Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ustadz dan Poligami

15 Maret 2017   10:41 Diperbarui: 15 Maret 2017   20:00 5717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah kenapa, bahwa kehidupan seorang ustadz, da’i, atau kiai lekat dengan nuansa poligami. Kita mungkin tak bisa menyebut satu-persatu, siapa saja mereka yang dianggap berpologami karena sejatinya hampir semua masyarakat sudah tahu. Terkadang, berpoligami bisa menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat, ada yang biasa-biasa saja, nyinyir, atau ada saja yang mendukung. Tak sedikit diantara para ustadz atau da’i ini yang tiba-tiba meredup kepopulerannya akibat praktek poligami yang mereka lakukan. 

Sebut saja misalnya KH Abullah Gymnastiar (AA Gym) yang beberapa tahun yang lalu dihebohkan oleh kenyataan bahwa dirinya ternyata berpoligami, sehingga menimbulkan rasa tidak simpatik dari sebagian masyarakat. Kondisi ini lambat laun, mengubur popularitas AA Gym yang padahal ceramah-ceramahnya yang sederhana disukai oleh berbagai kalangan sosial. Da’i kondang “sejuta umat”, almarhum KH Zainuddin MZ pun tak luput dari isu poligami yang menyeruak, sehingga membuat karir beliau waktu itu terasa terjun bebas.

Namun disisi lain, ada juga praktek poligami yang dilakukan sederet nama-nama beken ustadz atau penceramah, namun disikapi biasa saja oleh masyarakat karena secara karir, tampak tidak menunjukkan penurunan secara signifikan. Hal inilah kemudian seringkali membuat kita bertanya-tanya, benarkah kehidupan seorang ustadz atau da’i yang populer lekat dengan poligami? Lalu apa yang mendorong mereka berpoligami sebenarnya? Saya kira banyak pertanyaan-pertanyaan seperti ini menggelayuti pikiran banyak orang, terutama kaum muslim, yang tentu saja seringkali mendapat jawabannya dalam kajian-kajian sumber otoritas hukum Islam yang seringkali menjadi “pembenaran” terhadap praktek poligami yang dilakukan tokoh-tokoh agama dalam masyarakat. Pembenaran ini terkadang didukung oleh praktek sejarah Islam awal yang dijalankan oleh Nabi Muhammad, bahwa beliau sebagai Nabi juga melakukan praktek pologami.

Kita tentu tak dapat pungkiri, bahwa kehidupan masa jahiliyah (kegelapan) pra Islam, baik di dunia Arab atau belahan dunia lainnya, praktek poligami tentu sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat. Kita tentu seringkali menjumpai realitas sejarah, bahwa para raja-raja dan tokoh-tokoh masyarakat utamanya, terbiasa melakukan praktek poligami. Masyarakat Arab pra-Islam bahkan para saudagar kaya dan pemuka agama bisa memiliki istri lebih dari sepuluh orang dan tentu saja praktek kawin-cerai sudah menjadi adat kebiasaan waktu itu. Hingga kemudian Islam datang dibawa oleh Nabi Muhammad, praktek poligami kemudian diatur jumlahnya, bahwa memiliki istri tidak boleh lebih dari empat, sehingga konsekuensinya harus menceraikan yang lainnya. Pembatasan jumlah ini bukan berarti melarang sama sekali berpoligami, tetapi Islam memandang perlu penyadaran bertahap, bahwa memiliki istri lebih dari satu lebih banyak terjatuh dalam kondisi ketidakadilan dibanding rasa adil yang dapat memenuhi mereka yang berpoligami.

Kita dapat menelusuri dalam sejarah Islam, bahwa seorang sahabat Nabi Muhammad, Haris ibn Qais pernah memiliki istri delapan orang, tetapi setelah diketahui oleh Nabi saw, maka Nabi menyuruhnya agar membatasi menjadi empat orang saja. Sebelumnya, seorang sahabat lain bernama Ghilan bin Salmah bahkan ketika masa Jahiliyah memiliki istri lebih dari sepuluh, lalu setelah memeluk Islam, Nabi saw memerintahkannya untuk memilih empat saja diantara istri-istrinya yang ada. Membatasi jumlah istri menjadi empat orang ini sepertinya kemudian menjadi semacam “pembenaran” untuk berpoligami, terutama bagi mereka yang telah menjadi tokoh agama, baik ustadz, da’i ataupun mereka yang kemudian dianggap sebagai “agamawan” dalam pandangan masyarakat tertentu.

Kebolehan berpoligami dalam tradisi Islam memang telah disebutkan juga secara jelas dalam kitab suci al-Quran, walaupun konteksnya adalah sangat berkait erat dengan penegakkan keadilan dalam sebuah mahligai rumah tangga. Al-Quran dengan gamblang menyebutkan, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS Annisaa ayat 3). Dalam konteks ayat ini jelas, penekanannya adalah pada kalimat, “jika kamu takut tidak berlaku adil” dan “maka (kawinilah) seorang saja” sehingga memiliki satu istri adalah perbuatan yang lebih dekat kepada keadilan dan adil jelas sangat dicintai Tuhan.

Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa poligami sesungguhnya bukanlah syariat yang ditetapkan dalam hukum Islam, tetapi dia hanyalah sebatas “darurat kemanusiaan” (dlorurah al-insaniyah) yang bersifat kondisional terkait dengan rekayasa sosial. Zaman pra-Islam atau masa-masa Islam awal, seringkali terjadi peperangan yang secara langsung berpengaruh terhadap jumlah para istri yang ditinggalkan suaminya karena gugur di medan laga. Kehidupan perempuan yang tidak bersuami (berwali) cenderung rentan terhadap kejahatan atau pelecehan dari kaum laki-laki, sehingga untuk melindungi kaum perempuan, laki-laki harus segera menikahinya. Inilah yang saya maksud, bahwa berpoligami merujuk kepada sejarah adalah berkait dengan kekhawatiran akan kaum perempuan yang “tak terlindungi” dan rentan mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari kaum laki-laki. Maka, jika kita tarik pada kondisi kekinian, yang cenderung lebih aman dari peperangan, maka menikah lebih dari satu tidak bisa menggunakan alasan agama, tetapi lebih kepada alasan-alasan psikologis dan kecenderungan pribadi seseorang.

Baru-baru ini, publik mungkin dikejutkan oleh kasus poligami yang dilakukan salah satu da’i populer, Ustadz Al-Habsyi yang kasusnya masih bergulir di pengadilan agama Jakarta. Poligami yang dilakukan Al-Habsyi justru baru diketahui oleh istrinya yang sah setelah sekian tahun berjalan, sehingga sang istri jelas mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Umumnya, praktek poligami yang dijalankan, selalu diketahui oleh istri yang pertama, walaupun memang persoalan “meminta izin” jika berpoligami tidak disebutkan secara tegas dalam ajaran Islam. 

Saya kira, tradisi poligami yang dijalankan pada praktek Islam awal-pun pasti “saling mengetahui” dengan mengungkapkan alasan-alasan mengapa berpoligami yang didasari oleh sebuah kenyataan sosial, seperti misalnya kekhawatiran bahwa perempuan yang ditinggalkan gugur oleh suaminya justru akan mendapatkan perlakukan tidak baik dari laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Ini artinya, rasionalisasi berpoligami seharusnya adalah berangkat dari keinginan mengangkat derajat seorang perempuan yang mungkin sulit dan berat menghadapi hidup jika tidak didampingi suami atau walinya.

Fenomena belakangan malah muncul istilah menggelikan, yaitu “nikah siri” yang secara linguistik justru memiliki makna yang saling bertolak belakang. “Nikah” adalah bagian perbuatan halal yang sangat disukai Tuhan, melalui “penyatuan” dua insan yang berbeda laki-laki dan perempuan. Pernikahan berkonotasi “pasangan” lain jenis yang “disatukan” melalui ikatan bersama berdasarkan agama, adat atau budaya yang jelas diumumkan dan diketahui banyak orang. Sedangkan “sirri” yang berarti “rahasia” dalam bahasa Arab berarti mengandung pengertian “sembunyi-sembunyi” dan tidak mau diketahui orang. Hal ini jelas, “nikah sirri” justru tidak hanya bertolak belakang dengan konsep pernikahan dalam Islam, tetapi memiliki konotasi “penyimpangan” yang jauh dari nilai-nilai agama maupun budaya. 

Jadi, saya kira, sebaiknya jika memahami istilah “poligami” terlebih “nikah sirri” justru bukan berasal dari agama, tetapi lebih merujuk pada persoalan-persoalan sosiologis dan psikologis yang ada dibalik setiap orang yang berkeinginan poligami. Jika memahami makna “keadilan” yang lebih dicintai Tuhan, maka saya yakin setiap orang akan memilih satu, karena disinilai sebenarnya nilai-nilai keadilan dapat terwujud, bukan dua, tiga atau empat.  

Wallahu a'lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun