Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pancasila Masihkah Menjadi “Core Values” Berbangsa dan Benegara?

1 Juni 2016   06:20 Diperbarui: 1 Juni 2016   09:09 1483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bangsa Indonesia tentu tidak akan pernah lupa tentang apa itu Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai dasar Negara Republik Indonesia yang digali dari nilai-nilai luhur budaya dan kepercayaan masyarakat Indonesia. Adalah para founding fathers Indonesia, diantaranya Soekarno dan M Yamin yang pada tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan idenya pertama kali dihadapan peserta Sidang BPUPKI waktu itu tentang perumusan dasar-dasar negara. Perumusan mengenai dasar-dasar negara Indonesia yang tertuang dalam Pancasila merupakan sebuah proses panjang dalam upaya penyatuan keanekaragaman budaya, agama, kepentingan dan bahkan primordialitas sehingga nilai-nilai kebangsaan dan ke-Indonesiaan akhirnya disepakati dalam lima sila yang menjadi dasar negara bagi Republik Indonesia. Pancasila dengan demikian, adalah core values bangsa ini yang digali dari dasar perut Bumi Ibu Pertiwi. Nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila semestinya merupakan cerminan dari sikap dan prilaku masyarakat Indonesia dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Sebagai sebuah core values, Pancasila semestinya menjadi landasan bertindak setiap insan, terutama dalam proses berbangsa dan bernegara yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Lima sila yang tertuang dalam dasar negara dapat kita apresiasi lebih jauh. Pada butir Ketuhanan Yang Maha Esa, yang ditempatkan sebagai sila pertama, merupakan inti dari semua sila yang ada setelahnya. Ketuhanan merupakan pijakan awal dalam memaknai seluruh kehidupan manusia. Tuhan adalah Sang Pencipta, karena kekuasaan Tuhan-lah kita ini lahir di bumi pertiwi ini, sehingga Tuhan sudah semestinya dijadikan sandaran hidup manusia. Setiap prilaku apapun ketika disandarkan kepada Tuhan maka sudah pasti akan memiliki nilai-nilai kebaikan, tetapi justru akan bernilai lain pada saat prilaku kita tidak mengikutsertakan Tuhan didalamnya.

Nilai penting kedua setelah ketuhanan adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Prinsip yang terkandung pada nilai kedua ini adalah cerminan bagaima semestinya setiap pribadi  selalu mengedepankan sisi kemanusiaan (humanisme), keadilan dan moralitas. Prinsip-prinsip yang tercermin dari kemanusiaan, keadilan dan moralitas akan melahirkan kebaikan bersama bagi seluruh elemen bangsa ini. Jika seluruh prinsip kebangsaan dan keindonesiaan dilandasi dengan kebaikan bersama, maka sudah pasti kemajuan-kemajuan dalam banyak hal akan dicapai oleh bangsa ini karena yang lebih dikedepankan adalah kepentingan bersama, bukan kepentingan kelompok apalagi individu. Menciptakan kepentingan bersama tidaklah sulit, ketika bangsa ini menyadari apa yang tertanam dalam setiap butir yang ada pada dasar negaranya.

Butir lain dari Pancasila setelah dua prinsip diatas adalah Persatuan Indonesia. Sudah menjadi kodrat-nya bahwa Indonesia memiliki beragam agama, budaya, adat-istiadat yang bisa saja saling berbenturan satu sama lain. Bahkan Indonesia terpisah oleh banyak pulau yang saling berjauhan sehingga seharusnya sulit menciptakan persatuan. Tetapi komitmen dari para pendiri bangsa ini sangat kuat, yaitu tetap menjaga nilai-nilai persatuan meskipun berbeda-beda latar belakangnya. Persatuan yang terus menguat antar elemen bangsa akan semakin memudarkan sentimen-sentiman individual dan primordial sehingga akan lebih mudah menuju sebuah bangsa dalam balutan kekuatan.

Butir keempat dari Pancasila adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sejak awal, kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari perjuangan rakyat. Oleh karenanya, prinsip demokrasi paling orisinil dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat merupakan fondasi terpenting dalam bangunan bangsa dan negara Indonesia. Rakyatlah sebenarnya yang memimpin bukan segelintir elite. Elite yang ada dalam poros-poros kekuasaan hanyalah perwakilan rakyat. Para elite seharusnya jadi teladan rakyat dengan cara hikmah (kebaikan) dan dalam memutuskan permasalahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak haruslah dengan musyawarah dan bijaksana.

Dari seluruh empat sila yang dimaksudkan semua bertujuan untuk keadilan seluruh bangsa Indonesia sebagaimana disebut dalam butir terakhir dari Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan semestinya tidak hanya sekedar harapan, sejak bangsa ini merdeka dari cengkraman kolonialisme berabad-abad lamanya. Keadilan seharusnya sudah menjadi ciri khas dalam melaksanakan setiap kegiatan kebangsaan dan kenegaraan. Prinsip-prinsip keadilan yang dibangun bukanlah keadilan sepihak, keadilan bagi yang punya kekuasaan, keadilan hanya bagi mereka yang “the have” tetapi keadilan harus ditegakkan dan dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Jika keadilan yang terjadi kemudian hanya dirasakan oleh beberapa pihak, berarti keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia belum sepenuhnya terwujud dan itu jelas melanggar Pancasila.

Saat ini banyak ajakan para tokoh nasional untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945. Apakah sedemikian besar pelanggaran bangsa ini terhadap Pancasila?terhadap UUD 1945? Tapi mungkin ada benarnya juga, Pancasila seringkali hanya menjadi bahan lelucon segelintir orang di saat acara-acara santai. Di acara-acara resmi pemerintahan, Pancasila hanya dibacakan untuk mengingatkan peserta acara agar tidak lupa apa itu Pancasila. Tapi yang jelas, banyak anak-anak muda saat ini yang tidak kenal apa itu Pancasila, jangankan hafal isi sila-silanya kenal juga tidak. Pancasila saat ini hanya sekedar simbol, bukan nilai-nilai kebaikan yang harus diteladani. Lalu bagaimana dengan ajakan kembali ke UUD 1945? Apakah bangsa ini sudah banyak melanggar hukum? Mungkin UUD 1945 saat ini hanya dijadikan alasan pembenaran saja terhadap penegakan aturan atau regulasi. UUD 1945 pada akhirnya hanya menjadi sumber seluruh landasan hukum dan regulasi tanpa dijalankan sepenuhnya. Regulasi atau butir hukum yang dijalankan adalah hukum turunannya bukan UUD 1945 itu sendiri. Apakah ada butir-butir UUD 1945 yang dilanggar? Itu merupakan tugas para pakar hukum yang mampu menjelaskannya. Jadi saya selalu sepakat, kita tidak hanya kembali ke Pancasila saja tetapi kembali meneguhkan Pancasila sebagai sikap hidup yang patut diteladani dan UUD 1945 adalah sandaran kebangsaan dan kenegaraan kita.

Selamat Hari Lahir Pancasila!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun