Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beda Tafsir Soal Makar: Dekonstitusional?

3 April 2017   10:45 Diperbarui: 4 April 2017   17:35 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuduhan atas upaya makar yang dijadikan dalil hukum bagi aparat kepolisian dalam menangkap beberapa orang terkait aksi 313 beberapa waktu yang lalu menimbulkan banyak tanda tanya. Hal ini terutama dalam soal beda tafsir mengenai pasal 107 dan 110 KUHP terkait tindak pidana makar. Aparat kepolisian berdalih bahwa ada indikasi aksi 113 akan diarahkan untuk menduduki Gedung Parlemen di Senayan dan meminta para wakil rakyat untuk memakzulkan presiden dan mengembalikan UUD 1945 pada naskah aslinya. Kita tentu tidak lupa, pasal makar menjadi kekuatan otoriter rezim Orde Baru untuk membungkam suara para aktivis agar tidak “mengganggu” jalannya kekuasaan. Mereka tidak diberi ruang untuk menyuarakan beragam kritik dan aspirasinya, sehingga sedikit saja “menyentil” kekuasaan lantas mereka langsung ditangkap dengan tuduhan makar.

Sebagaimana diketahui, pasal 107 berkait dengan tindakan-tindakan yang berupaya menggulingkan pemerintahan sedangkan pasal 110 adalah terkait dengan persekongkolan dan pemufakatan jahat. Pakar hukum almarhum Prof Loebby Loqman misalnya menyebutkan bahwa Indonesia sebenarnya manganut teori hukum objektif bukan subjektif. Dengan demikian, persoalan makar jika dilihat dari teori objektivitas hukum, maka ia harus dilihat jika sudah terjadi ada tindakan-tindakan lanjutan secara lebih jauh. Jika hanya sekedar statement, orasi, niat, ataupun arahan-arahan yang mengarah kepada tindakan makar yang belum secara tegas terbukti tindakannya, maka belum bisa disebut makar. Saya kira, publik kemudian bisa lebih cerdas menilai, benarkah bahwa setiap ada upaya kritik yang keras kepada pemerintahan lantas langsung dicap sebagai bagian dari upaya makar. Namun demikian, penguasa lebih cenderung menggunakan teori subjetktif dengan asumsi bahwa “niat” yang dimaksud adalah “sesuatu yang abstrak” maka aparat bisa memprosesnya secara subjektif pula.

Dalam banyak hal, pasal yang mengatur soal makar memang selalu multitafsir, tergantung kemana arah penguasa berpihak. Jika para penguasa berpihak kepada sistem demokrasi yang mengedepankan suasana kebebasan publik, baik dalam hal berpendapat atau berkumpul, maka pasal makar hanya akan diberlakukan kepada mereka yang terbukti menyusun dan menggerakkan pihak-pihak yang dipersenjatai dengan tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah. Pasal makar, tentunya tidak akan dipergunakan untuk mereka yang bersuara secara “ktitis” atau tidak menyetujui pemerintahan yang ada saat ini. Saya kira, bentuk ketidaksetujuan terhadap pemerintahan dengan melakukan demonstrasi atau kritik secara terbuka, justru adalah “obat” bagi pemerintah sebagai asupan positif bagi pertimbangan setiap kebijakan-kebijakannya. Sikap anti-kritik justru bisa bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sejauh ini digaungkan sejak era reformasi.

Penangkapan Sekjen FUI Muhammad al-Khathath dan para aktivis lainnya justru mengundang polemik dalam masyarakat, terutama soal tuduhan yang dialamatkan kepada mereka sebagai perbuatan makar. Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, ikut bersuara soal tuduhan makar yang disematkan kepada mereka. Maneger mengatakan tudingan-tudingan tersebut bukan termasuk kedalam definisi makar karena merupakan salah satu mekanisme dalam mengutarakan aspirasi. Disini memang terletak kesulitan jika definisi makar hanya menjadi hak tafsir para penguasa. Pasal karet yang ada dalam pasal 107 dan pasal 110 KUHP memang sudah sejak zaman Orde Baru dipergunakan para penguasa sebagai alat untuk membungkam kebebasan berekspersi.

Senada dengan pendapat Komnas HAM, Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa berpendapat yang dilansir dalam situs bbc.com bahwa pasal makar itu tergantung dari definisi atau tafsir penguasa. Seringkali orang dituduh makar karena ekspresinya meminta pemerintahan untuk turun atau menyampaikan ekspresi ketidakpuasannya kepada pemerintah. Penerapan pasal makar itu tidak tepat karena melanggar kebebasan berekspresi masyarakat. Ghiffari melanjutkan, bahwa jika memang terdapat bukti-bukti secara nyata bahwa terdapat tindakan kekerasan didalamnya untuk melakukan sabotase atau membuat suasana chaos, tetapi apakah mereka memiliki kemampuan seperti itu? Pertanyaan inilah yang seringkali tidak pernah kita temukan jawabannya dan mereka yang dianggap berbuat makar pada akhirnya mendekam ditahanan tanpa ada kejelasan proses pembuktian lebih lanjut.

Jika memang multitafsir soal penegakkan hukum makar antara praktisi hukum dan penguasa, terlebih masing-masing berpegang pada perspektif subjektivitas dan objektivitas, tetapi ada upaya “pengenyahan” tafsir lain yang tidak sesuai dengan keinginan penguasa ini bisa merupakan kemunduran demokrasi karena ada upaya dekonstitusionalisasi mengenyahkan penafsiran hukum lain yang berseberangan dengan penguasa. Sebagai penguasa yang lebih arif, lebih bijaksana dan lebih adil seharusnya upaya untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dengan cara-cara demokratis adalah lebih baik, daripada sekedar mengecap seseorang atau sekelompok orang dengan tuduhan makar. Seringkali dalam banyak hal, isu makar dibuat oleh penguasa untuk mengalihkan isu-isu besar lainnya yang lebih besar yang justru pada tahap tertentu justru bisa lebih berbahaya dari isu makar itu sendiri. Di era pemerintahan ini, saya kira, sudah dua kali penguasa menangkap para aktivis yang dituduh melakukan perbuatan makar di tengah isu besar lainnya yang menyeruak mendiskreditkan pemerintahan.

Lagi pula, jika kemudian ketidaksepahaman antara beberapa kelompok dengan penguasa dan dilakukan dengan cara penyampaian aspirasi terlebih aspirasi tersebut akan dititipkan kepada lembaga berwenang seperti DPR, justru itu adalah jalur konstitusional. Termasuk keinginan beberapa pihak yang hendak mengembalikan UUD 1945 bukan hasil amandement melalui mekanisme sidang di parlemen, saya kira, itu merupakan jalur yang kosntitusional bukan inkonstitusional. Saya kira, para penguasa semestinya lebih adil dalam melihat konteks makar yang kemudian dituduhkan terhadap beberapa orang, jangan didasarkan oleh ketidaksukaan atau kebencian atau terlebih dengan asumsi mendapat “tekanan” ini justru dapat mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi soal kebebasan berpendapat. Jangan sampai kemudian tudingan makar secara lebih jauh justru mengancam kebebasan itu sendiri. Jika memang negeri ini belajar berdemokrasi, maka belajarlah menghargai setiap pendapat orang, berbeda itu bukan ancaman, tetapi kritik yang dapat menjadi obat untuk kemajuan.

Wallahu a’lam bissawab     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun