Bahkan fondasi utama persatuan Islam dibangun oleh kemudahan (yassiru) bukan oleh kerumitan (wa laa tu’assiru) sehingga kerjasama dalam bidang apapun akan tampak menjadi kuat dan berjangka panjang tidak sekedar kerjasama sesaat. Sungguh bahwa kerjasama yang baru saja terwujud secara baik antara RI-Arab Saudi perlu mendapatkan apresiasi dari seluruh masyarakat, terlebih warga muslim yang menjadi mayoritas di Indonesia. Secara tidak langsung, hal ini membuktikan bahwa kerjasama yang didasari oleh kesamaan nilai-nilai dan ideologi cenderung lebih mudah dan nihil persyaratan yang rumit dibanding kerjasama dengan negara lain yang berbeda ideologinya.
Asumsi saya, bahwa apa yang terjadi antara RI-Arab Saudi sejauh ini adalah bentuk nyata dari kerjasama menguntungkan atas dasar persaudaraan Islam. Presiden Jokowi jelas memiliki peran penting dalam membangun kerjasama bilateral ini dengan menepis berbagai anggapan bahwa muslim di Indonesia sedang mengalami konflik. Presiden Jokowi berhasil meyakinkan otoritas Arab Saudi bahwa wajah Islam Indonesia lebih moderat dan humanis sehingga akan lebih menjamin keamanan atas investasi apapun yang dijalankan kedua belah pihak.
Konflik politik yang selama ini terjadi hanyalah sebatas “riak-riak” yang muncul di permukaan, bukan pada dimensi terdalam yang dipicu oleh emosi keagamaan. Tidak menutup kemungkinan jika kemudian Indonesia justru akan menjadi perhatian dunia Islam pada umumnya, karena sikap toleransinya yang ditunjukkan ditengah heterogenitas suku, budaya, bahasa dan agama namun tetap mampu menjaga keutuhan bangsanya. Menjadi kiblat dunia bagi peradaban Islam saya kira tidak sulit bagi Indonesia, terlebih negeri ini sudah memiliki modal sosial yang kuat soal budaya dan pemikiran keislaman.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H