Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

KH Solihin Uzer, Ketua MUI Kota Cirebon yang Moderat

28 Februari 2017   11:50 Diperbarui: 1 Maret 2017   04:00 1404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Kota Cirebon merupakan kota yang menjunjung tinggi sikap toleransi antarumat beragamanya. Kota yang dihuni oleh kurang lebih 300 ribu jiwa ini merupakan masyarakat heterogen yang harmonis walaupun muslim menjadi agama mayoritas di Kota Udang ini. Ketika melihat lebih jauh ke dalam, deretan bangunan zaman kolonial masih berdiri kokoh dan dijadikan gudang-gudang sembako atau kelontong yang dijalankan oleh pebisnis beretnis Tionghoa. Mereka berbaur dengan masyarakat lokal, saling bekerjasama yang menguntungkan tanpa harus dibatasi oleh etnis, budaya maupun agama. Di antara beberapa wilayah lainnya—seperti Kuningan, Majalengka dan Indramayu—Kota Cirebon dinilai sebagai kota paling moderat soal hubungan antaragama diantara penduduknya.

Adalah almarhum Syarif Muhammad bin Syekh bin Yahya atau yang lebih dikenal dengan “Ayip Muh” salah seorang ulama kharismatis Kota Cirebon yang mempelopori kehidupan toleransi antarumat beragama di kota ini. Kehidupannya yang sederhana dan humanis, membuat warga Kota Cirebon tak asing dengan sosok ini, dari mulai pejabat sampai penjual donat, hampir semuanya mengenal sosok bersahaja ini. Ayip Muh juga merupakan Ketua MUI Kota Cirebon selama dua periode hingga beliau wafat pada Desember 2006 dan jabatan ketua MUI kemudian diteruskan oleh salah satu sahabat dekatnya, KH Solihin Uzer. Sebelumnya, Kiai Solihin merupakan unsur ketua di jajaran kepengurusan MUI sewaktu masih dipimpin Ayip Muh, sehingga estafet moderasi islam tetap terjaga selepas Ayip Muh wafat.

Kiai Solihin merupakan “ulama tanpa pesantren” yang dekat dengan berbagai kalangan Islam, baik yang moderat maupun “garis keras”. Hubungan dengan berbagai kalangan umat beragama sudah dirajutnya ketika beliau masih menjabat sebagai kepala Kemenag Kabupaten Cirebon. Tidak hanya itu, kiai Solihin juga pernah aktif di dunia politik sebelumnya karena pernah dua periode menjadi anggota DPRD Kabupaten Cirebon dari Fraksi Golkar. Pengalaman selama pengabdian menjadi aparatur negara sekaligus jabatan politik, menjadikan sosok ulama asal Desa Kreyo ini multitalenta, sanggup menjalankan dua kaki sekaligus, sebagai “manajer” dan juga pengayom umat. Hampir dipastikan, sangat jarang sosok ulama yang berpengalaman dalam bidang pemerintahan dan politik, sekaligus sebagai panutan umat yang mengatur urusan-urusan keagamaan sekaligus masyarakat.

Itulah sebabnya, perjuangan Kiai Solihin tidak sebatas pemberdayaan umat, tetapi bagaimana umat beragama dapat menjalin kerukunan secara baik sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Kedudukannya sebagai ketua MUI sekaligus sebagai ketua FKUB Kota Cirebon membuat kesibukannya tak pernah berkurang ditengah usia dirinya yang telah mencapai senja. Salah satu kepiawaiannya dalam soal administrasi, Kiai Solihin ketika menjabat sebagai ketua MUI, berhasil membangun sendiri kantor MUI Kota Cirebon yang setelah sekian lama tidak pernah terwujud. Ini jelas, bahwa lobi-lobi politik dilakukannya guna meyakinkan para pemangku kepentingan di Kota Wali ini, bahwa MUI perlu fokus dalam menjalankan seluruh aktivitas sosial-keagamaannya sehingga dibutuhkan kantor sendiri dalam membicarakan pelbagai problem umat.

Sikap moderat kiai Solihin dalam hal perbedaan pandangan keagamaan dapat terlihat dari berbagai peristiwa “kekerasan” yang ditimbulkan masyarakat, baik karena gesekan keberagamaan maupun kepentingan kelompok. Masih melekat dalam ingatan saya, bagaimana dia kemudian berhasil meredam aksi sepihak dari kalangan muslim “garis keras” yang melakukan aksi sweeping secara arogan dalam menertibkan maraknya peredaran miras di Kota Cirebon. Kiai Solihin tetap berpegang pada aturan hukum negara dan tidak mentolelir aksi-aksi “ilegal” yang mengatasnamakan agama. Bahkan, sikap moderatnya dapat juga dirasakan dari himbauannya kepada umat Islam Kota Cirebon agar tidak mengikuti berbagai macam aksi di Jakarta, seperti aksi “212”, “411” dan “112” beberapa waktu yang lalu.

Sebagai seorang ulama moderat, Kiai Solihin kerap mendapatkan kritik dari berbagai kalangan  muslim karena dianggap “kurang tegas” dalam menentukan sikap. Walaupun demikian, dia mengaku bahwa resiko menjadi ulama adalah terbiasa dengan kritik, terlebih bahwa dirinya harus mampu berdiri di semua golongan kaum muslim yang ada. Latar belakang kultur NU yang sejauh ini mempengaruhi cara pandangnya terhadap agama, bukan berarti dia kemudian tidak melakukan kritik terhadap NU. Kiai Solihin tidak pernah mengidentifikasikan dirinya dengan golongan atau kelompok agama Islam manapun, sehingga kedudukannya sebagai ulama pengayom umat benar-benar netral, tidak bisa didikte oleh afiliasi keagamaan manapun. Prinsip yang selama ini ditunjukkan adalah bahwa beragama itu harus memberikan kemudahan (al-hanifiyah) dan juga toleransi (al-samhah) terhadap perbedaan kecenderungan keberagamaan umat beragama.

Sikap moderat yang selalu menjadi cerminan keagamaan bagi dirinya, justru semakin mengikatkan hubungan baik antara ulama dan umara. Sikap keagamaan dan taat kepada aturan perundang-undangan yang dijadikan landasan umara, seharusnya saling melengkapi dan saling berkontribusi sehingga fondasi kemasyarakatan justru akan lebih terjamin keutuhannya. Itulah sebabnya, seluruh komunitas beragama di Kota Cirebon masih menaruh kepercayaan kepada dirinya untuk tetap menjadi nahkoda di FKUB, dimana wadah komunikasi seluruh elemen umat beragama tetap terjaga dan terjalin sehingga ekses gesekan antarumat beragama justru semakin menjauh. Bagi saya, kiai Solihin dengan prinsip keagamaannya yang moderat seharusnya dapat menjadi teladan umat dalam hal bagaimana menjalin hubungan kerjasama yang baik antarpelbagai umat beragama.

Prinsip moderasi dalam beragama tidak juga dipandang sebagai sikap “plin-plan” dalam hal yang berkaitan dengan ketegasan berakidah. Dia sangat tegas, misalnya soal larangannya dalam kerjasama dengan umat beragama lain yang mencampuradukkan akidah dan sosial. Menghargai dan toleransi antarumat beragama, bukan berarti ikut berbaur bersama-sama melakukan ibadah, tetapi menjalin hubungan dan kerjasama sosial-kemanusiaan yang harus tetap terjaga. Bagi saya, inilah contoh dari sekian banyak ulama yang senantiasa mengedepankan prinsip Islam rahmatan lil’alamin, dimana nilai-nilai Islam sebagai agama dan keyakinan tidak berwajah “kaku” atau “keras” ketika dihadapkan kedalam realitas sosial yang dinamis. Itulah sebabnya, kediaman Kiai Solihin hampir tak pernah sepi dari kunjungan berbagai umat beragama hanya sekedar berdiskusi dan menemukan solusi terbaik bagi kehidupan seluruh umat beragama, khususnya di Kota Cirebon.

Pengalamannya dalam bidang politik-pemerintahan, menjadi modal tambahan bagi kiai “tanpa pesantren” ini untuk tetap mengedepankan prinsip-prinsip keagamaan yang selalu sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Sikap keagamaan, walaupun merupakan cerminan pribadi, tetap tidak bisa melabrak aturan-aturan hukum yang telah ada, oleh karenanya sikap dan tradisi keagamaan yang bersentuhan dengan realitas sosial harus dapat menyesuaikan dengan hukum bukan malah mempertentangkannya. Disinilah sesungguhnya fungsi para ulama, disamping sebagai pengayom umat juga selalu memberikan ketenangan kepada mereka sehingga tidak mudah tersulut oleh sikap keagamaan yang terlampau berlebihan hingga melabrak aturan-aturan hukum. Hubungan antarumat beragama, ulama dan umara harus terjalin dengan baik agar ekuilibrium masyarakat tetap terjaga.

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun