Sejauh ini, istilah toleransi selalu mengacu kepada sikap peaceful coexistance (hidup berdampingan secara damai) antarsesama kelompok masyarakat yang terikat dalam nilai-nilai, norma, budaya dan juga keyakinan yang justru beragam dan berbeda-beda. Dalam sebuah masyarakat yang heterogen seperti Indonesia, toleransi merupakan pilihan yang cerdas dalam hal memperkuat solidaritas kebangsaan dan kenegaraan, sehingga praktek-praktek perkembangan peradaban manusia akan lebih mudah terukur, tertata dan terkonsolidasi secara matang. Sikap intoleran dalam sebuah masyarakat yang heterogen justru pilihan yang naif, sempit, picik dan mudah sekali mendistorsi nilai-nilai budaya yang baik dalam masyarakat menjadi kekuatan arogansi sektoral, klaim kebenaran sepihak, kebencian yang meluas sehingga masyarakat jumud dan teralienasi dari peradaban.
Toleransi umumnya berkait dengan budaya dan nilai-nilai beragam yang berkembang dalam sebuah masyarakat, sehingga bentuk penerimaan akan budaya, nilai, norma dan keyakinan yang demikian beragam dalam sebuah masyarakat sudah barang tentu cenderung mudah terwujud. Ini dikarenakan bahwa Indonesia sebagai masyarakat heterogen sudah sama-sama sadar, bahwa toleransi dalam hal budaya, keyakinan atau agama sudah sejak dahulu ada dan dihidupkan. Tidak ada persoalan dalam hal toleransi budaya, karena masing-masing pihak menyadari bahwa setiap penerimaan terhadap perbedaan dalam konteks sosial adalah suatu hal yang tak terbantahkan. Saya kira, sejauh ini, bangsa Indonesia masih terus merawat toleransi dalam soal budaya dan agama, hanya saja toleransi dalam perbedaan politik masih terus mencari bentuknya sendiri karena kompleksitas nilai dan budaya ternyata belum sepenuhnya mampu menerima setiap perbedaan politik, walaupun politik telah mengikat setiap perbedaan budaya kedalam satu sistem hukum yang disepakati bersama.
Kita tentu menyadari, bahwa bentuk penerimaan masyarakat dalam hal perbedaan cara pandang mereka terhadap dunia politik, justru seringkali memicu “gesekan” karena lekatnya nilai-nilai kepentingan atau keyakinan? yang selalu dikedepankan oleh masing-masing pihak. Padahal, toleransi politik diperlukan sebagai bentuk penghormatan dan ketaatan kepada sistem hukum yang berlaku yang telah mempersatukan setiap elemen perbedaan, baik budaya, nilai, norma atau agama kedalam satu ikatan politik yang terangkum dalam diktum hukum dan perundang-undangan. Perbedaan cara pandang terhadap politik tentunya tidak bisa dirujuk oleh sistem nilai, budaya atau agama yang dianut oleh masyarakat manapun, tetapi politik dalam ranah publik justru diikat oleh kesamaan dalam hal sistem hukum dan undang-undang.
Ikatan politik yang termanifestasikan dalam kesamaan hukum pasti akan dibahasakan secara sama dan seragam sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Oleh karena itu, politik yang bersifat publik, orang tidak lagi merujuk kepada kebudayaan masing-masing yang antara satu sama lain berbeda, tetapi merujuk kepada satu postulat hukum yang telah disepakati bersama. Maka akan sangat rancu kemudian jika perbedaan pandangan politik dibenturkan dengan salah satu budaya yang dianut oleh sekelompok masyarakat. Misalnya, seseorang yang orientasi politiknya adalah A, tetapi ditolak oleh sekelompok orang dengan merujuk kepada nilai-nilai atau keyakinan yang sesuai dengan budaya atau keyakinan yang mereka miliki justru bertentangan dengan hukum yang telah disepakati. Disinilah saya kira, perlu ada toleransi politik yang check point-nya berangkat dari sebuah kenyataan bahwa politik diikat dalam sebuah konsekuensi sistem dan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat, bukan oleh nilai-nilai budaya yang ada.
Dinamika politik mutakhir di negeri ini, justru ditandai oleh kenyataan bahwa toleransi politik yang semestinya mudah dijalankan malah terbentur oleh tembok kokoh bernama budaya dan agama. Politik tidak lagi menjadi ikatan-ikatan yang merekatkan perbedaan yang ada tetapi memecah belah struktur masyarakat sehingga nilai-nilai, budaya dan keyakinan yang dahulunya senantiasa hidup berdampingan dalam kontruksi budaya toleransi justru memisahkan diri, memudar, menjadi serpihan-serpihan arogansi dan kebencian. Maka, seakan-akan yang timbul adalah sikap intoleran yang selalu dituduhkan masing-masing pihak ke pihak lainnya, padahal sejatinya toleransi budaya itu tetap terjaga yang rapuh dan perlu dibenahi hanyalah ketiadaan toleransi dalam hal politik. Para elit dan penguasa yang seharusnya mampu menjadi rujukan masyarakat soal toleransi politik, justru seakan tak berdaya malah tanpa disadari ikut menjadi pihak yang intoleran soal politik.
Tensi politik yang terus meninggi di era saat ini tidak cukup hanya diselesaikan dengan beragam adagium soal kebangsaan, kebhinekaan atau keberagaman yang hanya didengungkan dan kuat pada level kata-kata, himbauan atau aksi “sepihak” dari mereka yang memiliki kepentingan, tetapi harus diperkuat oleh kesadaran masing-masing pihak bahwa politik secara publik justru mengikat setiap perbedaan apapun dalam kesamaan hukum. Artinya, bahwa para penguasa dan aparat penegak hukum justru harus menjadi benteng utama dan terakhir dalam memberikan rasa keadilan yang sama terhadap seluruh masyarakat. Nuansa keberpihakan atau kesan “tebang-pilih” soal penegakan hukum justru akan menghambat proses toleransi politik itu sendiri.
Namun demikian, toleransi politik bukan berarti bersikap akomodatif terhadap penyelewengan hukum maupun politik. Jika toleransi budaya selalu mengedepankan sikap penerimaan dalam banyak perbedaan dan keragaman dengan tujuan mempererat sosialitas dan solidaritas kebangsaan dan kenegaraan, maka toleransi politik berarti mampu menerima setiap perbedaan pilihan politik yang ada, tanpa harus dibenturkan dengan nilai atau budaya masyarakat. Nilai dan budaya dalam suatu masyarakat melebur dalam sebuah ikatan politik yang saling menghargai dan menghormati terhadap pilihan politik masing-masing dan diatur serta dijamin oleh hukum dan perundang-undangan. Oleh karenanya, penegakkan hukum yang seadil-adilnya merupakan prasyarat terbangunnya toleransi politik sekaligus toleransi budaya yang saat ini tengah menjadi isu di tengah-tengah masyarakat.
Toleransi politik juga berarti mampu menjaga dan menghormati setiap dinamika sosial-politik yang ada tanpa harus mempertegas “perbedaan” antara “kita” dan “mereka”. Menghargai dan menghormati setiap pilihan politik atau orientasi politik masing-masing justru semakin mempertegas makna dari sifat toleransi. Jangankan soal pilihan politik, soal agama dan keyakinan walaupun berimplikasi terhadap pilihan politik, tetap harus dijaga, dihormati dan bila perlu dilindungi. Lagi pula, pilihan politik seseorang sangat berkait erat dengan keyakinan dan ideologi yang dianut, sehingga upaya-upaya seperti apapun termasuk pemaksaan, intimidasi atau iming-iming yang mengarahkan pilihan politik seseorang tidak akan merubah keyakinan pilihan politik seseorang. Jadikanlah momen Pilkada kali ini sebagai bentuk ekspresi toleransi, dalam hal budaya dan juga politik.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H