Pidato politik Ketua Umum PDI Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri pada acara HUT Partai berlambang banteng beberapa waktu lalu sedikit menyinggung soal Islam yang disebutnya secara eksplisit sebagai bukan Arab.
Banyak pihak menilai, bahwa ungkapan pidato Megawati tersebut sebenarnya ditujukan kepada kelompok muslim tertentu di Indonesia yang cenderung “kearab-araban” yang sering menonjolkan identitasnya melalui beragam simbol dan budaya Arab, baik dari sisi penampilan, berpakaian dan mungkin juga “cara berpikir” mereka.
Kelompok ini bahkan sering dikaitkan dengan kalangan Islam “garis keras” karena dikenal “tanpa kompromi” dalam memaknai banyak hal yang “berbeda” diluar dirinya. Walaupun Megawati menyebut agama lain juga sebagai “sindiran”, namun tujuan utama jelas mengarah kepada kalangan Islam.
Memang tak bisa dipungkiri, bahwa terkadang stigmatisasi sebagian orang terhadap “Islam Arab” atau “Islam bukan Arab” telah menimbulkan banyak asumsi negatif. Istilah yang pertama selalu dihubungkan dengan “kearaban” yang ditunjukkan melalui identitas dan simbol bahkan budaya Arab yang dibawa sebagai bagian dari prilaku keagamaannya.
Pandangan terhadap Islam yang “kearaban” melalui identitas “imamah” (serban yang menutupi kepala) dan jubah atau gamis, berjenggot—terkadang celana cingkrang—selalu diidentikkan dengan kalangan Islam “garis keras”. Terlebih bahwa kelompok ini disebut sebagai “penentang” keras kelompok sekuler dan tidak dapat berkompromi dengan kelompok muslim moderat kebanyakan lainnya.
Untuk istilah kedua, nampaknya diwakili oleh kelompok muslim moderat yang cenderung luwes dan akomodatif terhadap penerimaan terhadap beragam “perbedaan” yang ada di luar dirinya. Saking moderatnya, kalangan Islam ini kemudian dianggap sebagai bagian dari Islam berwajah Nusantara yang jelas ditunjukkan oleh simbol-simbol keindonesiaan tanpa secara ketat mengadopsi simbol-simbol kearaban.
Kopiah, kain sarung, baju koko atau baju putih cukup sebagai bentuk perwakilan dari identitas muslim yang bercita rasa Nusantara. Nampaknya, simbolisasi antara “keindonesiaan” dan “kearaban” dijadikan dikotomi tersendiri oleh sebagian kalangan dalam memandang kelompok Islam di Indonesia, padahal jelas ini bisa menjadi sebuah kekeliruan besar. Melakukan dikotomisasi antara Islam dan Arab yang seakan-akan ketika terwujud dalam masyarakat Indonesia menjadi dua entitas yang terpisah justru sangat ahistoris.
Ketika kita kembali membaca sejarah mengenai bagaimana Islam berkembang di Indonesia, tentu tak bisa dilepaskan dari pengaruh para penyebar Islam yang berasal dari kawasan Arab. Bahkan kita harus mengakui bahwa para pedagang Arab yang datang ke Indonesia banyak juga yang melakukan perkawinan dengan penduduk lokal sehingga budaya Arab tentu mempengaruhi budaya masayarat lokal dalam banyak hal. Bahkan, dari sisi bahasa, serapan kata-kata Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia tidaklah sedikit.
Sebut saja dalam hal sosial-politik, “dewan”, “rakyat”, “musyawarah”, “wakil”, “siasat”, merupakan kata-kata serapan yang murni berasal dari bahasa Arab. Ini artinya, ketika kemudian dinyatakan, mislanya, “kalau mau jadi orang Islam jangan jadi orang Arab” untuk kasus Indonesia merupakan ungkapan yang ahistoris bahkan terlampau naif. Hal ini karena, bahwa Keislaman, Kearaban dan Keindonesiaan justru memiliki keterkaitan jelas secara historis karena penyebar Islam-pun sebenarnya berasal dari Arab yang kemudian menjadi seorang Indonesia.
Kita tak bisa juga pungkiri bahwa banyak di antara para pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia juga berasal dari keturunan Arab atau menyematkan identitas “kearaban” dalam dirinya sebagai “pembeda” dengan identitas para penjajah. Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol merupakan sebagian dari pejuang kemerdekaan yang juga identik dengan simbolisasi Arab dan mereka tidak pernah mempersoalkan antara Islam dengan Arab atau Indonesia dengan Arab.
Seorang seniman ternama, Raden Saleh juga merupakan keturunan Arab karena neneknya adalah Sayid Awadh bin Yahya yang datang dari Hadramaut ke Indonesia pada abad 18. Para keturunan Arab bahkan di Batavia sendiri sudah sejak abad 18 menempati daerah Pekojan, Krekot dan Tanah Abang.