Ketika mendengar istilah “jihad” banyak asosiasi kita tertuju pada konotasi fisik yang berarti perang. Seringkali orang-orang malah trauma mendengar istilah ini dan dihubungkan dengan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan sekelompok orang dengan ideologi garis keras. Padahal, makna jihad yang sesungguhnya dalam Islam, tidaklah berkonotasi fisik atau peperangan, jihad dipahami sebagai upaya sungguh-sungguh seseorang dalam menjalani hidup. Misalkan, belajar sungguh-sungguh adalah jihad, menolak segala keburukan dengan kuat adalah jihad, yang paling hebat adalah puasa, dimana orang yang berpuasa sedang berjihad melawan hawa nafsunya sendiri. Jihad yang dikaitkan dengan perang merupakan opsi yang lain dalam rangkaian sejarah Islam, perang dalam arti fisik akan dilakukan ketika memang dalam kondisi diserang dan mempertahankan diri.
Pernah ketika Nabi Muhammad kembali dari sebuah peperangan, beliau berkata, “Kita telah kembali dari jihad kecil ke jihad besar”. Dalam hal ini, “jihad besar” memiliki penekanan arti spiritual yang penting sebagai perang melawan kecenderungan yang menjauhkan manusia dari Tuhan dan anugerah-Nya. Sebagaimana disebut dalam sejarah, kata-kata Nabi ini diungkapkan ketika bulan Ramadhan disaat seluruh umat Muslim berpuasa tetapi pada waktu itu umat Muslim selesai melakukan Perang Badar. Perang Badar dianggap oleh Nabi sebagai sebuah jihad kecil, dan melanjutkan puasa dianggap sebagai jihad yang paling besar. Dengan demikian, arti sesungguhnya dari sebuah jihad tidaklah selalu berarti fisik, bahkan kehebatan jihad terletak pada upaya sungguh-sungguh seseorang kepada hal-hal yang positif sehingga akan memberikan manfaat kepada diri dan sekitarnya. “Melawan hawa nafsu” adalah kondisi spiritual seseorang yang menempel dalam dirinya bersamaan melalui penghayatannya yang tinggi terhadap puasa yang dilakukan.
Dengan demikian, puasa sejatinya bukanlah menahan lapar dan haus atau menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan seksual di siang hari, tetapi menahan dari keseluruhan yang dapat merusak sendi-sendi hidup kemanusiaannya. Manusia adalah makhluk hidup yang kecenderungan hawa nafsunya sangat besar, selalu merasa kurang dan tidak pernah merasa cukup. Berapa banyak keserakahan manusia yang berawal dari kecenderungan hawa nafsu yang sedemikian besar, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan atau korupsi. Inilah kenapa, kemudian hawa nafsu cenderung kepada hal-hal yang negatif sehingga penanganan atau pencegahannya tidaklah mungkin dilalui dengan hal-hal yang kecil, tetapi membutuhkan sesuatu yang besar dan kuat agar hawa nafsu dan keserakahan manusia dapat diarahkan ke bentuk positif. Oleh karena itu, puasa dianggap sebagai “jihad besar” yang cukup efektif dalam upaya menekan dan mengendalikan hawa nafsu manusia yang memang liar.
Jika jihad yang kecil saja sudah dimaknai dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, maka puasa juga sama harus dimaknai lebih dari sekedar kesungguhan dan harus diaktualisasikan sepenuh hati. Konsep “jihad besar” yang disebutkan oleh Nabi Muhammad saw merupakan sindirian sekaligus ajakan kepada seluruh umatnya agar dapat mengendalikan hawa nafsunya. Kita mungkin bisa membayangkan, betapa hawa nafsu seseorang ketika dalam peperangan akan sulit terkontrol, liar dan bahkan seluruh yang dilakukan pada saat perang adalah hawa nafsu yang bermain bukan nalar atau logika. Kondisi peperangan yang dianggap sangat sulit dalam mengelola hawa nafsu, hanya dianggap hal kecil oleh Nabi saw, bukan apa-apa, yang paling besar justru adalah puasa yang pada waktu itu sedang dilaksanakan. Memang, berpuasa dalam rangka “jihad besar” berperang melawan hawa nafsu tidaklah mudah, tidak semua orang mampu melakukannya.
Jihad besar atau jihadul akbar yang digaungkan oleh Nabi Muhammad pada tahap tertentu melahirkan sikap yang siap berjuang dan siap sedia dalam melakukan segala peperangan dalam arti spiritual, yaitu melawan kecenderungan jahat dari hawa nafsu manusia. Sikap ini berhasil ditanamkan Nabi kepada para sahabat dan kaum muslim generasi awal. Sehingga banyak dalam perjalanan sejarah Islam bahwa para sahabat dalam banyak memutuskan hal-hal yang bersifat sosial-kemasyarakatan, berhasil menghilangkan kecenderungan yang dibawa oleh nafsunya sendiri, tetapi lebih berada pada penguasaan oleh akal yang bersumber dari pertimbangan al-Quran dan sunnah Nabi.
Jika seluruh umat Muslim mampu menyelami lebih dalam makna berpuasa sebagai “jihad besar” maka pasti akan melahirkan keharmonisan hidup, baik manusia dengan alam atau manusia dengan manusia lainnya. Hawa nafsu yang ada dalam jiwa manusia merupakan kecenderungan untuk merusak keharmonisan atau keseimbangan alam. Ketika hawa nafsu itu tidak ditekan atau tidak dikendalikan maka berapa banyak kerusakan yang akan timbul di muka bumi ini dan mungkin hari ini telah terbukti bahwa banyak kerusakan alam yang terjadi ditengah kita akibat hawa nafsu yang tak terkendali.
Kerusakan alam tidak hanya sesuatu diluar kita, tetapi berkait pula dengan diri kita dan kerusakan terhadap manusia lain dan lingkungannya. Salah satu contoh terhebat dalam liarnya hawa nafsu yang tanpa kontrol adalah korupsi. Korupsi yang selama ini dilakukan justru bukan oleh orang-orang miskin yang membutuhkan, tetapi oleh orang-orang kaya yang memiliki setumpuk jabatan, kekuasaan dan kehormatan. Mereka tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya sendiri sehingga merusak keadaan diri dan sekelilingnya. Maka, jadikanlah puasa kali ini sebagai bentuk “jihad besar” berperang melawan hawa nafsu yang akan merusak dan menjatuhkan citra kemanusiaan kita.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H