Konstelasi politik tanah air yang semakin kurang kondusif akibat tajamnya perbedaan pendapat diantara masyarakat, apalagi pasca aksi 411 yang kemudian telah membelah opini publik menjadi penentang dan pendukung aksi demonstrasi lanjutan yang akan digelar pada 2 Desember mendatang. Saya beranggapan, bahwa aksi yang terus akan digulirkan sangat bernuansa politis, melihat kepada “dipaksakannya” aksi padahal sudah banyak himbauan oleh sebagian besar ormas Islam agar mengedepankan cara-cara yang lebih bermartabat dalam menyampaikan seluruh aspirasinya. Apalagi, demonstrasi sesungguhnya tidak dikenal dalam sejarah Islam, karena setiap penyelesasian masalah, Islam menawarkan konsep musyawarah dalam menuju keadilan.
Melihat kepada greget aksi lanjutan pasca 411 yang akan digelar pada 212 mendatang, saya jadi teringat akan beberapa adagium yang berkait dengan persoalan bagaimana seharusnya kita menyelesaikan masalah. Adagium, “al-akhdzu bil ahsan” (mengambil sesuatu yang paling baik) merupakan prioritas utama dalam penyelesaian sebuah masalah. Kita harus mampu menentukan sikap, manakah seharusnya yang paling baik kita ambil. Disinilah nalar dan keyakinan berpadu untuk mengambil yang terbaik diantara yang baik. Kedua, adagium, “akhofuddloruroin” (memilih yang paling ringan resikonya). Dalam adagium ini jelas, bahwa seseorang dapat menentukan pilihan mana yang paling beresiko kecil dan menghindari resiko yang besar. Adapun ketiga adalah “dar’ul mafaasid muqoddamun ‘ala jalbilmasholih” (menghindari kerusakan harus didahulukan daripada membangun kebaikan). Pada adagium ketiga ini semakin jelas, bahwa penyelesaian setiap masalah harus menghindari dari segala hal yang merusak, sekecil apapun kerusakan itu. Walaupun pilihannya demi membangun kebaikan, tetapi justru ketika dilakukan bisa menimbulkan kerusakan yang lebih besar, maka sebaiknya hindari cara-cara yang setidaknya akan menambah kerusakan (mafsadah).
Ketiga adagium yang disebutkan diatas merupakan sekian banyak konsep yang dipakai dalam kerangka “berpolitik” yang dijalankan oleh kelompok Islam moderat atau dalah bahasa Islam mereka disebut sebagai kelompok ahlussunnah wal jama’ah. Memang, sebagian besar masyarakat Islam, senantiasa memberi label sebagai kelompok ahlussunnah waljama’ah terhadap masing-masing kelompoknya, hanya saja dalam perjalanannya, kita dapat membedakan mana kelompok yang berpegang teguh pada adagium (kaidah) tersebut dan mana yang mengabaikan. Dengan demikian, dimana sebenarnya posisi kelompok Islam yang saat ini ingin “memaksakan” kehendak melakukan demonstrasi pada 2 Desember mendatang? Mungkin benak kita bisa memberikan jawabannya masing-masing.
Secara pribadi, saya sangat mengagumi dan tentu saja angkat topi terhadap semangat kaum muslim yang begitu menggelora menyuarakan aspirasinya, untuk menuntut keadilan atas dugaan penistaan agama yang telah dilakukan Ahok. Hanya saja, semangat yang sedemikian besar nampaknya mudah sekali dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang sengaja dihembuskan demi agenda lain yang tersembunyi. Saya berasumsi, bahwa menguatnya keinginan berdemonstrasi dengan dibungkus oleh semangat keagamaan telah didahului oleh banyak “propaganda politik” yang marak di ranah medsos yang telah melenceng dari semangat awal untuk menuntut keadilan atas kasus penistaan agama. Walaupun kenyataannya bahwa dalam koridor hukum menyuarakan aspirasi itu dijamin oleh undang-undang, tetapi terlampau bersikap doktriner terhadap undang-undang juga akan mengabaikan semangat kemanusiaan yang justru lebih bermartabat. Salah satu tujuan hukum dalam Islam (maqasidhussyar’i) justru untuk menunjang kemaslahatan manusia, bukan hal lain.
Salah satu rumor yang beredar soal aksi 212 mendatang, justru bisa dibilang “kebablasan”, ketika ditengarai akan melakukan sholat Jumat yang justru dilaksanakan disepanjang jalan, bukan dilakukan di Masjid. Jika merujuk kepada sumber-sumber otoritatif dalam ajaran Islam, tidak pernah ada dalam sejarah bahwa pelaksanaan sholat jumat dilaksanakan di jalanan, yang ada dilakukan di Masjid. Bahkan Sholat Id pun ketika harus diikiti oleh sedemikian banyak orang, pelaksanaannya di lapangan bukan dijalanan. Oleh sebab itu, wajar jika kemudian KH Musthafa Bisri menyatakan jika memang benar demonstrasi dilakukan dengan cara demikian, maka itu masuk dalam kategori “Bid’ah” besar, karena telah melakukan hal yang mengada-ada dalam agama. Padahal, beberapa kelompok Islam “garis keras” selalu terdepan soal Bid’ah untuk tidak mempraktekannya karena bertentangan dengan agama.
Momentum penistaan agama memang dalam beberapa hal, mampu memantik simpati keagamaan yang sangat besar sehingga menggerakkan semangat kaum muslim untuk bergerak “membela” agamanya. Dari dua kali aksi yang menuntut keadilan atas penistaan agama cukup memberikan pintu masuk bagi kelompok-kelompok tertentu yang memiliki agenda lain untuk menjalankan kepentingan politik dan ambisi pribadinya. Bagaimana tidak, agama sangat rentan ditunggangi kepentingan politik apalagi ketika penguasa seringkali mengabaikannya. Propaganda-propaganda politik yang dibungkus oleh nuansa agama sangat kental mewarnai setiap himbauan bagi umat muslim untuk ikut bergerak melakukan demonstrasi kembali pada 2 Desember mendatang. Seperti misalnya, selebaran mengatasnamakan MUI yang menghimbau tidak berdemonstrasi tetapi jika memang terpaksa, maka demonstrasi hendaknya dilakukan dengan damai, tertib, aman dan berakhlakul karimah, justru dinilai memiliki propaganda politik untuk “memaksakan” aksi berlanjut.
Belum lagi propaganda soal demonstrasi yang dijamin kebebasannya oleh undang-undang, semakin mempertegas adanya upaya-upaya paksa umat muslim agar mau mendukung aksi demonstrasi lanjutan. Memandang aspek hukum dan perundang-undangan dalam bingkai mencari keadilan itu memang diperlukan, tetapi tujuan dalam pelaksanaan hukum dan perundang-undangan yang lebih jauh untuk kemaslahatan umat justru lebih penting untuk dipertimbangkan. Saya kira, demonstrasi dengan pengerahan kekuatan massa atau show of force yang sekedar menunjukkan kekuatan umat Islam hanya untuk menakut-nakuti penguasa atau masyarakat justru bertentangan dengan konsep akhlaqul karimah yang sejauh ini digembor-gemborkan umat Islam. Saya justru khawatir, bahwa ketika kepentingan politik justru bermain dalam aksi 212 nanti dengan mengatasnamakan agama, maka itulah contoh umat Islam yang digambarkan Rasulullah ibarat buih di lautan, banyak jumlahnya tetapi tidak mengerti apa-apa karena mereka diperalat oleh sekelompok orang yang “wahn” (memiliki kecenderungan yang besar terhadap keduniaan).
Saya kira, menunjukkan kekuatan Islam, tidak selalu harus mempertontonkan “show of force” yang digelar melalui demonstrasi, tetapi dapat dilakukan dengan cara-cara yang lebih bermartabat, seperti penuntasan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan, peningkatan literasi dengan pendidikan, penguatan nilai-nilai budaya Islam yang keseluruhannya justru bercermin pada Islam rahmatan lilalamin yang senantiasa mengedepankan prinsip akhlaqul karimah. Bukankah Rasulullah diutus untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak? Disinilah perlunya kita senantiasa sebagai umat muslim meneladani prinsip-prinsip Rasulullah yang senantiasa mengedepankan prilaku yang mulia dan bermartabat dibanding propaganda-propaganda yang tidak perlu.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H