Semakin dekat dengan perhelatan Pilkada 2017, semakin terlihat tidak jelas sebenarnya siapa pendukung pejawat (incumbent) cagub DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Sejak dari awal, Ahok memperlihatkan kegamangannya antara tetap di jalur independen atau mengikuti mekanisme parpol. Dua parpol pendukung, Hanura dan Nasdem yang sejak awal memberikan dukungan kepada Ahok, sebenarnya telah diingkari oleh Ahok sendiri, karena dia tetap maju melalui jalur independen. Terlebih ketika Golkar menyatakan dukungan kepada Ahok, tampak lebih jelas mantan Bupati Belitung Timur ini memperlihatkan keraguannya apakah ikut mekanisme parpol dalam proses pencalonannya atau tetap setia di jalur independen. Di satu sisi, Ahok nampaknya tidak tega meninggalkan Teman Ahok yang sudah berjibaku mendukung pencalonannya dengan sukses mengumpulkan 1 juta KTP sebagai prasyarat pencalonannya di jalur perseorangan, tetapi di sisi lain, Golkar merupakan godaan politik bagi Ahok karena akan memuluskannya memenangkan Pilkada nanti.
Sejak dahulu, Ahok memang selalu gamang dalam berpolitik. Kita bisa melihat dulu bagaimana Ahok keluar dari Gerindra dengan alasan tak mau diatur partai karena lebih nyaman sendiri. Dulu dengan Golkarpun kurang lebih sama, Ahok lebih nyaman sendiri, padahal dua parpol ini merupakan kendaraan politik bagi Ahok dalam meraih kekuasaan politiknya, baik sebagai anggota legislatif dan wakil gubernur DKI Jakarta. Kesendirian Ahok yang sudah sekian lama, kini mulai terganggu dengan kehadiran tiga parpol yang menyatakan mendukung pencalonannya pada Pilkada 2017 nanti. Politik memang seni kemungkinan dan tentu saja bersifat dinamis, tetapi dinamisasi politik tidak diiringi oleh kondisi ambigu politik yang memperlihatkan tidak jelasnya dukungan. Apakah didukung lewat parpol ataukah jalur perseorangan? Keduanya merupakan fenomena politik yang sangat bertolak belakang, karena sangat berpengaruh terhadap mekanisme kampanye nantinya.
Dengan menggunakan jalur perseorangan, seorang calon sengaja menghindari menggunakan jalur parpol yang cenderung bernuansa transaksional dan dengan biaya politik yang sangat besar. Penggunaan jalur independen dianggap paling aman dan cenderung lebih murah dalam hal biaya politik karena tidak banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Lagipula, ketika calon dapat menang melalui jalur independen, dia akan lebih leluasa mengatur pola kekuatan politiknya secara penuh tanpa harus memikirkan pos-pos kekuasaan bagi parpol pendukung.
Namun demikian, Ahok kelihatannya mulai mengingkari janjinya sendiri untuk tetap berada di jalur independen. Ketidaknyamanan Ahok dengan para politisi yang berasal dari parpol di DPRD justru sekarang berubah terbalik, Ahok memperlihatkan kemesraan dengan beberapa parpol pendukungnya. Dalam beberapa hal, konsistensi Ahok memang perlu dipertanyakan.
Memang, sudah menjadi kebiasaan bahwa politisi itu seringkali mengingkari janjinya. Tidak ada satupun politisi yang jujur ketika berada di jalur kekuasaan. Godaan politik untuk mendapatkan kekuasaan akan lebih mudah mengalahkan kejujuran dan konsistensi seseorang. Ini sudah menjadi rumus politik kekuasaan, bahwa bagaimanapun, “power is tend to corrupt” demikian Lord Acton memotret secara tepat, makhluk seperti apa yang disebut politisi itu. Dengan demikian, Ahok saat ini lebih menunjukkan seorang politisi murni, ketika semakin memperlihatkan kemesraan dengan parpol yang mendukungnya, bukan memberikan apresiasi kepada Teman Ahok sebagai masyarakat pendukungnya yang setia agar Ahok tetap konsisten di jalur independen. Ketika ambiguitas Ahok semakin terlihat sekarang, lalu siapakah sebenarnya pendukungnya? Parpol?atau masyarakat independen?
Alangkah susahnya ketika kemudia Ahok memilih dua-duanya sebagai jalur politik dalam memenangkan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta nanti. Justru ketika kegamangan ini tidak diiringi oleh pijakan yang jelas mengenai basis pendukung sebenarnya, justru Ahok akan semakin kesulitan mengarahkan para pendukungnya saat Pilgub nanti. Apalagi ketika parpol memiliki aturan-aturan tersendiri mengenai mekanisme kampanye, penggalangan massa dan aturan pengelolaan dana kampanye yang tidak serumit jalur perseorangan.
Penerimaan terhadap dukungan parpol pasca Golkar mendukung Ahok di Pilkada DKI, semakin mengacaukan konsistensi jalur politik yang dipergunakan Ahok. Pada akhirnya yang terlihat adalah Ahok dan Teman Ahok sama-sama sepakat mengusung kandidat melalui jalur parpol bukan jalur independen dengan catatan parpol harus secara resmi memberikan surat dukungan agar parpol tidak mengubah dukungannya pada saat pelaksanaan Pilgub nanti.
Sikap politik Ahok jelas tidak konsisten, sama seperti ketika dia menyatakan keluar dari Golkar dan Gerindra. Inkonsistensi Ahok dalam berpolitik justru bisa merugikan dirinya sendiri, karena bagaimanapun, Ahok pada akhirnya membutuhkan parpol sebagai kendaraan politik. Padahal parpol dianggap oleh Ahok sebagai seteru ketika Ahok berhadapan dengan para politisi di DPRD yang berasal dari parpol. Pada sisi lain, Teman Ahok yang telah bersemangat, berjibaku dalam banyak hal untuk mendukung Ahok di jalur independen saat ini telah tergeser oleh ambisi kekuasaan yang ditawarkan oleh parpol.
Pada akhirnya, dukungan satu juta KTP yang digalang dengan energi yang tidak sedikit oleh Teman Ahok tidak ada artinya karena Ahok tidak konsisten dengan pencalonannya melalui jalur independen. Ternyata godaan politik lebih besar daripada soal kejujuran, konsistensi apalagi idealitas politik yang diusung seseorang. Semua itu akan dikalahkan pada waktunya. Politik hanya sebatas perebutan kekuasaan, bukan pembangunan masyarakat ke arah lebih baik.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H