Yang dilakukan Suu Kyi justru lebih nyaman bersembunyi dibalik kursi kekuasaannya dan enggan melakukan langkah tak populer melawan tirani kekuasaan yang saat ini dijalankan militer. Disinilah saya kira, peran Aung San Suu Kyi yang telah merontokkan seluruh nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan yang sejauh ini digembar-gemborkan oleh dirinya sendiri ketika melawan kekuatan tirani Junta Militer. Yang lebih mengherankan, bahwa pemerintah Myanmar justru menolak memberikan status kewarganegaraan kepada etnis Rohingya yang sejak 15 abad yang lalu telah tinggal di Myanmar. Bahkan, yang lebih menyakitkan, masyarakat Budha disana menyebut minoritas muslim Rohingya sebagai imigran ilegal asal Bangladesh yang tidak diakui keberadaannya.
Bagi saya, tanpa harus merujuk kepada Konvensi Intenasional HAM yang menyepakati dasar-dasar penegakkan, perlindungan, pengakuan dan pemajuan hak-hak asasi manusia, menyebarkan kedamaian terlebih ditengah kesewenang-wenangan tirani manusia atas manusia menjadi “suara bersama” yang senantiasa harus dikedepankan, apalagi tentunya melekat pada diri seseorang yang diganjar sebuah Nobel Perdamaian. Penilaian terhadap sesorang yang layak mendapatkan Nobel “Perdamaian—seperti yang diterima Suu Kyi—bukanlah sesuatu yang mudah dan bukan berdasarkan dorongan “kepentingan” pihak-pihak tertentu. Tentunya, nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian dan penggagas demokratisasi melekat pada diri Suu Kyi yang dilihat oleh lembaga pemberi nobel sebagai bentuk perjuangan kemanusiaan. Lalu, jika kemudian kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan dan pengusiran yang terjadi di wilayah Suu Kyi justru tinggal justru tetap ada dan dibiarkan, masihkah pantas dia disebut sebagai penerima Nobel Perdamaian?
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H