Secara historis-sosiologis, agama sebenarnya hadir belakangan setelah sebuah realitas sosial terbentuk. Kehadiran sebuah agama dalam realitas masyarakat seringkali dikaitkan oleh pembawanya, yaitu para Nabi yang dikenal sebagai utusan Tuhan. Agama kemudian hadir ditengah-tengah realitas umat yang didalamnya telah terekam beragam fakta sosial, baik dalam bentuk tradisi, budaya, nilai-nilai yang dianut bahkan seperangkat kepercayaan yang sudah ada dan membentuk sebuah entitas masyarakat. Maka tak jarang, bahwa kehadiran sebuah agama dalam realitas sosial tidak serta merta merubah tatanan nilai, tradisi dan budaya yang sudah ada, tetapi agama lebih bersifat memperbaharui, mengarahkan atau mengisi setiap ruang kosong sosialitas dalam upaya membangun peradaban manusia ke arah yang lebih baik. Ajaran-ajaran agama pada umumnya lebih mengarahkan dan membentuk keberadaban manusia melalui penguatan sisi moral yang diaktualisasikan oleh setiap individu dalam masyarakat. Adapun persoalan ritualitas keagamaan yang kemudian dijalankan oleh setiap individu atau kelompok dalam masyarakat berfungsi sebagai kekuatan pengikat solidaritas sosial diantara para penganutnya.
Agama pada awalnya merupakan intuisi dan pengalaman pribadi para pembawanya, yang dalam hal ini adalah para Nabi. Para Nabi-lah pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan perihal agama sehingga persoalan-persoalan keagamaan dalam masyarakat cenderung mudah terselesaikan. Namun demikian, ketika agama pada akhirnya menyebar kedalam realitas sosial dan diyakini sebagai sebuah kebenaran hakiki oleh para penganutnya, maka pemahaman keagamaan selanjutnya tidak lagi menjadi wilayah monopoli kenabian, tetapi menjadi bagian dari keyakinan yang teraktualisasikan secara terus-menerus oleh setiap individu dalam sebuah masyarakat. Seiring dengan proses perubahan sosial, wajah agama yang tadinya hanya bernuansa individual, secara bertahap menuntut sebuah persesuaian dengan realitas sosial yang serba dinamis. Agama pada akhirnya memiliki korelasi yang sangat erat dengan kultur masyarakat, terlebih dalam konteks kekinian, wajah kultur justru lebih menonjol dalam sebuah realitas sosial keagamaan.
Oleh karenanya, keyakinan masyarakat terhadap sebuah agama akan membentuk komunitas inklusif berdasarkan “ikatan iman” menggantikan ikatan-ikatan ekslusif dalam bentuk solidaritas sosial lainnya yang bernuansa kesukuan, kelompok, kekeluargaan, klan atau bahkan perbedaan strata sosial. Dalam banyak hal, agama memang telah berhasil membongkar struktur masyarakat tradisional yang masih lekat dengan semangat primordial dan kesukuan beralih kepada semangat solidaritas atas dasar kesamaan iman. Seiring perkembangan perubahan masyarakat yang begitu cepat, agama saat ini dituntut untuk dapat memainkan peran lebih sehingga mampu menjawab setiap tantangan zaman. Peran dan fungsi agama sebagai pengikat solidaritas sosial masih tetap akan dibutuhkan, apalagi ditengah arus globalisasi dan modernisasi yang cenderung membentuk masyarakat kapitalistik: berburu kepentingan keduaniaan semata, individualis-hedonistik yang lebih berorientasi keuntungan materi sehingga seringkali mengganggu tatanan sosial yang telah terbangun sekian lama.
Jika agama berfungsi dan dapat mempererat solidaritas sosial apalagi jika hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan yang tercipta dari unsur keyakinan keagamaan dapat membentuk komunitas masyarakat yang inklusif berdasarkan “ikatan iman”, maka agama semestinya memiliki pengaruh yang besar untuk mengikat sebuah keragaman dalam perbedaan keyakinan. Model “ikatan iman” yang pernah dipopulerkan Nabi Muhammad ketika peristiwa Futuh Makkah, memberikan kesan bahwa setiap individu yang memiliki keyakinan terhadap sebuah agama, atau sebuah kelompok masyarakat yang setia beriman kepada agama tertentu, dianggap bagian dari komunitas “yang beriman”, sehingga wajib dilindungi. Nabi Muhammad ingin membentuk kekuatan solidaritas sosial melalui sentimen “ikatan iman” antarsesama agama dan antarumat beragama yang diproyeksikan dalam membangun Kota Madinah waktu itu.
Dengan demikian, sejarah Islam awal yang terekam dalam peristiwa futuh Makkah telah menunjukkan pada kita bahwa Islam telah membangun toleransi antaragama sejak 15 abad yang lalu. Nabi Muhammad bahkan telah menuangkan kesepakatan tertulis soal kerukunan antaragama dalam sebuah kontrak sosial-politik yang disebut Piagam Madinah. Keyakinan setiap individu dan komunitas sosial terhadap agama yang telah ada, muncul sebagai pengikat solidaritas sosial atas dasar “kesamaan Iman” yang secara tidak langsung menggeser sentimen-sentimen pribadi yang bersifat kabilah, kelompok, kesukuan dan kekeluargaan. Dalam membangun peradaban Kota Madinah, agama dan keyakinan masyarakat waktu itu justru dijadikan elemen utama dalam penguatan soliditas masyarakat, sehingga pada akhirnya peradaban Islam kemudian lahir gemilang dan membawa perubahan yang lebih baik untuk umat manusia.
Tidak jauh berbeda seharusnya ketika agama tetap hadir dalam realitas sosial di era kekinian. Agama tetap menjadi pengikat yang sangat solid bagi sebuah komunitas sosial, walaupun eksistensi agama terus menerus dihantam perkembangan zaman. Memang, melihat kepada perkembangan sosial masa kini, ikatan-ikatan sosial yang berdasarkan keagamaan dalam masyarakat terlihat semakin melemah digantikan ikatan-ikatan sosial yang mendatangkan kalkulasi keuntungan ekonomis. Meskipun demikian, agama tetap menjadi sebuah kekuatan sosial yang tetap kuat bertahan ditengah gempuran modernisasi dan globalisasi.
Dalam banyak hal, agama lebih banyak berperan pada wilayah individual dan memiliki pengaruh terhadap pola pikir, emosi dan tindakan seseorang, baik secara pribadi maupun kelompok. Karena sifatnya yang personal, agama diserap berbeda-beda dalam pemahaman oleh setiap individunya, sehingga keberagamaan masyarakat tampil dalam keragaman. Keragaman bahkan semakin nyata ditengah era masyarakat global yang ditunjukan oleh keragaman etnis, profesi dan agama yang semakin menguat.
Cara pandang setiap individu atau kelompok dalam masyarakat terhadap dimensi keberagamaannya yang bersifat personal, terkadang bisa memunculkan ketegangan dan konflik. Di Indonesia saja, kita bisa mengambil banyak contoh bagaimana pemahaman keagamaan seseorang bisa berbeda ketika diaktualisasikan dengan pemahaman keagamaan orang lain yang padahal satu agama. Contoh konkrit perbedaan terutama dalam hal pelaksanaan ritual yang terjadi antara kelompok keagamaan yang berasal dari NU dan Muhammadiyah. Namun, ketika solidaritas sosial yang terbangun dan secara sadar dibentuk oleh sentimen “ikatan iman”, maka setiap keragaman dalam keberagamaan justru dapat membangun toleransi dan memperkuat solidaritas sosial.
Sama halnya ketika orientasi keagamaan setiap individu atau kelompok dalam masyarakat dibangun berdasarkan sentimen “ikatan iman”, maka bisa dipastikan kerukunan antarsesama agama dan kerukunan antarumat beragama akan lebih mudah disemai dalam membangun sebuah peradaban yang lebih baik. Ikatan iman yang dibangun secara sadar oleh seluruh komunitas beragama akan membentuk solidaritas sosial yang lebih inklusif karena tidak menyematkan keyakinan atau agama tertentu didalamnya. Agama adalah keyakinan individual yang secara internal teraktualisasikan dalam kehidupan sosial yang beragam. Setiap orang yang beragama adalah komunitas beriman (the community of believers) sehingga memiliki kesamaan dalam orientasi keimanan kepada Tuhan. Oleh karena itu, maju mundurnya sebuah peradaban sangat ditentukan oleh kuat lemahnya “ikatan iman” yang ada dalam masyarakat. Kesadaran sosial yang tinggi terhadap penguatan ikatan iman dalam sebuah komunitas masyarakat tentu akan menumbuhkan sikap toleransi yang lebih baik. Setiap individu dan kelompok dalam sebuah komunitas sosial akan lebih menganggap saudara-saudara mereka yang berbeda dalam keyakinan dan keagamaan akan dianggap sebagai “saudara seiman” ketika dihadapkan pada sebuah relitas pembangunan peradaban.
Wallahu a’lam bisshawab
FB: https://www.facebook.com/syahirul.alim.3