Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Santri Nasional dan Jihad Pendidikan di Indonesia

19 Oktober 2016   12:53 Diperbarui: 19 Oktober 2016   13:10 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Momen Hari Santri Nasional (HSN) yang jatuh pada 22 Oktober seakan memberikan harapan baru bagi kemajuan pendidikan Islam Indonesia yang lebih baik dan mampu memberikan daya saing secara global. Santri, sebagai sebutan bagi para pelajar muslim yang dididik baik secara formal maupun non-formal di lingkungan pondok pesantren sejauh ini selalu dipandang sebelah mata oleh pemerintah bahkan kurang diperhatikan secara serius terutama soal pembagian porsi anggaran pendidikan yang konon katanya mencapai 20 persen dari total APBN. Pemerintah nampaknya lebih condong untuk memperhatikan pendidikan umum di luar pesantren daripada mengangkat dan memperkuat citra pendidikan pesantren yang notabene telah lebih lama sebagai “subkultur” dan cikal-bakal pendidikan di Indonesia.

Kebijakan pemerintah dengan penetapan HSN pada 22 Oktober sangat berkait erat dengan momentum peningkatan kualitas pendidikan pesantren, khususnya di Indonesia. Islam, saya kira, memiliki kontribusi besar dalam membangun karakter pendidikan di Indonesia, hanya saja terkadang tidak begitu dilihat kasat mata oleh publik. Selaras dengan apa yang disampaikan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi pada acara Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-43 Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Tashkent, Uzbekistan bahwa kontribusi dunia Islam dalam bidang pendidikan saat ini tidak terlalu banyak terlihat, padahal Islam memiliki kontribusi besar bagi peradaban dunia. Retno kemudian mengingatkan bahwa peran Islam dalam dunia pendidikan harus dibangkitkan sehingga menjadi hebat kembali, berkontribusi terhadap penemuan baru dan inovasi, serta perdamaian dan kesejahteraan dunia. Menteri Retno didepan peserta konferensi menyatakan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen terhadap majunya pendidikan, termasuk komitmen pandanaan bagi pendidikan.

Saya kira, peringatan HSN dapat dimaknai sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam rangka mendorong kemajuan pendidikan di Indonesia secara lebih luas tanpa membedakan atau bahkan menganaktirikan pendidikan pesantren dibanding pendidikan umum. Pendanaan pendidikan yang dikelola oleh pemerintah justru harus berimbang porsinya baik untuk pendidikan umum maupun madrasah terutama yang sudah terbentuk dalam lingkungan pesantren. Selama ini memang, yang dirasakan masyarakat bahwa porsi pendidikan umum nampak lebih besar dibanding pendidikan madrasah atau pesantren dalam hal pembagian kue pembangunan. Saya kira, hal ini sangat dirasakan sebagian besar masyarakat, terutama pesantren-pesantren yang dikelola secara mandiri (swasta). Jika pemerintah Indonesia benar-benar berkomitmen untuk memajukan pendidikan Islam, maka pesantren atau madrasah sudah seharusnya tidak termarginalkan dalam dunia pendidikan nasional.

Momen HSN saya kira, tidak hanya memecut peningkatan kualitas pendidikan pesantren dan madrasah, tetapi juga mendorong para tokoh agama atau ulama pesantren untuk dapat bersaing secara kompetitif dalam dunia pendidikan secara global. HSN ini sebenarnya terinspirasi dari penetapan “resolusi jihad” oleh KH Hasyim Asy’ari dimana seluruh elemen pesantren (santri dan ulama) berjuang mempertahankan tanah air mereka dari penjajahan bangsa asing. Pada konteks ini, resolusi jihad berimplikasi luas terhadap upaya penguatan nasionalisme anak bangsa yang pada waktu itu ditanamkan kepada para santri dan ulama. Inilah bentuk radikalisme sesungguhnya, dimana nasionalisme menjadi kekuatan bersama yang “mengakar” sekaligus berhadapan langsung dengan kolonialisme asing. Radikalisme santri dan ulama yang mengkristal menjadi semangat nasionalisme bahkan tidak pernah pudar seiring dengan tidak pernah dicabutnya resolusi jihad yang pernah difatwakan Kyai Hasyim hingga detik ini.

Ulama, belakangan ini, justru sedang disorot publik karena keterlibatannya yang terlalu intens dengan dunia politik. Padahal, ulama memiliki peran penting sebagai pendidik umat sekaligus panutan umat yang dapat membawa pencerahan kepada masyarakat dalam membangun peradaban bangsa. HSN justru seharusnya dapat memberikan penyadaran sepenuhnya kepada para santri dan juga ulama untuk memperkuat prinsip jihad untuk kemajuan dunia pendidikan. Jangan sampai dunia pendidikan malah semakin dikesampingkan dan lebih memilih terlibat dalam dunia politik praktis. Hal ini justru sangat disayangkan karena dalam realitas kekinian, para santri dan ulama justru lebih banyak berkiprah dalam perebutan kekuasaan politik dibanding memajukan pendidikan pesantren. Disinilah terkadang terjadi ironi disaat dukungan terhadap pendidikan pesantren oleh pemerintah. Penguatan pendidikan pesantren justru terkadang paradoks dengan kondisi ulama dan santri yang cenderung pragmatis dalam memenuhi segala kepentingannya dalam jangka pendek.

Pendidikan pesantren seringkali terbengkalai akibat kesibukan para ulama dan santrinya yang justru lebih memilih terjun ke dunia politik praktis. Mereka lebih suka bersikap pragmatis, menjadi pendukung parpol atau afiliasi politik tertentu atau tak jarang dijadikan alat politik oleh kekuasaan, sehingga cita-cita besar dalam membangun dan memajukan kualitas pendidikan justru terhambat. Mereka bahkan seringkali lupa bahwa pendidikan akan membentuk karakter kebangsaan yang berkemajuan dalam membangun peradaban dalam spektrum yang lebih luas berbeda terbalik dengan sikap pragmatisme yang justru ketika dimunculkan hanya cenderung memenuhi kepentingan sesaat dan berspektrum sempit. Saya kira, penguatan pendidikan pesantren yang didukung oleh HSN harus dikembalikan dan dikuatkan melalui elemen-elemen pesantren itu sendiri, bukan sekedar menjadi seremonial tahunan yang miskin makna.

HSN seharusnya bisa menjadi momen kesadaran bersama, para santri juga ulama, tetap berkiprah dan memberikan kontribusi yang berkemajuan terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Era globalisasi menuntut persaingan yang ketat dan terbuka terhadap seluruh aspek pendidikan baik formal maupun non formal. Oleh karenanya, para santri dan ulama diharap mampu menjawab tantangan globalisasi agar mereka yang memang lulusan pesantren mampu memiliki daya saing, tidak hanya dalam cakupan nasional tetapi juga internasional. Orang-orang yang berasal dari pesantren harus bisa dipandang secara sama dalam hal kualitas sekaligus integritas pendidikannya dalam hal kontribusi kemajuan peradaban bangsa, bukan malah dipandang sebelah mata menjadi kaum marginal yang justru semakin jauh tertinggal dari dunia peradaban.

Wallahu a’lam bisshawab    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun