Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paranormal dan Realitas Masyarakat Kita

28 September 2016   13:37 Diperbarui: 28 September 2016   13:56 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya teringat oleh sebuah syair lagu yang dinyanyikan Iwan Fals, “Karena keadaan ini memang tidak normal, itu sebabnya bermunculan paranormal, seperti jamur di musim hujan”. Paranormal seakan menjadi fenomena ditengah hiruk-pikuk modernisasi yang mendera masyarakat kita. Padahal, seharusnya modernisasi semakin membuat manusia berpikir waras, rasional dan cenderung menggantungkan hidupnya pada hal-hal yang bersifat materialistik bukan pada hal-hal yang bersifat klenik apalagi syirik. Namun demikian, kemunculan paranormal dalam realitas masyarakat kita nyatanya diakui sebagai “jawaban” atas segala persoalan hidup sebagian masyarakat yang ternyata jenuh dengan dunia gemerlap yang serba materialistik. Titik kejenuhan yang mencapai puncaknya kemudian banyak mendorong seseorang untuk mengatasinya secara instan akibat logika mereka terhenti dalam menyelesaikan setiap problematika kehidupan.

Anehnya lagi, kecenderungan berprilaku instan yang ada pada masa modern saat ini bukanlah berasal dari mereka yang minim pengetahuan atau gagap teknologi, juga bukan pula berasal dari mereka yang karena terhimpit kebutuhan ekonomi, tetapi justru berasal dari orang-orang yang secara nalar cerdas, secara ekonomi kuat dan bahkan interaksi kehidupannya dengan segala aspek modernitas bisa dibilang sangat lekat. Tetapi ternyata, modernisasi dalam segala aspek tidak seluruhnya utuh merubah prilaku manusia menjadi lebih “modern” atau lebih “rasional”, karena realitasnya ditengah arus kekinian, justru fenomena paranormal cenderung menjamur dan dijadikan sandaran pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Paranormal seakan menjadi “perdukunan gaya baru” yang lebih bernuansa modern, tanpa kemenyan, dupa, asap dan jampi-jampi. Realitasnya sedikit bergeser karena “tumbal” diganti dengan “mahar” akibat tuntutan modernitas dan jampi-jampi diganti oleh ritual yang mengundang kenikmatan duniawi.

Beberapa kali kita dikejutkan oleh kondisi ketertarikan publik yang begitu kuat terhadap cara pandang paranormal yang justru jauh dari kecenderungan nalar sehat. Sebut saja beberapa paranormal kawakan seperti Ki Gendeng Pamungkas atau Ki Joko Bodo yang sempat menasional dan bahkan seringkali dijadikan bahan rujukan untuk hal-hal yang sulit dijangkau nalar. Mereka kerap kali muncul di televisi menjawab sekian banyak problematika masyarakat diluar kebiasaan nalar yang wajar. Baru-baru ini, fenomena paranormal malah terungkap ke publik sebagai bentuk penipuan yang piawai melakukan agitasi kepada publik akan kesanggupan menyelesaikan sebagian persoalan hidup mereka dengan cara instan: ingin cepat kaya, ingin cepat sembuh, ingin cepat sukses dan sebagainya. Saya kira, terbongkarnya beragam kasus penipuan yang dibungkus oleh aktivitas paranormalistik sebagian besar adalah modus kejahatan masa kini karena model perdukunan dianggap kuno dan sudah lama ditinggalkan masyarakat.

Belakangan publik dihebohkan oleh kenyataan bahwa satu-persatu praktek paranormal yang terindikasi praktek penipuan mulai terkuak. Dimulai oleh terbongkarnya kasus praktek pengobatan menipu yang dilakukan Guntur Bumi. Kemudian disusul oleh tertangkapnya Gatot Brajamusti dan yang paling baru adalah sosok paranormal bernama Kanjeng Dimas yang cukup menyedot perhatian publik. Bagaimana tidak, selain diyakini dapat menggandakan uang, Kanjeng Dimas dinilai memiliki kekayaan yang luar biasa, ditambah oleh ratusan santrinya yang tetap setia menanti kepulangan sang guru walaupun sudah terbukti melakukan pembunuhan dan penipuan. Saya kira, ini adalah fenomena langka di tengah kehidupan manusia yang serba kapitalistik, dimana pemenuhan kebutuhan hidup selalu dilakukan dengan cara-cara rasional dengan cenderung mengedepankan logika ekonomi untung-rugi.

Saya kira, kecenderungan terhadap hal dengan serba instan ini sudah menjadi realitas dalam masyarakat kita. Bahkan dalam banyak hal sudah menulari dari generasi ke generasi. Kita bisa melihat bagaimana keinginan serba instan masyarakat kemudian diaktualisasikan melalui praktek korupsi, kolusi dan juga nepotisme. Berapa banyak masyarakat yang ingin mendapatkan pekerjaan, baik di pemerintahan atau swasta dilakukan dengan cara instan, dengan memberi “mahar” yang ditentukan maka pekerjaan bisa didapatkan. Berapa banyak pula mereka yang tergiur jabatan lebih tinggi diupayakan pula dengan cara-cara instan, juga berjanji memberikan “mahar” asalkan jabatannya bisa naik lebih tinggi. Dalam bahasa lain, masyarakat kita ini sekarang cenderung bersikap pragmatis dalam banyak hal, bisa dengan cara datang kepada paranormal, pejabat atau pengusaha untuk sekedar menyelesaikan persoalan hidupnya. Fenomena serba instan ini justru merupakan cermin dari realitas kehidupan kita saat ini.

Dalam dunia kekinian, paranormal tidak harus dipahami sebagai bentuk fisik yang diasosiakan secara personal, tetapi bisa juga didekati dalam bentuk abstrak melalui kepercayaan kepada angka-angka statistik, bisa juga ramalan-ramalan atau asumsi-asumsi lain yang diyakini mengandung kebenaran. Dalam dunia politik misalnya, keyakinan terhadap angka-angka statistik hasil survey untuk kebutuhan pembangunan opini publik juga bisa disebut pengakuan atas paranormal dalam bentuk abstrak ini. Jika yang dimaksud oleh angka-angka tersebut adalah bersifat tentatif yang mengedepankan “ramalan politik” maka secara tidak langsung realitas masyarakat kita sejatinya memberikan tempat untuk paranormal. Karena sesuai dengan istilah katanya, bahwa “para” berarti “melampaui atau melebihi” yang ketika dikaitkan menjadi paranormal berarti segala sesuatu yang diupayakan melampaui batas normal kewajaran. Oleh karena itu sangat wajar, ketika kemudian paranormal dalam bentuk fisik memang digandrungi oleh realitas masyarakat kita.

Bentuk pragmatisme dan serba instan yang kemudian dihadapkan oleh fenomena paranormal juga diikuti oleh mereka yang menginginkan materi secara lebih cepat, walaupun diatas kertas, perhitungannya melampaui batas normal. Contoh konkret adalah maraknya kredit kendaraan bermotor yang jika dihitung sebetulnya sudah melampaui batas kenormalan, karena penghasilan tidak sesuai dengan harga kendaraan yang dibayarkan setiap bulannya. Tetapi anehnya, karena “paranormal” diyakini dapat memenuhi kebutuhan hidunya, maka proses pembayaran yang diluar batas normal justru dijalani dengan kepercayaan penuh tanpa mengukur dengan realitas nalar. Jadi saya kira, ada benarnya ungkapan syair Iwan Fals diatas, bahwa keadaan ini sudah tidak normal, sehingga bermunculan paranormal yang bermetamorfosa dalam bentuk-bentuk lain yang lebih modern. Inilah sebenarnya realitas masyarakat kita, masyarakat yang mudah terbius oleh paranormal-paranormal dalam paradigma baru.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun