Kisruh mengenai pendataan ulama dan kiai yang dilakukan oleh Polda Jatim seakan menjadi bentuk arogansi kekuasaan yang dinilai meresahkan masyarakat. Bagaimana tidak, pendataan yang dilakukan kepolisian yang dikhususkan hanya kepada ulama dengan alasan sekedar ingin mengetahui alamat agar tidak salah kunjungan justru dinilai mengada-ada. Lagi pula, tugas kepolisian mendata masyarakat, apalagi ulama, justru menyalahi prosedur karena tugas pendataan seharusnya dilakukan Kementrian Agama (Kemenag) yang berkoordinasi kemudian dengan kepolisian. Hal ini diatur oleh perundang-undangan sebagaimana tugas Polri berdasarkan UU No 2 tahun 2002 dan tugas Kemenag berdasarkan UU No 39 tahun 2008 tentang Kementrian Negara dan Peraturan Presiden No No 83 tahun 2015.
Jika-pun pihak kepolisian akan melakukan pendataan para ulama, jelas harus berkoordinasi dahulu atau didampingi oleh kementrian terkait, yaitu Kemenag. Jika tidak, maka hal ini dipastikan sebagai upaya sepihak sebagai bentuk arogansi kekuasaan yang berdampak pada keresahan masyarakat. Adalah hal yang tidak masuk akal jika pendataan yang dilakukan kepolisian hanya untuk mengetahui alamat para ulama dan kiai agar jika dilakukan kunjungan dari pihak kepolisian tidak salah alamat. Saya kira, model pendataan para ulama dan kiai seperti ini akan menguak luka lama dan trauma negatif berdasarkan pengalaman pada 1965—kasus PKI—dan juga pada 1997—kasus ninja—yang dinilai sangat meresahkan masyarakat. Padahal, data seluruh ulama atau kiai tentu sudah ada di masing-masing ormas, seperti NU atau Muhammadiyah, sehingga pendataan secara langsung tidak lagi diperlukan.
Ditengah menghangatnya konstelasi politik jelang Pilkada serentak 2017, justru yang perlu didata ulang seharusnya adalah data para pemilih yang akan memberikan hak suaranya pada 15 Februari mendatang. Masih banyak data-data pemilih yang belum teralokasikan kedalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sehingga dikhawatirkan mereka yang belum teralokasikan kedalam DPT justru akan kehilangan hak suaranya di Pilkada. Kerawanan akan kecurangan dalam mengakali data pemilih akibat belum teralokasikan kedalam DPT bisa saja dilakukan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan hal ini. Jadi saya kira, mendata ulang para pemilih yang akan memberikan hak suaranya dalam Pilkada 2017 ini justru lebih penting daripada mendata ulama dan kiai yang justru malah menimbulkan keresahan masyarakat.
Kita tentu harus mengakui, bahwa disetiap perhelatan politik, entah itu Pilkada atau Pemilu, selalu saja dihadapkan pada masalah sinkronisasi data pemilih yang bermasalah. Penyakit menahun dari bangsa ini adalah soal database yang tidak pernah valid mengenai identitas yang dimiliki setiap warganya. Polemik mengenai pemilik identitas ganda yang menjadi viral di media sosial hampir di setiap jelang pemilihan umum itu ada.
Bahkan, pengamat politik UI, Maswadi Rauf menyatakan, tidak hanya sekedar identitas ganda yang dimiliki seseorang, bisa triple bahkan ada orang yang sudah meninggal tapi orangnya hidup lagi. Ketidak akuratan soal database kependudukan di Indonesia sepertinya telah menjadi semacam penyakit kronis yang susah sekali disembuhkan. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik ditengah masyarakat, bahkan terkadang dimanfaatkan sebagai “isu politik” yang sengaja dibuat untuk menohok pihak-pihak tertentu.
Disamping polemik mengenai isu pemilih ganda, jelang Pilkada serentak 2017 justru diramaikan oleh isu adanya KTP-el palsu yang sudah terbukti beredar ditengah masyarakat. Saya kira akan sulit mengidentifikasi KTP-el palsu karena dalam pelaksanaan pemungutan suara, tidak ada sistem yang dapat mendeteksi NIK ganda yang bisa saja dipergunakan oleh KTP-el palsu. Lagi-lagi, masyarakatlah yang harus jeli dan mewaspadai jika terdapat pemilih yang menggunakan identitas palsu walaupun kondisi di lapangan pada saat pemungutan suara hal ini sangat sulit dilakukan.
Disinilah saya kira, pentingnya koordinasi yang terus menerus antara pihak KPU dan Kemendagri untuk selalu memutakhirkan data-data pemilih terutama berkaitan dengan pelaksanaan pemilu. Kebanyakan kritik publik terhadap pelaksanaan pemilu adalah terletak pada kelemahan pemerintah dan KPU dalam hal pemutakhiran dan sinkronisasi data pemilih yang selalu saja bermasalah. Hal ini justru akan mengurangi rasa kepercayaan publik terhadap sistem pengelolaan pemilu yang ada. Alangkah lebih baiknya saya kira, pihak penyelenggara pemilu, tidak hanya merilis DPT yang berhak memberikan suaranya tetapi juga merilis database mengenai orang yang sudah meninggal, sehingga jelas mereka yang sudah meninggal tidak mungkin masuk DPT setelah sinkronisai data.
Diakui ataupun tidak, Pilkada 2017 dinilai banyak pihak rentan akan kerawanan, baik yang ditimbulkan oleh ketegangan dalam masyarakat terhadap isu SARA, persoalan database pemilih yang bermasalah atau institusi penyelenggara pemilu yang “memihak”. Belum lagi terdapat indikasi yang menguat soal Islamofobia yang justru tengah menyeruak ditengah bangsa Indonesia yang 85 persen penduduknya adalah muslim. Kita tentu tidak lupa, begitu hebatnya gesekan yang terjadi ditengah masyarakat yang sudah dimulai di penghujung tahun 2016 lalu yang berimbas sangat luas terhadap kondusifitas iklim berbangsa dan bernegara.
Kita tentu berharap, bahwa kondisi seperti ini dapat diantisipasi oleh semua pihak, terutama pihak berwenang, untuk mengkondusifkan keadaan dan bukan menambah ketegangan dalam masyarakat. Jika pihak berwenang menginginkan sinergitas antara ulama dan umara, tentu harus dilakukan dengan cara-cara lebih bijak dan persuasif, bukan mempertontonkan hard power atau arogansi yang terkesan “memihak”.
Kita tentunya harus selalu disadarkan bahwa Pilkada merupakan perhelatan kompetisi politik yang harus memenuhi unsur-unsur keadilan, kejujuran dan keterbukaan yang dilaksanakan secara periodik, sehingga pihak berkuasa harus menunjukkan secara nyata dengan jaminan bahwa Pilkada akan terselenggara secara aman, toleran dan pluralistik. Para penguasa harus menunjukkan sikap netralitasnya terhadap penyelenggaraan pemilu melalui upaya-upaya dialogis-interaktif sebagai bagian dari motivasi dan pembelajaran politik kepada pemilih. Cara-cara penanganan konflik yang terjadi dalam masyarakatpun hendaknya selalu mengedepankan soft power sehingga tidak terjadi efek bias keberpihakan kepada kalangan masyarakat tertentu saja.
Pilkada merupakan momen terpenting dalam soal pergantian dan distribusi kekuasaan secara damai dalam sebuah masyarakat sehingga diperlukan interaksi politik yang sehat antarsemua elemen masyarakat. Interaksi politik yang sehat akan menekan cara-cara intimidatif atau kesan keberpihakan penguasa kepada elemen masyarakat tertentu. Biarkanlah masayarakat luas membiasakan diri berekspresi terhadap kepuasan atau ketidakpuasan terhadap suatu kebijakan, karena ini merupakan pembelajaran dalam proses berdemokrasi.
Jika tidak dibiasakan apalagi ditahan-tahan atau diintimidasi justru dikhawatirkan sulitnya melakukan dialog sosial. Jangan sampai sesuatu yang disembunyikan masyarakat tiba-tiba meledak karena daya tampung kekecewaan sudah tidak lagi mencukupi dan sulit memperoleh salurannya. Negara tidak boleh terkooptasi oleh kekuatan politik tertentu, karena kepentingan negara sejatinya adalah kepentingan nasional.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H