jika politisasi masjid justru dijalankan oleh salah seorang konsultan politik yang jasanya dipakai oleh salah satu pasangan kontestan. Saya kira, seorang konsultan politik akan lebih mengarahkan pada jalur-jalur rasional dalam memenangkan kandidatnya melalui berbagai kegiatan marketing politik dan akan cenderung menjauhi propaganda politik yang bersifat ideologis.

Pasca Pilkada Jakarta saya rasa masih ada “bara api” yang belum sepenuhnya padam sehingga muncul beragam tanggapan yang seringkali menyudutkan pihak yang telah memenangkan kontestasi. Yang sangat mengkhawatirkan adalah lahirnya Islamopobia yang mudah sekali menyudutkan kelompok agama tertentu sebagai kelompok yang melakukan politisasi agama. Bagi saya, kemenangan salah satu konsestan di Pilkada Jakarta bukan karena adanya efek politisasi agama yang sejauh ini dituduhkan kelompok tertentu. Kita tentu memahami, bahwa agama adalah identitas sosial yang hampir setiap hari menjadi hal yang biasa dilakukan masyarakat, bahkan saking dekatnya, isu agama dalam masyarakat menjadi sesuatu yang paling menonjol (salience) diantara isu-isu lainnya dalam konteks sosial. Kita hampir setiap hari mendengar suara azan dari masjid-masjid, bahkan demi toleransi sebuah rapat harus dihentikan sementara karena kumandang azan, belum lagi soal pertimbangan istirahat pada jam kerja karena harus memberikan waktu sholat untuk karyawan-karyawannya.

Inilah saya kira, kenapa seharusnya isu agama tidak terlalu mengejutkan bagi saya, karena sejatinya masyarakat Indonesia memang telah mengidentifikasikan dirinya dengan agama dan tetap menjalankan toleransi keberagamaannya. Agama menjadi sesuatu yang paling penting bagi identitas masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat tidak tabu ketika ada orang bertanya, apa agama anda? Mungkin anda akan terheran-heran ketika pertanyaan ini ditanyakan pada orang-orang yang hidup di negeri Tiongkok, mereka justru akan tersinggung ketika ditanyakan apa agamanya. Marilah kita menggunakan kewarasan berpikir dalam menyikapi hal-hal rasional yang terjadi bukan sekedar membuat-buat isu-isu tertentu yang justru akan menyalakan kembali “bara api” yang seharusnya sudah padam pasca Pilkada Jakarta ini.

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun