Menutup dimensi historisitas pada alQuran justru akan membuat setiap teks-nya miskin dialogis dengan alam pikiran manusia yang ingin selalu berdialog dan menafsirkannya. Memang, tuntutan iman pada alQuran sebagai sebuah firman suci melahirkan sikap hormat dan taat, tetapi meragukan sebuah terjemahan alQuran atau penafsiran alQuran bukan berarti menolak keyakinan akan kewahyuan alQuran itu sendiri.
Asumsi saya, persoalan al-Maidah 51 yang menjadi polemik dalam masyarakat justru belakangan semakin “dipolitisasi” oleh pihak-pihak tertentu yang memaksakan terjemahan kata “awliya” sebagai “pemimpin” dan tidak bisa digantikan dengan terjemahan yang lainnya. Meskipun kenyataannya, makna “awliya” tergolong kata yang “murodif” (memiliki banyak arti) dalam alQuran dan tidak mengandung pemaknaan yang monolitik, tetapi tetap saja polemik kearah “politisasi” ayat justru belakangan semakin dirasakan.
Lalu dengan demikian, bagaimana seorang muslim menyikapinya? Saya kira, alQuran sebagai sebuah firman suci yang turun 15 abad yang lalu justru harus mampu hadir menafsirkan realitas sosial, bagaimana kemudian alQuran diterjemahkan, ditafsirkan, didialogkan dalam rangka menjawab setiap persoalan dalam masyarakat, bukan justru menjadi polemik dalam masyarakat. Pengetahuan yang luas akan disiplin ilmu tafsir dan ushul fiqh tentunya akan mendukung bagaimana sebuah ayat alQuran dapat senantiasa “hidup” dan berdialog dengan realitas sosial yang ada dan memberikan petunjuk bagi jalan hidup manusia.
Sikap yang mencurigai pihak pemerintah, dalam hal ini Kemenag, yang seakan-akan membuat perubahan akan makna dan terjemahan kata “awliya”dalam surat al-Maidah 51 justru semakin mempertajam polemik dalam masyarakat soal makna “murodif” kata “awliya” dalam alQuran. Lagi pula, mengubah terjemahan dalam alQuran tidaklah kemudian serta-merta merupakan sikap mengingkari Kitab Suci, tetapi justru akan lebih memberikan pemahaman yang lebih seragam kepada masyarakat awam.
Apalagi, pekerjaan menterjemahkan bahkan menafsirkan alQuran butuh penguasaan terhadap ilmu sejarah alQuran (asbabunnuzul), grammatika serta sastra Arab yang mencakup ilmu balaghah, bayan dan ma’aniy. Belum lagi mesti diperkuat oleh pemahaman yang komprehensif mengenai disiplin ilmu Ushul Fiqh yang justru akan lebih memperkaya pemaknaan, baik menterjemahkan atau menafsirkan alQuran.
Merasa tahu kandungan firman Tuhan sepenuhnya, berarti sombong dan bohong. Sebaliknya, meragukan kitab suci jangan-jangan dianggap sebagai sebuah keangkuhan dan pengingkaran. alQuran memang penuh dengan tanda-tanda dan simbol, hanya manusia yang berfikir cerdas-lah yang dapat mengungkap bagaimana tanda dan simbol tersebut teraplikasikan dalam rangka mencari petunjuk yang baik dari alQuran.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H