Entah kebetulan ataupun tidak, ternyata angka 7 juga menjadi ritual sekaligus angka yang telah ditentukan oleh Tuhan. Lihat saja misalnya, dalam kitab suci AlQuran, Tuhan menciptakan 7 lapis langit, surat Al-Fatihah yang menjadi dasar paling utama dalam ajaran Islam terdiri dari 7 ayat, Thawaf dalam ibadah haji juga dilakukan dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 putaran atau pelaksaan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah dilakukan 7 kali, dan mungkin masih banyak hal-hal yang dilakukan dengan jumlah 7 kali dalam ritual agama Islam. Dalam tradisi Jawa, banyak sekali perumpamaan-perumpamaan atau ritual-ritual yang dilakukan dengan mengambil kepada makna angka 7 yang diyakini lebih sakral dibanding angka-angka lainnya.
Inilah yang menjadikan Islam di Indonesia cukup unik dan berbeda dengan umat Islam lainnya di negara-negara manapun. Ada sekelompok umat Islam di tanah air yang sangat akomodatif terhadap kearifan budaya lokal, yaitu mereka yang memiliki afiliasi dengan kelompok Nahdlatul Ulama (NU). NU diyakini sebagai kelompok terbesar umat Islam di Indonesia yang setia menjaga dan memodifikasi setiap kegiatan ritual yang berasal dari budaya lokal. Sehingga wajar, ketika para peneliti Islam Indonesia menyematkan istilah Islam Tradisional kepada kelompok NU karena mampu menjaga dan mewarisi tradisi lokal yang disesuaikan dengan ajaran Islam.
NU bahkan belakangan ini lebih tegas dengan memberikan label “Islam Nusantara” terhadap ajaran Islam yang berkembang di Indonesia yang membedakan dengan sejarah dan tradisi Islam awal yang berkembang di wilayah Timur Tengah. Konsep Islam Nusantara senantiasa digaungkan NU sebagai bentuk akomodatif terhadap beragam kearifan lokal yang bersifat baik dan memiliki manfaat serta tidak bertentangan secara langsung dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Saya kira, tradisi Kupatan yang dibangun dan dijalankan secara turun-temurun dalam kultur masyarakat Jawa merupakan tradisi yang baik yang dapat memperkokoh nilai-nilai luhur kebangsaan dan kenegaraan. Bagaimana tidak, persatuan dan kesatuan bangsa justru akan lebih kuat jika melebur dalam suatu tradisi silaturrahim yang dipraktekkan secara terus menerus, seperti halnya tradisi Kupatan. Tradisi yang menjadi “lebaran kedua” dalam masyarakat Jawa ini sama sekali tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ajaran pokok agama Islam yang memerintahkan untuk bersilaturrahim dan saling memaafkan justru abadi dalam tradisi Kupatan tersebut.
Sulit dibayangkan ketika tradisi ini justru tercerabut dari akarnya, mungkin kegiatan silaturrahim dan saling memaafkan tidak akan pernah kita temui lagi. Islam mengajarkan untuk saling memperkuat antarunsur individu, kelompok dan masyarakat di dalamnya dalam sebuah bingkai berbangsa dan bernegara.
Negara ini akan kuat jika didukung oleh sinergi antarelemen masyarakatnya dan ini harus didukung oleh budaya saling menghargai dan menghormati satu dengan lainnya. Penghormatan dan penghargaan terhadap tradisi-lah salah satunya cara dalam membangun keutuhan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H