Pro-kontra mengenai sosok tersangka penista agama yang juga petahana calon gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok belakangan ini sudah sangat mengkhawatirkan. Polemik mengenai soal penistaan agama yang dilakukan dirinya belum lagi usai, kini Ahok harus menuai polemik baru ditengah kondisi bangsa ini yang semakin tidak kondusif. Drama persidangan Ahok yang ke-8 di Gedung Pertanian, Jakarta, menuai kontroversial karena ulah pengacara dan juga dirinya yang mendiskreditkan salah satu saksi yang dihadirkan, yaitu KH Ma’ruf Amin. Kyai Ma’ruf sebagai sosok ulama kharismatis, bukan saja sebagai Ketua Umum MUI, tetapi juga Rais ‘Am Nahdlatul Ulama (NU), salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia.
Sejauh ini, NU sebagai ormas Islam terbesar selalu bersikap netral terhadap hiruk-pikuk kompetisi politik, terutama di Pilkada Jakarta. NU selalu memberikan “gaya politik” netral-nya dengan tidak memilih untuk mendukung atau tidak mendukung salah satu kontestan dalam perhelatan politik. Khittah NU 1926 telah mengembalikan ormas Islam terbesar ini untuk selalu bersikap “netral” terhadap kekuasaan politik apapun bentuknya. Bahkan, ketika terjadi gelombang besar aksi massa muslim yang digelar pada “411” dan “212” sekalipun, NU tidak larut dalam gelombang politisasi untuk masuk dalam arus demonstrasi. Sebagai lembaga, NU tetap memposisikan dirinya netral dalam politik dan inilah bagian dari sikap “jalan tengah” NU yang sudah dijalankan sejak NU menyatakan dirinya “kembali ke Khittah”.
Namun, drama pengadilan kasus penistaan agama atas tersangka Ahok pada persidangan ke-8 kemarin, sungguh telah membuat ormas pimpinan KH Said Aqil Siradj ini berubah haluan, dikarenakan ada diskriminasi dan penghinaan kepada salah satu Rais ‘Am NU, KH Ma’ruf Amin yang dihadirkan sebagai saksi. Kyai Ma’ruf dituduh telah melakukan kebohongan atas kesaksiannya bahkan difitnah mempolitisasi MUI dengan mengeluarkan fatwa atas pesanan dari SBY. Yang lebih mengherankan adalah bahwa pembicaraan telepon antara Kyai Ma’ruf dan SBY diduga disadap oleh pihak pengacara Ahok dan dijadikan sebuah bukti verbal bahwa ada “pemufakatan” antara Kyai Ma’ruf dan SBY untuk mempengaruhi fatwa yang dikeluarkan MUI. Jika isu penyadapan ini benar, maka semakin menunjukkan bahwa pengadilan atas kasus penistaan agama ini tidak lagi digelar secara netral karena upaya penyadapan hanya dapat dilakukan oleh pihak penguasa.
Saya kira, proses hukum dan pengadilan adalah cara yang paling dapat memenuhi unsur keadilan dalam masyarakat, betapapun bertele-telenya proses pengadilan tersebut. Hanya saja, banyak hal yang seharusnya dijalankan secara arif dan berprikemanusiaan,terutama menyangkut kondisi siapa yang bersaksi di persidangan. Kyai Ma’ruf adalah saksi dari MUI yang dihadirkan oleh jaksa untuk menjelaskan duduk perkara mengenai penerbitan sikap keagamaan MUI soal kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok dan bukan saksi pelapor atas kasus tersebut.
Ada upaya penekanan secara psikologis kepada ulama NU yang sudah berumur 73 tahun ini yang dilakukan para pengacara Ahok, bahkan hingga menghabiskan waktu 7 jam. Itupun ditambah dengan tuduhan dan juga pelecehan kepada ulama yang justru dapat menyakiti perasaan umat Islam. Bagi umat Islam, ulama adalah simbol keagamaan yang diyakini sebagai penerus para Nabi, sehingga bentuk intimidasi terlebih pelecehan justru akan menyakiti perasaan umat Islam yang menghormatinya.
Hal inilah kemudian yang dijadikan keberatan oleh semua pihak, termasuk ormas Islam NU maupun Muhammadiyah. Para ulama yang mewakili NU dan Muhammadiyah secara terbuka menunjukkan rasa kekecewaannya atas tudingan-tudingan yang sangat merendahkan ulama yang dilakukan Ahok dan pengacaranya. Tidak tanggung-tanggung, puteri mantan mendiang KH Abdurrahman Wahid, Yenni Wahid juga memberikan komentar yang pedas terhadap sikap Ahok dan pengacaranya yang telah mendiskreditkan ulama. NU sudah sejak dahulu merupakan ormas Islam yang menjaga kredibilitas dan kehormatan para ulama, sehingga ketika ada seseorang yang merendahkan ulama, sama halnya dengan merendahkan NU sebagai ormas Islam penjaga ulama.
Saya meyakini, kasus Ahok yang telah mencederai rasa kebangsaan, keragaman dan bahkan keagamaan, justru telah memulai babak baru, bahwa kebencian mereka terhadap ulama sekaligus merupakan kebencian kepada umat Islam. Ahok diyakini oleh sebagian kalangan sebagai ancaman bagi Islam karena berbagai tuduhan jelas diarahkan kepada seluruh elemen umat Islam yang menegakkan keadilan atas kasus ini, termasuk NU dan Muhammadiyah. Tidak hanya itu, lembaga keagamaan yang diakui oleh negara secara sah, seperti MUI, nampaknya hanya dianggap sebagai lembaga tempat orang-orang yang sibuk mempolitisasi fatwa, sehingga fatwa-fatwa atau sikap keagamaan MUI hanya sekedar “pesanan” yang bisa dikeluarkan kapan saja sesuai dengan keinginan. Padahal, MUI merupakan lembaga negara yang diakui oleh pemerintah yang didalamnya tergabung unsur-unsur ormas Islam yang ada diseluruh Nusantara.
Polemik soal kasus penistaan agama ini tidak sekedar berkutat pada mereka yang mendukung atau menolak, tetapi merambah kepada isu-isu sentimen yang melibatkan ranah keagamaan. Umat Islam jelas pasti tersakiti atas kasus ini, walaupun sejauh ini sikap MUI yang ditunjukkan oleh Kyai Ma’ruf sungguh memberikan keteduhan. Permintaan maaf Ahok yang dirilis di media massa kepada Kyai Ma’ruf justru tidak dipermasalahkan dan sikap memaafkan merupakan sikap arif seorang ulama yang mampu memberikan keteduhan kepada umat. Saya kira, disinilah letak keulamaan seseorang, mampu memberikan teladan kepada umat dengan sikap bijaksana tanpa harus membuat pernyataan yang mengundang kontroversi terlebih provokasi.
Lagi pula, negara secara simbolik sudah “meminta maaf” kepada ulama atas kasus ini, dimana Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan, Kapolda Metrojaya M Iriawan dan Pangdam Jaya, Teddy Lhaksmana dengan berpakaian dinas menyambangi Kyai Ma’ruf di kediamannya. Kehadiran ketiga petinggi negara itu disinyalir sebagai bentuk kehadiran negara atas kasus yang selama ini menuai kontroversial yang sedang melilit Ahok. Berbagai pihak banyak yang menilai, bahwa ada keterlibatan penguasa secara meyakinkan dalam kasus penistaan agama yang saat ini sedang diproses oleh pengadilan. Bagaimana tidak, Luhut sebagai Menko Kemaritiman sebenarnya tidak memiliki keterkaitan langsung mengajak Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya untuk bertemu Kyai Ma’ruf, jika memang tidak ada bentuk intervensi penguasa. Walaupun Kyai Ma’ruf secara apologi menepis pertemuan ini tidak ada kaitannya dengan soal pelecehan kepada dirinya, namun asumsi publik tentu akan berbicara lain, karena pertemuan ini digelar pasca polemik persidangan Ahok.
Jika di Amerika, Presiden Trump dinilai merupakan ancaman terhadap dunia Islam, maka Ahok jika dilihat dari berbagai sepak terjangnya mengindikasikan ancaman terhadap umat Islam Indonesia. Bagaimana tidak, setelah pidatonya yang menyinggung pelecehan terhadap surat al-Maidah 51 dan mendiskreditkan ulama, kini Ahok malah menambah rumit keadaan dengan memprovokasi umat Islam melalui tuduhan-tuduhannya dan sikap para pengacaranya yang justru merendahkan para ulama. Permintaan maaf adalah bukti bahwa Ahok bersalah, bukan karena soal elektabilitasnya di Pilkada DKI menurun. Saya kira, permohonan maaf siapapun yang bersalah haruslah diterima dan bangsa ini tetap berada dalam situasi kondusif, aman dan damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H