Setiap kebijakan negara apapun, tentunya harus didukung dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan selaras dengan waktu yang telah ditetapkan. Presiden sebagai kepala negara dalam hal ini hanyalah otoritas tertinggi dalam penentu sebuah kebijakan, sedangkan para menterinya bertugas menjalankan setiap fungsi kebijakan negara agar roda sebuah pemerintahan tetap berjalan. Para menteri yang dipilih dan diangkat oleh presiden, merekalah yang paling berkepentingan dalam mengukur sukses atau gagalnya sebuah kebijakan negara yang telah digulirkan.Â
Oleh karena itu, para menteri terpilih memiliki tanggungjawab secara langsung kepada presiden dalam pelaksanaan setiap kebijakan negara, bahkan merekalah kayuh utama dalam menggerakkan roda pemerintahan yang sedang berjalan. Ketika salah satu atau beberapa diantara menteri salah dalam menterjemahkan secara nyata sebuah kebijakan, maka dipastikan menteri seperti ini gagal dalam membawa amanat rakyat yang tertuang dalam sebuah kebijakan negara. Pergantian para menteri yang dinilai gagal ini selayaknya menjadi pertimbangan serius bagi seorang kepala pemerintahan, yaitu presiden.
Kondisi macetnya sebuah roda pemerintahan tentu akan membawa dampak fatal bagi keberlangsungan hidup bernegara dan bermasyarakat. Semakin banyaknya menteri-menteri yang memble dalam kinerjanya semakin berdampak buruk terhadap kondisi sebuah pemerintahan dan negara. Jika Presiden Jokowi sadar betul akan kinerja para menterinya ada yang memble, maka sudah seharusnya dengan segera melakukan reshuffle agar roda pemerintahan tetap bergulir pada porosnya.Â
Jangan sampai proses yang begitu lama dalam pelaksanaan reshuffle menambah macet sistem dan menimbulkan penafsiran yang liar oleh sementara orang, jangan-jangan reshuffle lebih banyak berlangsung dalam sebuah proses politik kepentingan yang diwarnai oleh kentalnya aroma transaksionalisme. Upaya bongkar-pasang kabinet menjadi wacana yang semakin santer belakangan ini dan terkesan bernuansa transaksional. Nuansa itu begitu terasa akibat bergabungnya parpol-parpol yang dahulunya berada dijalur oposisi ke dalam koalisi parpol pendukung pemerintah.
Wacana reshuffle yang dihembuskan oleh presiden beberapa waktu yang lalu, membuat sebagian parpol justru bermanuver dan saling klaim bahwa kinerja para petugas partainya yang ada dalam jajaran kabinet dinilai masih baik dan menunjukan kinerja positif dalam melaksanakan berbagai kebijakan negara. Bahkan, beberapa parpol yang berpindah jalur dari oposan malah sudah berasumsi secara yakin bahwa akan ada kadernya yang cakap masuk dalam jajaran kabinet.Â
Walaupun reshufflemenjadi hal prerogratif presiden, namun komposisi kabinet yang lahir dari sebuah koalisi gemuk harus mempertimbangkan jatah kekuasaan yang proporsional. Inilah efek dari sebuah pemerintahan koalisi gemuk yang saat ini ada dalam lingkaran kekuasaan negara, presiden dituntut harus benar-benar dapat mewadahi seluruh elemen kepentingan politik yang ada. Wacana reshuffledengan demikian kental dengan aroma transaksinalisasi politik, dimana kepentingan parpol koalisi pendukung harus benar-benar terakomodasi dalam struktur pemerintahan.
Saya yakin, Presiden Jokowi pasti mengetahui mana menterinya yang memble dan yang baik kinerjanya. Tidak perlu menyebutkan satu-persatu siapa saja para menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi yang dinilai kurang memuaskan dan tidak memenuhi target pelaksanaan kebijakan negara. Jika para menteri itu sering membuat gaduh, tersandung kasus bernuansa koruptif atau seringkali membuat kebijakan baru yang salah sasaran, maka merekalah seharusnya yang terkena imbas reshuffle. Seorang presiden harus cakap dalam mengelola the right man in the right place, bukan sekedar memenuhi komposisi yang berkeadilan bagi parpol pendukung. Paling tidak, reshuffle yang akan digulirkan akan dapat membuat roda pemerintahan ini berjalan cepat, tepat dan memenuhi ekspektasi rakyat banyak.
Reshuffle seakan menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah pemerintahan yang dibangun oleh suatu koalisi, apalagi koalisi parpol pendukung berjumlah banyak. Namun demikian, seringnya seorang kepala negara bongkar-pasang komposisi kabinet juga menunjukkan kerapuhan sebuah sistem politik yang dibangun. Ada hal yang lebih penting dalam sebuah sistem politik yang demokratis, yaitu para menteri yang merasa dirinya kurang cakap atau gagal dalam memenuhi target kebijakan, hendaknya dapat mengundurkan diri atau meminta maaf kepada rakyat karena kinerjanya selama menjadi menteri kurang memenuhi keinginan banyak pihak. Lihatlah di Jepang, bagaimana seorang Menteri Urusan Energi meminta maaf dengan membungkuk selama 20 menit di depan rakyatnya akibat pemadaman listrik yang membuat rakyatnya terganggu. Sikap menteri di Jepang ini merupakan contoh baik sebagai seorang pejabat negara yang tidak jemawa dengan mengakui kesalahannya sendiri di hadapan publik.
Melihat kepada kondisi jalannya roda pemerintahan yang seakan pincang kali ini sudah seharusnya reshuffle tidak lagi menjadi wacana tetapi butuh realisasi secepatnya. Publik sudah bosan dengan kinerja menteri yang tanpa hasil, ketidaksesuaian pendapat antarmenteri dan para pejabat negara lainnya sehingga timbul kegaduhan politik, pemenuhan target kebijakan negara yang jauh dari harapan bahkan publik sudah bisa menilai mana menteri yang dianggap kurang kerjaan atau hanya hadir dalam setiap acara seremonial kenegaraan tanpa memberikan kinerja yang nyata kepada rakyatnya. Para menteri ini tidak mungkin meminta maaf, apalagi harus jujur kepada rakyat bahwa mereka kurang cakap atau tidak mampu mengelola roda pemerintahan, sehingga butuh terobosan melalui reshuffle yang cermat dari seorang presiden. Biarlah para parpol pendukung bermanuver atau membuat semacam alibi kepada publik tentang kinerja para kadernya yang masih mendapat apresiasi publik, tetapi semua akan berakhir dalam genggaman dan keputusan Presiden Jokowi.
Wacana reshuffle kabinet sudah terlalu lama bergulir dan publik sudah menunggu dan berharap kondisi roda pemerintahan yang seringkali macet disana-sini dapat terurai. Jadi sebenarnya, jika wacana reshuffle ini direalisasikan dengen merombak jajaran kabinet tetapi hanya berdasarkan pola transaksionalisasi politik, baik dengan cara mengakomodasi kader parpol pendukung atau hanya berorientasi politik, tidak akan ber-impact apa-apa terhadap percepatan dan perbaikan jalannya roda pemerintahan. Reshuffle harus didasari oleh pertimbangan rasionalisasi politik dengan menempatkan orang-orang yang kompeten dalam bidangnya dalam setiap pos kementrian yang ada, bukan atas dasar pertimbangan transaksional yang bercirikan asal comot yang penting dapat mengakomodasi kepentingan parpol pendukung. Reshuffle kabinet nampaknya saat ini sudah mendesak, jika dengan mempertimbangkan kinerja para menteri di Kabinet Kerja saat ini banyak yang tidak sesuai dengan harapan publik.
Wallahu a’lam bisshawab