Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

“Haji Mabrur” dan Efek Multidimensi Sosial

6 Oktober 2016   11:06 Diperbarui: 6 Oktober 2016   11:12 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ratusan ribu jamaah Haji Indonesia sebagian besar saat ini sudah kembali ke tanah air dan tentunya membawa oleh-oleh tidak hanya dalam bentuk “fisik” seperti pernak-pernik khas Timur Tengah, tetapi lebih dari itu, bahwa tujuan paling mulia dalam pelaksanaan seluruh kegiatan ini adalah membentuk karakter seseorang memiliki kepribadian yang jauh lebih baik dari sebelumnya (mabrur). Oleh karenanya, setiap muslim yang akan melaksanakan ibadah Haji senantiasa diiringi oleh ungkapan doa agar mereka sekembalinya ke tanah air menjadi Haji Mabrur. Haji Mabrur dalam konteks ini berarti “oleh-oleh” yang sebenarnya harus dibawa oleh seluruh umat muslim setelah selesai menjalani serangkaian ritual ibadah Haji selama di Tanah Haram.

Istilah Mabrur sendiri ketika dihubungkan dengan kepribadian seseorang, maka ia bermakna orisinalitas apa adanya dan bukan kepura-puraan, bersikap jujur dalam banyak hal dan tidak pernah berkhianat ketika harus menepati setiap janji-janjinya. Predikat Haji Mabrur yang didapat seseorang tentunya merupakan hasil dari proses pembentukan karakter selama seorang muslim mengikuti seluruh rangkaian ritual Haji. Haji bukanlah sikap kepura-puraan hanya untuk memenuhi status dan tuntutan sosial apalagi jika menjalankan Haji hanyalah sebagai kedok menutupi kejelekannya, justru menodai kesucian Haji itu sendiri. Dari seluruh ritual yang dijalankan selama Haji, seorang muslim dituntut untuk selalu jujur dalam bertindak, tidak keluar dari manasik (prosedur) yang telah ditetapkan syariat Islam. Hitung-hitungan yang ditetapkan untuk berbagai ritual tidak boleh dikurangi, seperti thawaf, lempar jumroh, sa’i yang pelaksanaannya 7 kali. Sikap yang jujur justru pada akhirnya akan melahirkan prilaku yang amanah (dapat dipercaya) dan terhindar dari kecenderungan menyimpang (khianah).   

Haji sejatinya merupakan serangkaian ritual yang keseluruhannya bernilai ibadah, apalagi Haji termasuk kewajiban seorang muslim untuk memenuhi kesempurnaan dirinya menjalankan rukun Islam. Ketika kewajiban Haji dalam ajaran Islam ditempatkan pada urutan kelima dalam Rukun Islam (setelah Syahadat, Sholat, Zakat dan Puasa Ramadan) maka Haji dengan demikian merupakan pos terakhir dari puncak keimanan sekaligus kepasrahan diri seorang muslim kepada Tuhannya, sehingga wajar jika upaya yang dilakukan demi mengejar “ibadah puncak” ini memiliki effort yang luar biasa. 

Kita tahu, bahwa Haji hanya bisa dilakukan oleh muslim yang memiliki kemampuan secara finansial sehingga tidak semua muslim mampu mengerjakannya. Karena effort-nya yang cukup besar, maka dampak dan hasil yang diperoleh dari ibadah Haji tidak hanya berimplikasi eskatologis (hanya mengharap pahala dan nilai kebaikan) tetapi juga sosiologis, membentuk karakter seorang muslim menjadi lebih baik yang dapat berpengaruh terhadap seluruh dimensi sosialitasnya.

Haji merupakan rangkaian ibadah yang memiliki multidimensi secara sosial, yang dijalankan berdasarkan semangat keimanan. Semangat keimanan kepada Tuhan yang diaktualisasikan melalui bentuk kepasrahan dan keyakinan dengan melihat kepada beragam aktivitas ritualnya akan membentuk sinergitas antara nilai-nilai Ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan sekaligus. Tuntutan keikhlasan akan tercermin dari kondisi ibadah Haji yang justru terbuka dan disaksikan orang banyak tidak seperti ibadah-ibadah lainnya yang cenderung tertutup. Nilai-nilai sosial berupa kebersamaan, toleransi, kedermawanan dan ta’aruf (bergaul secara baik) akan lebih terlihat dalam prosesi pelaksanaan ibadah Haji. Dalam konteks Indonesia, seorang calon jamaah Haji tentunya cenderung lebih intens berhubungan secara sosial, baik sebelum keberangkatan dengan menggelar acara syukuran hingga kepulangannya ke Tanah Air yang juga diisi oleh kegiatan yang bernuansa sosial.  

Seluruh umat Muslim yang pergi menunaikan ibadah Haji sejatinya merupakan tamu-tamu Tuhan  (dluyufurrahman) sehingga mereka secara agama dikategorikan sebagai “tamu kehormatan yang diundang secara khusus oleh Tuhan”. Ketika Tuhan memberikan undangan kepada manusia untuk melakukan ibadah Haji, maka jelas bahwa prosedur-prosedur pelaksanaan, tata cara ibadah Haji termasuk predikat Haji Mabrur yang akan disematkan Tuhan nantinya adalah merupakan rangkaian dari manasik (SOP) yang tidak boleh dilanggar. Manasik bukan hanya sebatas tata cara pelaksanaan Haji secara ritualnya saja, tetapi lebih dari itu, yaitu prosedur-prosedur berhaji yang harus ditaati oleh umat muslim yang berhaji dari mulai pemberangkatan sampai dengan kepulangannya ke Tanah Air. Oleh karena itu, Haji ilegal yang tahun ini terlihat marak bisa dikategorikan sebagai bentuk lain dari pelanggaran prosedural ibadah Haji yang telah diatur dalam diktum manasik.

Predikat Haji Mabrur sendiri akan disematkan oleh Tuhan kepada mereka yang secara prosedural mengikuti aturan dan tata cara ibadah Haji yang telah ditetapkan, sekaligus karena didasarkan atas  semangat keimanan dan keikhlasan kepada Tuhan, bukan hal lain. Prinsip keimanan dan keikhlasan seseorang karena ketaatan kepada Tuhan justru akan berdampak terhadap semua sisi kehidupannya secara nyata dalam lingkungan sosial mereka. Oleh karena itu, ketika Nabi Muhammad ditanya oleh para sahabat tentang bagaimana Haji Mabrur, beliau dengan singkat menjawab, “Selain balasannya surga, Haji Mabrur ditandai oleh mereka yang bersikap dermawan (ith’amu al-tho’am) dan senang menebarkan kedamaian (ifsyau al-salaam). Haji Mabrur justru berdampak secara sosial dimana seorang muslim yang selesai berhaji cenderung bersikap dermawan dan tentu saja mengedepankan toleransi dengan menebarkan kedamaian bukan kebencian kepada masyarakat.

Dengan demikian, saya berasumsi bahwa rangkaian ibadah Haji tentunya memiliki efek multidimensi secara sosial, ketika melihat kepada proses pelaksanaan ritualnya yang kaya dengan nilai-nilai sosial kemanusiaan. Bagi saya, ritual thawaf, sa’i, jumroh aqobah, wuquf dalam ibadah Haji lebih banyak membentuk kepribadian seseorang untuk sabar, ikhlas, toleransi sekaligus terbuka dalam ta’aruf (saling mengenal secara baik) dengan seluruh umat manusia. Bahkan selama dalam menjalankan ibadah Haji, seorang muslim dilarang untuk berkata-kata kotor (rafats), berbuat sesuatu yang merugikan siapapun dan apapun (fusuq) bahkan tidak diperkenankan melakukan perdebatan (jidal) yang hanya akan menimbulkan permusuhan. 

Semua ini telah ditegaskan dalam diktum al-Quran dan ditetapkan dalam prosedur manasik Haji, sehingga pelanggaran-pelanggaran yang jika dilakukan dapat merusak seluruh nilai ibadah Haji itu sendiri. Semangat keimanan yang mendasari seluruh rangkaian kegiatan Haji seyogyanya dipahami oleh setiap muslim yang menjalaninya sebagai pembentukan karakter agar memiliki sensitifitas yang jauh lebih baik terhadap realitas sosial. Ketika kondisi sensitifitas sosial justru malah berkurang atau bahkan hilang, maka dipastikan predikat Mabrur tidak bisa disandang oleh mereka yang telah selesai melaksanakan ibadah Haji.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun