Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Akibat Razia Warteg, Pembatalan Ribuan Perda Bermasalah Dipertanyakan

17 Juni 2016   10:00 Diperbarui: 17 Juni 2016   10:59 1519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buntut dari kasus razia warteg yang terjadi di Serang sungguh luar biasa dampaknya. Tidak hanya menjadi persoalan kritik masyarakat pada tingkat lokal, namun melihat kepada razia warteg akibat pelaksanaan dari sebuah perda menjadi isu nasional perlunya pemerintah transparan terhadap perda-perda mana saja yang dibatalkan dan apa alasan pembatalan yang sesungguhnya. Pemerintah sebelumnya menyatakan bahwa terdapat 3.143 perda bermasalah yang sudah dicabut. Ribuan perda yang diinformasikan telah dicabut oleh pemerintah nampaknya belum secara transparan diumumkan ke publik mengenai perda mana saja yang terkena dampak pemberedelan. Transparansi mengenai perda yang telah dibatalkan menjadi hal penting agar publik lebih memahami alasan perda-perda itu dianggap bermasalah oleh pemerintah.

Pemerintah sebelumnya beranggapan bahwa banyak perda yang secara hukum bertentangan dengan regulasi yang digulirkan pemerintah pusat atau aturan yang berada di atasnya. Oleh karena itu, karena sifatnya yang bertentangan dengan regulasi di atasnya, perda-perda ini perlu dibatalkan dengan alasan keseragaman aturan yang dapat saling mendukung, bukan saling tumpang tindih dan bertentangan. Padahal di lain sisi, Presiden Jokowi malah menyatakan bahwa pencabutan perda dilakukan untuk membangun bangsa yang lebih toleran dan menghormati kemajemukan. Bahkan Sekretaris Presiden, Pramono Anung, lebih spesifik lagi mengemukakan bahwa ada sejumlah perda yang terkesan intoleran yang juga ikut dibatalkan. Saya kira, masih terdapat kesimpangsiuran mengenai pencabutan perda oleh pemerintah, terlebih mengenai maksud dari “perda bermasalah” dalam versi pemerintah.

Jika melihat kepada semangat awal mengenai pembatalan perda-perda bermasalah, pemerintah pusat lebih cenderung mengedepankan persoalan tumpang tindihnya aturan perda dengan regulasi pemerintah pusat sehingga dapat menggangu iklim investasi secara umum. Pembatalan perda bermasalah didasarkan pada ketidakcocokan atau saling bertentangan antara perda dan peraturan pemerintah, bukan karena persoalan lain. 

Tetapi, kali ini nampaknya lebih luas, perda yang dianggap intoleran atau tidak menghormati kemajemukan juga masuk kategori yang harus dibatalkan. Alasan pemerintah seperti ini, justru inkonsisten dengan semangat awal pemberangusan perda bermasalah karena sangat tendensius ketika menyinggung persoalan bahwa perda di suatu daerah bermasalah karena melanggar kemajemukan atau intoleran secara umum. Jika perda itu memuat kearifan lokal dan tidak bermasalah di daerah dalam hal pelaksanaannya, seharusnya tidak dilihat secara nasional sebagai bentuk intoleran karena muatan lokal setiap daerah tentang toleransi memiliki khas sendiri-sendiri tidak selalu sama. Ini akan menjadi kesulitan tersendiri pemerintah pada akhirnya ketika yang dimaksud “bermasalah” juga masuk dalam kategori intoleran dan melanggar kemajemukan masyarakat.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, banyak hal positif yang dapat dilakukan untuk kemajuan daerahnya masing-masing, tanpa harus diatur melulu sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Daerah kemudian leluasa membuat aturan-aturan yang bernuansa khas daerahnya dengan lebih mengedepankan kearifan lokal daerah setempat. Banyak sekali perda yang memiliki muatan kearifan lokal, seperti yang diberlakukan di Bali, Minahasa, Serang atau NAD. Lalu apakah kearifan lokal itu tidak mencerminkan kemajemukan ehingga harus dibatalkan? Saya kira banyak perda yang baik yang mengangkat kearifan lokal dan sudah dijalankan selama bertahun-tahun oleh masyarakat adat di sana sehingga tidak mungkin jika kearifan lokal dianggap intoleran atau tidak majemuk oleh pemerintah.

Di sinilah kiranya, pemerintah perlu transparan ke publik mengenai alasan-alasan sebuah perda harus dibatalkan dan apa yang mendasari pemerintah dalam hal pembatalan perda tersebut. Hal ini sangat penting mengingat masyarakat tidak memiliki pemahaman yang sama, simpang-siur dan pada akhirnya muncul asumsi-asumsi terhadap banyak hal terhadap penafsiran lain mengenai perda-perda yang telah dibatalkan pemerintah. Saat ini saja, efek razia warteg yang terjadi di Serang telah banyak menimbulkan asumsi dan kecurigaan dalam masyarakat mengenai perda-perda yang bernuansa religiusitas dan moralitas justru yang akan disasar pemerintah agar dicabut karena meresahkan sebagian masyarakat dan tidak menunjukkan kemajemukan. Persepsi publik yang seperti ini sangat bahaya karena memicu pertentangan SARA jika nanti memang yang disasar pemerintah justru perda-perda yang lebih mengedepankan agama dan moralitas.

Saya kira pemerintah sepatutnya mempercepat transparansi ke publik soal perda-perda yang berjumlah ribuan yang telah dibatalkan tersebut. Karena perda-perda yang telah dibatalkan pemerintah secara otomatis tidak bisa dihidupkan kembali sekalipun diganti dengan nama lain regulasinya oleh pemerintahan daerah. Oleh karena itu, pemerintah harus teliti betul dalam menilai bahwa sebuah perda itu bermasalah karena memang tidak sesuai dengan regulasi di atasnya atau bertentangan dengan kepentingan umum atau melanggar norma kesusilaan masyarakat. Jangan sampai yang terjadi adalah pemerintah berasumsi dengan “sudut pandang Jakarta” bukan sudut pandang daerah secara umum. Kekurangtelitian dalam memilah dan salah mencabut perda akan berakibat terjadinya pergesekan dalam masyarakat di daerah yang belum siap ketika aturan tersebut dicabut, sehingga justru menimbulkan permasalahan sosial yang baru.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun