Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pil Pahit Untuk Pak Kiai

27 Maret 2017   16:58 Diperbarui: 28 Maret 2017   01:00 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari yang lalu, sidang kasus penistaan agama atas terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kembali digelar untuk kesekian kalinya. Sidang kali itu menghadirkan seorang pengurus MUI Pusat, Kiai Ahmad Ishomuddin yang dihadirkan sebagai saksi ahli dari pihak Ahok. Ahmad Ishomuddin juga dikenal sebagai salah satu pengurus Suriyah PBNU yang jelas-jelas memiliki reputasi sebagai bagian dari seorang ulama, paling tidak memahami dan mendalami bidang-bidang kajian keislaman klasik sebagaimana yang selalu dicirikan oleh mereka yang secara kultural memiliki keterikatan dengan organisasi NU. Kehadiran kiai Ishomuddin tentu bukan saja diminta oleh pihak pengacara Ahok sebagai ahli dalam bidang agama Islam, tetapi juga sebagai inisiatif pribadi dirinya untuk ikut dalam menyuarakan pendapatnya soal bagaimana sebenarnya status dan kedudukan Ahok dilihat dari konteks sumber literatur keislaman soal dirinya yang menyangkutpautkan ayat suci al-Quran yang tidak pada konteks sebenarnya.

Sebagaimana diinformasikan oleh salah satu media, Kiai Ishomuddin memiliki pendapat berbeda dari para pendahulunya yang bernaung dalam organisasi MUI, dimana para wakil yang telah dihadirkan atas nama MUI justru selalu sepakat, bahwa ucapan Ahok ketika berkunjung di Kepulauan Seribu dalam kegiatan pemerintahan mengandung unsur penistaan agama, karena beberapa kalimat yang diucapkannya soal al-Maidah 51 justru dianggap menistakan al-Quran dan umat Islam. Beberapa saksi ahli agama Islam yang dihadirkan dari unsur MUI, semuanya sepakat bahwa pidato Ahok di Kepualaun Seribu dianggap menistakan agama Islam, kecuali Kiai Ishomuddin yang dengan asumsi keagamaannya menyatakan tidak ada unsur penistaan agama atas apa yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu beberapa waktu yang lalu.

Kiai Ishomuddin menyandarkan pendapatnya dari hasil riset dari beberapa literatur klasik dan juga kontemporer Islam mengenai tafsir surat al-Maidah ayat 51. Kiai Ishomuddin, misalnya, berpendapat bahwa konteks sosio-historis mengenai surat ini tidaklah berkaitan langsung dengan pemilihan pemimpin (politik) tetapi lebih kepada larangan mengambil pihak Yahudi atau Nasrani sebagai “teman setia” karena pada waktu itu, mereka justru seringkali memusuhi Nabi saw. Dengan demikian, ketika persoalan pencatutan surat al-Maidah 51 oleh Ahok justru tidak bisa dilihat dalam konteks pemilihan pemimpin (politik) terlebih soal pemilihan gubernur. Kiai Ishomuddin berangkat dari situasi historis (asbabunnuzul) soal kondisi pada waktu itu sehingga surat al-Maidah 51 diturunkan kepada Nabi. Hampir seluruh kitab tafsir, saya kira, juga menyebut kurang lebih sama bahwa ayat yang disebutkan diatas tidak terkait dengan persoalan pemilihan politik apapun.

Hal yang menarik bagi saya, kemudian Kiai Ishomuddin menjelaskan makna “aulia” atau “wali” yang terdapat dalam ayat 51 surat al-Maidah tersebut yang memiliki pengertian “musytarak” (banyak makna) sehingga kata ini tidak bisa monotafsir, tetapi multi-tafsir. Suatu lafadz atau kata jika secara bahasa tidak menunjuk pada makna atau pengertian tertentu, maka lafadz itu jelas memiliki cabang dalam pemaknannya, bisa lebih dari satu makna, sehingga para ahli bahasa menyebut makna atau lafadz tersebut sebagai “isytirak al-lafdz” (kata dengan banyak makna). Memang, dalam bahasa Arab banyak sekali kata-kata yang mengandung banyak makna, walaupun tulisannya sama. Tidak hanya “wali” atau “aulia”, kata “sholat” pun tidak seluruhnya memiliki konotasi ibadah ritual, karena “sholat” secara bahasa bisa “doa” atau membaca sholawat. Atau bisa saja misalnya, kata “insan” yang mengandung pengertian “seluruh manusia” jika dia musytarak, atau bisa berarti salah seorang saja diantara manusia.

Musytarak yang melekat dalam sebuah lafadz dalam bahasa Arab, tentunya menjadi titik perbedaan diantara para ahli bahasa Arab dan itu sudah menjadi perdebatan yang terbiasa bahkan diantara para ahli ushul fiqh dan juga ahli tafsir, sehingga benar menurut apa yang disampaikan Kiai Ishomuddin bahwa lafadz musytarak yang melekat dalam kata “wali” atau “aulia” tidak mono-tafsir tetapi multi-tafsir. Hanya saja barangkali, bahwa makna musytarak dalam sebuah lafadz, terutama yang tertulis dalam kitab suci al-Quran, ada yang memiliki keterikatan, apakah dia makna lughowiyyah (kebahasaan) yang berdiri sendiri atau memiliki keterkaitan secara langsung dengan makna syariah (ritual keagamaan). Ketika terdapat banyak perbedaan dalam memaknai lafadz musytarak, maka biasanya para ahli ushul fiqh selalu mengembalikan kepada makna asal-nya, karena hukum musytarak adalah lafadz yang memiliki batasan makna. Para ahli ushul fiqh kemudian menyatakan bahwa setiap lafadz yang mengandung pengertian musytarak pasti berkaitan dengan petunjuk hukum, sehingga sesungguhnya tidak ada lafadz musytarak yang benar-benar berdiri sendiri tanpa ada kaitan apapun dengan petunjuk hukum.

Dalam memaknai lafadz musytarak yang dimaksud oleh Kiai Ishomuddin dengan menyatakan bahwa kata “wali” atau “aulia” adalah berarti “teman setia” justru benar karena berkait dengan sosio-historis ayat tersebut diturunkan, namun mungkin Kiai Ishomuddin lupa akan satu hal, bahwa sebagaian besar ahli ushul fiqh sepakat mengenai lafadz musytarak yang ketika mengandung beragam makna terlebih ketika disesuaikan dengan kontekstualisasi penggunannya (siyaq al-isti’mal) maka seharusnya ia dikembalikan kepada makna asal-nya, bahwa “wali” atau “aulia” makna asal secara bahasa adalah “pemimpin”, bukan “teman setia”. Disinilah mungkin terletak perbedaannya diantara ulama lain yang tergabung dalam MUI yang telah terlebih dahulu memahami kaidah-kaidah ushul fiqh secara lebih mendalam. Namun demikian, sebuah perbedaan pendapat dalam hal apapun, selama dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah merujuk kepada petunjuk-petunjuk keilmuan yang ada adalah sebuah upaya ijtihad yang layak kita apresiasi sepenuhnya.

Ketidaksepakatan dengan para pendahulunya di MUI, Kiai Ishomuddin juga menyayangkan ketiadaan pihak MUI Pusat bertabayyun (konfirmasi) terlebih dahulu terhadap bukti-bukti kebenaran yang dilakukan Ahok. Disini juga ada perbedaan pandangan mengenai prinsip “tabayyun” dimana dalam perspektif Kiai Ishomuddin tabayyun hendaknya memanggil pihak yang berperkara sehingga jelas apa sebenarnya persoalan yang terjadi. Bisa jadi bahwa pihak MUI juga bertabayyun tidak dengan bertatap muka langsung, namun melihat video pidato Ahok secara utuh juga sudah merupakan sikap tabayyun, tanpa harus menghadirkan orang-orang yang hadir dalam video pidato tersebut. Karena, bisa jadi, tabayyun yang terjadi dalam tradisi Islam adalah bahwa Nabi juga mengutus orang lain untuk mengecek kebenaran sebuah informasi, tanpa harus Nabi sendiri yang memanggil orang yang berperkara tersebut. Hasil dari laporan yang kemudian dibawa dan disampaikan kepada Nabi adalah bentuk praktek tabayyun yang juga ada dalam sejarah Islam.

Tentu saja, sikap dan pendapat keagamaan yang dilakukan Kiai Ishomuddin dalam sidang ke 15 soal penistaan agama yang dilakukan Ahok berimplikasi sangat luas, dari mulai hujatan, tuduhan dan bahkan pemecatan dirinya dari kepengurusan MUI. Ini adalah “pil pahit” yang harus ditelan oleh Pak Kiai dalam rangka mempertahankan pendapat keagamaannya yang tentu saja melawan arus kebanyakan pendapat yang lain dalam hal kedudukan dan status penistaan agama oleh Ahok. Bagi saya, ini adalah hal biasa, bagi seseorang yang mungkin keukeuh dengan pendapat keagamaannya untuk berbeda dengan yang lainnya. Namun, kondisi ini berada pada konteks Kiai Ishomuddin berada dalam suasana sidang pembelaan yang tentunya unsur dukungan kepada “yang dibela” oleh dirinya belum bisa lepas dari nuansa subjektivitas dirinya. Tentu akan sangat berbeda jika pendapat Kiai Ishomuddin dipaparkan tidak dalam konteks persidangan, tetapi dalam konteks lain, seperti forum bahtsul masaail atau diskusi keagamaan. Disinilah saya kira, publik kemudian dapat menilai kemana sebenarnya pendapat keagamaan dirinya ditujukan, apakah murni ijtihad keagamaan ataukan terseret oleh adanya kepentingan lainnya.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun