Belum lagi para ulama Indonesia pejuang kemerdekaan yang sebagian besar merupakan tokoh-tokoh agama kharismatis yang lebih diakui legitimitas keilmuannya karena memang telah bertahun-tahun hidup dan belajar di Negeri kelahiran Rasulullah. Ini jelas menunjukkan bahwa ada keterikatan yang sangat erat antara Islam Indonesia dan Arab dan tentu saja keduanya tidak bisa dipisahkan.
Dikotomisasi antara Islam Arab dan Islam bukan Arab hanya akan membangun kerancuan dalam memahami aspek keislaman yang dikaitkan dengan keindonesiaan. Memberikan pernyataan mengenai, “kalau jadi orang Islam jangan jadi orang Arab” seakan-akan mengandung makna implisit bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan Arab dan Arab dipandang memiliki bangunan budaya yang tidak humanis, kasar, tak kenal kompromi atau tidak toleran terhadap beragam perbedaan. Padahal kita tahu, Islam di Kepulauan Nusantara hadir melalui jalan damai yang dirintis oleh orang-orang Arab dan juga India.
Saya kira, dalam hal perbedaan pilihan politik, seringkali kita terjebak dalam arus absolutisme atau fanatisme, sehingga tak jarang bahwa perbedaan politik selalu melahirkan dikotomisasi antara “kita” dan “mereka”. Bahkan, seringkali perbedaan yang terjadi dalam soal politik telah membentuk mereka yang “berbeda” sebagai musuh bukan menjadi “partner” dalam sebuah proses interaktif-dialogis dalam kerangka pembangunan demokrasi.
Kita ini masih mudah menjadi kerdil dan picik dan tak jarang terkungkung dalam aura emosional yang mendalam hanya karena persoalan perbedaan pilihan politik. Inilah sebabnya mengapa Indonesia masih perlu belajar banyak menerima setiap perbedaan, setiap keragaman dan berdemokrasi secara politik. Demokrasi tidak dipahami hanya sebatas pelaksanaan pemilu secara berkala, tetapi bagaima setiap kita mampu memahami dan menerimaan setiap perbedaan yang ada.
Alangkah bijaksananya ketika seorang pemimpin politik justru mampu merangkul semua pihak dalam suasana kebersamaan walaupun kenyataannya memiliki perbedaan pilihan politik. Bukan justru malah menambah suasana semakin tidak kondusif dan malah begitu mudahnya kita memandang dan menganggap seseorang atau kelompok lain yang “berbeda” justru sebagai pihak yang harus diperlakukan sebagai “musuh” bukan “pertner”.
Para pemimpin politik di negeri ini sama-sama masih memiliki “sumbu pendek” yang mudah sekali “terhasut” oleh berbagai masukan informasi yang justru berhembus secara “provokatif” dari internal kader mereka sendiri. Padahal, membangun suasana interaktif-dialogis secara terbuka tanpa harus memandang pihak lain sebagai penganut “ideologi tertutup” adalah sikap seorang negarawan yang justru peduli tentang keindonesiaan yang berkemajuan dan berperadaban. Jadilah pemimpin politik yang negarawan dan demokratis bukan pemimpin politik yang arogan dan otoriter!
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H