Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Makar, Aksi dan "Jihad" Politik

22 November 2016   10:18 Diperbarui: 22 November 2016   10:50 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya kira agak berlebihan—jika tidak dikatakan over-sensitive—ketika pemerintah dan negara justru menganggap telah jelas terdapat indikasi makar dari serangkaian aksi damai umat muslim, setelah 411 yang akan berlanjut pada 2511 dan aksi tambahan yang rumornya akan digelar pada 2 Desember mendatang. Kita seharusnya tidak sedang berada dalam sebuah kungkungan pepatah, “beriak tanda tak dalam” atau “berguncang tanda tak penuh!” sehingga disini justru terlihat reaksi yang berlebihan dalam menanggapi aksi damai umat muslim yang menuntut percepatan penyelesaian kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok yang masih dalam penyidikan pihak kepolisian. Bagi saya, justru ketika istilah “makar” ini dikeluarkan didepan publik, tampak jelas menunjukkan suatu keadaan kegalauan psikologi politik, dimana kecemasan soal stabilitas keamanan negara meningkat secara lebih dramatis.

Saya justru memandang, bahwa mereka yang melakukan aksi adalah bagian dari bangsa dan negara yang justru ketika mereka “diancam” sama halnya dengan mengancam integrasi bangsa itu sendiri yang berkolerasi langsung dengan stabilitas nasional. Negara adalah agen masyarakat dan pemerintah adalah pelaksana kehendak rakyat. Hal ini berarti, jika masyarakat kemudian menyuarakan aspirasinya baik dengan melakukan “pengawasan” terhadap pemerintahan atau negara justru adalah suatu hal yang sangat logis dalam sebuah sistem demokratis. Tak ada bedanya ketika kemudian digambarkan oleh upaya para pemegang saham di sebuah perusahaan yang mengusulkan direktur atau beberapa pemimpin eksekutif lainnya dimintai pertanggungjawaban, misalnya. Rakyat sesungguhnya adalah “pemegang saham” mayoritas dalam eksitensi sebuah negara-bangsa, bukan malah menjadi klise terbalik.

Kita tentu masih ingat, bagaimana rezim Orde Baru sudah terlebih dahulu memboikot saluran demokrasi melalui berbagai upaya yang menekan publik dengan menakut-nakuti masyarakat dengan kekuatan aparatnya. Jangankan untuk berbuat makar, berbeda pendapatpun dengan penguasa dianggap sebagai bentuk penyelewengan terhadap negara. Salah satu budaya politik Orde Baru waktu itu adalah konsep stabilitas nasional, dimana titik tekan yang terkuat ada pada pertahanan kekuasaan pemerintah dan negara, sedangkan masyarakat, kelompok-kelompok sosial, atau lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dipaksa untuk didesak kepada latar belakang yang sayup dan samar. Jadi, ketika negara menganggap kepentingan mereka sedang dalam ancaman atau gangguan, maka dengan dalih stabilitas nasional, segala macam bentuk aksi protes atau tekanan dari masyarakat dianggap suatu kegiatan makar yang mengancam stabilitas nasional.

Padahal, stabilitas nasional sebenarnya lebih banyak terganggu oleh aksi radikalisme-terorisme yang jelas-jelas merugikan masyarakat dan negara bahkan selalu menjadi ancaman kekuasaan. Belum lagi soal kejahatan narkoba yang terbukti menjadi “pembuhuh” jutaan nyawa manusia yang pada tahap tertentu sudah sangat mengkhawatirkan keutuhan negara-bangsa. Saya kira, hal ini justru menjadi serba paradoks ketika persoalan-persoalan ini justru tidak ditanggapi sebagai ancaman bagi stabilitas nasional. Bukankah reformasi telah banyak memberikan pelajaran kepada bangsa ini bahwa kritik atau penekanan sekuat apapun dalam masyarakat adalah sesuatu yang wajar? Kritik sekeras apapun dari masyarakat kepada pemerintah sudah seharusnya dilihat sebagai bentuk perwujudan dari sebuah kontrol sosial yang dilindungi oleh undang-undang. Justru menjadi ironi ketika kebebasan berpendapat malah dilarang atau dipaksa dibungkam atas nama ancaman stabilitas nasional.

Drama panjang kasus Ahok yang dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk dari kelemahan negara dalam proses law inforcement sehingga muncul serangkaian protes dari masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya justru malah diperlakukan sebagai sesuatu yang bersifat kriminal atau berpotensi kriminalitas sehingga negara berhak melakukan cara-cara represif untuk menutup jalur aspirasi masyarakat. Kita tentu menyaksikan bagaimana pihak aparat baik dari Polri dan TNI secara gamblang menyebut ada upaya makar dari sekelompok masyarakat yang justru akan dihadapi secara tegas dan bila perlu cara-cara militeristik a la Orde Baru akan dipergunakan untuk membungkam seluruh ekspresi, aspirasi dan kritik-kritik mereka terhadap penguasa. Bahkan dengan tanpa malu-malu, penyelesaian kasus makar akan dihadapi sebagai bentuk jihad aparat berperang melawan bangsanya sendiri. Bukankah ini menjadi ironis? Jihad melawan bangsa sendiri?

Saya kira, persoalan makar kemudian menjadi isu besar yang mengarah pada sebuah upaya aksi politik (a matter of political action) yang mengandaikan ada suatu pihak yang sedang melakukan aksi politik dan ada juga pihak yang menjadi sasaran aksi politik ini, yang dalam hal ini tentu saja negara atau pemerintah. Pengandaian ini tentu saja menjadi hak penafsiran penguasa dengan sengaja atau tidak sengaja mengabaikan dimensi masalah tertentu dan menonjolkan masalah-masalah lainnya. Masalah penegakan hukum soal kasus Ahok seakan dikaburkan dan diganti oleh masalah lain yang sengaja ditonjolkan yaitu ada upaya makar atau aksi politik yang dijadikan modus untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Seakan-akan penggambaran makar dalam perspektif  penguasa adalah nyata-nyata berupa pemberontakan senjata, sabotase yang terorganisir dan semacamnya, sehingga perlu dihadapi secara serius, bila perlu ditanggapi dalam perspektif kriminalitas yang konsekuensinya berhadapan dengan hukum yang berlaku. Saya menganggap, upaya penonjolan upaya makar terhadap protes yang sejauh ini berkembang di masyarakat sudah sangat berlebihan dalam menanggapinya.

Yang perlu dijalankan saat ini seharusnya adalah bagaimana negara terus menjalin kerjasama yang baik dengan seluruh elemen bangsa dengan tetap mengedepankan upaya-upaya persuasif yang lebih mampu mendorong lebih besar kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pemerintah. Sikap ketakutan yang berlebihan justru akan semakin mengundang tandatanya besar di benak publik bahwa jangan-jangan negara sedang memberlakukan upaya status quo yang alergi terhadap segala macam bentuk kritik yang dilontarkan publik. 

Bangsa ini sudah cukup menjalani 32 tahun dalam keadaan serba represif: dituduh makar, ditangkap, dibuang, dibungkam bahkan prinsip-prinsip keadilan senantiasa dikebiri dan dimandulkan. Indikasi ke arah penyelewengan demokrasi justru terlihat menguat melihat kepada kenyataan pemberangusan berbagai aspirasi masyarakat. Setelah berbagai situs yang dianggap “radikal” dibredel, kini acara ILC yang menjadi saluran kebebasan berekspresi masyarakat malah dituduh sebagai biang kericuhan dan kegaduhan yang ujung-ujungnya dilarang pemerintah untuk ditayangkan. Sudah sejauh manakah demokrasi di negeri ini ditegakkan? Apakah kita akan kembali ke rezim lama yang anti-demokrasi? Hanya publik tentunya yang lebih bijak untuk menilai.

Wallahu a’lam bisshawab   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun