Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencari Titik Temu Persinggungan Agama dan Politik

8 April 2017   20:50 Diperbarui: 8 April 2017   20:58 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kondisi kekinian, sulit rasanya untuk berada pada posisi yang benar-benar berada “ditengah” diantara dua kutub yang ekstrem dan saling bertentangan. Disatu sisi, kita kadung sudah disusupi doktrinasi agama yang kian mengental dan membentuk sebuah pola pikir serta kepribadian tersendiri, dan disisi lain, kita justru dituntut untuk menjawab beragam tantangan zaman yang terkadang harus melampaui dan bahkan “bertentangan” dengan doktrin-doktrin keagamaan itu sendiri. Kedua kutub refleksi pemikiran ini selalu ada dan bahkan menguat saling berebut pengaruh dalam rentetan realitas sejarah. 

Dalam kaitannya dengan wacana besar pemikiran Islam, barangkali dapat lebih mudah terlacak bagaimana kedua kutub pemikiran ini merefleksikan dirinya, sehingga kemudian muncul identifikasi dalam masyarakat yang dilekatkan kepada masing-masing, mereka yang cenderung doktriner dan saklek masuk dalam kelompok puritan dan mereka yang non-doktriner dalam memandang beragam kuasi-keagamaan disebut sebagai kelompok liberal.

Masing-masing, saya kira, memiliki hak untuk memandang kebenaran dari sudut pandang sendiri-sendiri sehingga wajar jika kemudian ada sekelompok orang yang memposisikan dirinya “diluar” kedua kutub ekstrem itu. Mereka yang cenderung berada diantara dua kutub pemikiran ekstrem, kemudian seringkali disebut sebagai kelompok moderat walapun pada kenyataannya, kecenderungan moderasi tidak sepenuhnya memposisikan dirinya berada “ditengah” namun tetap saja arah pendulum pemikirannya akan bergerak kepada salah satu diantara dua kutub. Inilah saya kira, bahwa cukup sulit ketika kita pada posisi “tak memihak” karena jelas hal ini menjadi pijakan yang seringkali dikritik banyak orang karena seolah-olah menunjukkan ketidakmampuannya menjelaskan posisinya secara tegas.

Sejauh ini, penyebaran virus pemikiran yang merepresentasikan dua kutub yang saling bertentangan, terutama sangat terasa dalam persinggungan dengan sebuah realitas sosial-politik kekinian. Disatu sisi mereka yang berangkat dari asumsi doktriner yang ketat terhadap narasi keislaman yang otoritatif menyatakan bahwa politik dan agama jelas dua hal yang tak bisa dipisahkan. Keduanya berkelindan membentuk satu kesatuan utuh (holistik nature) sehingga dalam anggapan mereka berpolitik berarti menjalankan ajaran-ajaran agama yang diyakininya. 

Maka wajar, jika dalam perjalanannya kemudian, agama seringkali dimanfaatkan sebagai “alat” politik untuk mencapai kekuasaan. Saya kira, praktek menjalankan agama sekaligus “memanfaatkan” agama untuk tujuan politik sudah berjalan sekian lama mewarnai setiap sejarah kehidupan manusia.

Dalam beberapa hal, agama justru dapat mendorong ke arah partisipasi politik dimana setiap orang dengan keyakinan agamanya memiliki cara pandang tersendiri terhadap dunia politik. Sejauh ini, diskursus mengenai keterlibatan agama dalam politik di Indonesia justru terlihat saling berhadap-hadapan bahkan memperlihatkan gerak sentripetal: Islam seolah menjadi gejala kebangkitan (the return of religion) yang kemudian dianggap sebuah “ancaman” oleh berbagai pihak, sehingga seluruh elemen bergerak menjelaskan posisinya masing-masing dalam sebuah lingkup besar wacana politik Islam. 

Saya tak memungkiri bahwa mereka yang memahami Islam secara formalistik maka tak akan berubah pendiriannya untuk bersikukuh bahwa agama dan politik merupakan satu kesatuan, sehingga tak ada masalah jika agama kemudian dijadikan “alat” untuk mendorong partisipasi politik. Walaupun disisi lain, banyak kalangan muslim yang emoh mengkaitkan agama dengan politik, sehingga muncul berbagai macam kritikan yang dialamatkan kepada kelompok formalisme agama.

Mainstream besar yang sejauh ini memandang ada kekhawatiran “berlebihan” terhadap politisasi agama—terutama pasca kasus Ahok—oleh sebagian kalangan seakan menggiring wacana bahwa menjadikan agama sebagai komoditas politik adalah perbuatan haram dan tabu, padahal tidak semua komodifikasi agama dalam praktik politik dinilai sebagai sesuatu hal yang negatif. Mengutip tulisan Saiful Mujani yang menyebut bahwa ada logika kuat yang mendasari antara agama dan partisipasi politik. 

Hal ini didasarkan atas tulisan Wuthnow (1999) dalam buku Muslim Demokrat karya Saiful Mujani bahwa di Amerika saja para anggota gereja yang aktif didorong untuk menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab dan ini merupakan bentuk partisipasi politik yang autonomous. Bahkan kasus di Brazil dan Korea Selatan sebagaimana dilakukan penelitian oleh McDough, Shin dan Moises, agama justru menjadi faktor pendorong bagi demokratisasi bahkan tidak hanya itu, ia bisa menjadi faktor utama bagi aksi kolektif dalam memposisikan cara pandangnya terhadap dunia politik.

Saya sepakat dengan Prof Karen Amstrong yang menyatakan bahwa agama mencakup kehidupan diluar kehidupan ruhani, sehingga seringkali para pemimpin agama harus menghadapi masalah-masalah negara dan berhubungan dengan dunia bahkan seringkali dengan senang hati melakukannya. Tak jarang, para pemimpin agama bersengketa dengan keyakinan-keyakinan lain yang menentang klaim atas monopoli kebenaran absolut. 

Di sinilah saya kira, kedua kubu dalam wacana besar diskursus agama dan politik kemudian juga sama mendasarkan alasan-alasannya kepada berbagai sumber otoritatif hukum Islam, baik yang mereka narasikan dari kitab suci al-Quran, sunnah Nabi SAW ataupun pengalaman-pengalaman muslim generasi awal. Yang seringkali membedakan adalah mungkin bentuk solidaritas yang terbangun, bahwa Islam secara umum mendasarkan solidaritasnya kepada kelompok, golongan dan ummah dalam skala lebih besar, sedangkan di luar Islam mendasarkan solidaritas tertingginya pada bangunan bangsa-negara (nation state). Dari persinggungan inilah saya kira, bahwa kedua kubu secara kurang lebih sama “mengklaim” atas monopoli kebenaran yang berangkat dari asumsi-asumsi keagamaan yang juga diambil dari sumber-sumber otoritatif ajaran Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun