Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dwi Kewarganegaraan: Antara Nasionalisme dan “The Lost Population”

26 Agustus 2016   11:11 Diperbarui: 26 Agustus 2016   11:33 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini persoalan mengenai Dwi Kewarganegaraan (DK) seakan mencuat ke publik sebagai sesuatu yang sangat berdampak dalam banyak hal, seperti persoalan nasionalisme, aset bangsa baik SDM ataupun pemasukan keuangan negara, remitansi yang menguntungkan dan masih banyak hal lainnya yang seharusnya dapat dipertimbangkan sebagai sebuah kebijakan yang perlu dikaji ulang oleh pemerintah. Meskipun demikian, persoalan DK juga hendaknya harus hati-hati dicermati karena dikhawatirkan kemudian akan menjadi kebijakan yang membuat mudah proses migrasi asing yang berkeinginan menjadi warga negara Indonesia. Menyoal DK dalam beberapa kasus yang baru-baru ini mencuat ke publik seakan memiliki dua kutub yang berseberangan antara memperkuat nasionalisme atau membiarkannya berada pada wilayah “abu-abu” selama masih dapat memberi keuntungan yang banyak untuk negara.   

Menguatnya persoalan DK belakangan ini merujuk pada beberapa kasus yang dianggap cukup penting, diantaranya soal kewarganegaraan Menteri ESDM Archandra Tahar, yang justru dipersoalkan publik beberapa minggu setelah dia dilantik sebagai menteri oleh Presiden Jokowi. Archandra diketahui memiliki paspor ganda: Indonesia dan Amerika Serikat, bahkan secara resmi Archandra justru telah menjadi warga negara Paman Sam tersebut sejak 2012. 

Persoalan yang tak kalah pentingnya adalah soal “peranakan asing” hasil perkawinan campur yang disematkan kepada salah satu anggota Paskibraka, Gloria Natapradja Hamel. Akibat DK yang dimiliki Gloria, maka ini menjadi persoalan apalagi Gloria adalah salah satu anggota Paskibraka pada acara Kemerdekaan Indonesia. Terakhir adalah kasus penggunaan paspor asing oleh 177 jamaah Haji Indonesia yang secara “ilegal” berpaspor Filipina. Banyak yang tidak mengetahui bahwa ketika seseorang memiliki paspor negara lain, maka dia bisa kehilangan kewarganegaraannya secara formal.

Baru-baru ini pemerintah berharap dapat mengkaji ulang dan merevisi persoalan-persoalan yang masih belum terakomodasi dalam UU No 12 tahun 2006 mengenai Kewarganegaraan. Pesoalan perundang-undangan yang mengatur soal ini memang masih menyimpan banyak masalah, padahal, persoalan DK jika dibenahi secara seksama justru dapat membantu banyak hal terhadap kemajuan pemerintahan sendiri. Kita bisa membayangkan betapa banyaknya warga Indonesia yang tersebar di negara-negara asing tetapi memiliki talenta, keistimewaan, profesionalisme yang justru telah melakukan naturalisasi menjadi warga negara lain karena secara kemampuan mereka dibutuhkan sebagai tenaga profesional yang dibutuhkan di negara tersebut. 

Komunitas diaspora Indonesia yang tersebar diberbagai negara lain jumlahnya kurang lebih mencapai 8 juta jiwa dengan beragam keahlian dan profesi yang dimilikinya. Inilah kemudian yang dilirik Presiden Jokowi untuk mendatangkan para profesional yang telah bekerja di negara asing untuk dapat berkarya di negeri sendiri. Tetapi, persoalan DK kemudian muncul menjadi batu sandungan yang sarat dengan kepentingan politik dan persoalan nasionalisme.

Tetapi perlu diingat, bahwa persoalan revisi yang nanti jika dilakukan terhadap UU Kewarganegaraan jangan sampai terjadi upaya pengindonesiaan orang asing yang tidak mempunyai ikatan hukum maupun batin terhadap Indonesia, tetapi justru harus memperkuat keindonesiaan orang Indonesia dan keturunannya. Saat ini marak rumor mengenai pekerja asal Tiongkok yang membanjiri Indonesia dan mereka bekerja di sektor-sektor pertambangan dan industri yang juga dikuasai oleh pemodal asing. Wacana revisi UU Kewarganegaraan yang menemukan momentumnya sekarang juga tidak berasal dari desakan warga asing yang menginginkan legalitas DK bagi para pekerjanya. Persoalan kajian dan revisi UU Kewarganegaraan harus berangkat dari upaya memperkuat sisi nasionalisme keturunan Indonesia yang telah menjadi warga negara asing agar mau pulang ke negerinya sendiri dan berkarya demi kemajuan bangsanya sendiri.

Saat ini, mereka yang dianggap sebagai komunitas diaspora Indonesia dan mungkin sudah dinaturalisasi menjadi warga negara asing, kira-kira sebanyak 27 persen diantaranya merupakan orang-orang yang lulus pendidikan setingkat magister dan doktor. Mereka bisa saja para profesional, pengajar, penemu atau peneliti yang telah diakui oleh dunia internasional tetapi sudah tidak lagi berkewarganegaraan Indonesia. Mereka ini ibarat the lost population yang justru banyak berkiprah untuk kemajuan bangsa asing tetapi luput dari pemerintahan sendiri. 

Nah, jika kemudian hanya gara-gara kasus Archandra yang tersandung persoalan DK kemudian justru seperti terasing di negerinya sendiri, maka akan semakin banyak komunitas diaspora profesional yang enggan berkontribusi kembali untuk negaranya. Saya kira, ini persoalan serius bangsa yang sangat berdampak terhadap prinsip penguatan nasionalisme yang saat ini sangat diperlukan.

Ada ungkapan Presiden Amerika, John F Kennedy yang begitu terkenal: “ask not what your country can do for you, but ask what you can do for your country. Ungkapan semangat yang berisikan nasionalisme ini seakan menggugah kita, betapa pentingnya kita harus mengukur seberapa banyak kontribusi kita yang sudah kita lakukan untuk negara ini, bukan seberapa besar negara memberikan “uang” dan kehidupan untuk kita. Saya kira, semangat menggebu-gebu Archandra ketika diberi kehormatan oleh Presiden Jokowi untuk duduk sebagai menteri ESDM merupakan niat baik dan semangat dispora Indonesia untuk memberikan kontribusi terbaik untuk negara, sama halnya dengan Gloria yang memilih Paskibraka sebagai bentuk kontribusinya kepada negerinya ini. Lain halnya pada saat jamaah Haji “ilegal” yang karena ketidaktahuan mereka justru kehilangan kewarganegaraannya akibat memiliki paspor negara lain. Revisi dan peninjauan kembali mengenai UU Kewarganegaraan menjadi sangat mendesak jika melihat beragam kasus yang muncul ke publik.

Hanya saja perlu dilihat, bahwa banyak beragam kepentingan soal wacana direvisinya UU Kewarganegaraan yang akan dilakukan pemerintah bersama DPR dalam waktu dekat ini. Hal ini mengingat bahwa proses naturalisasi di Indonesia yang cukup sulit kemudian dipermudah dan dimanfaatkan pihak lain untuk banyak kepentingan, terutama mudahnya warga negara asing mendapatkan status sebagai warga negara Indonesia.

Mereka yang telah dinaturalisasi pada akhirnya hanya menancapkan kepentingan asing mereka yang lebih bernuansa bisnis dan keuntungan secara pribadi yang justru demi negara mereka bukan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Wacana DK saat ini memang menjadi sangat penting untuk dilihat sebagai modal penguatan nasionalisme sejauh ini, bukan pada persoalan kemudahan naturalisasi itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun