Baru-baru ini, publik mulai ramai menyoal kunjungan kerja (kunker) anggota DPR pada masa reses 2014/2015 yang ditengarai banyak dilakukan secara fiktif. Adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang pertama kali mengendus adanya potensi kerugian negara akibat kunker fiktif ini dengan jumlah potensi kerugian negara hampir mencapai satu triliun rupiah.
Meskipun audit yang dilakukan BPK ini masih belum final karena masih banyaknya laporan kunker anggota DPR yang belum diterima sekretariat DPR, tentu saja audit BPK ini tidaklah “ngaco” sebagaimana yang pernah dituduhkan kepada lembaga auditor negara ini ketika melakukan audit dalam hal pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta.
Padahal, proses audit yang dilakukan BPK sama seperti ketika BPK melakukan audit pada kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. Proses keduanya didahului dengan menyebut angka kerugian negara dan BPK telah melakukan audit secara menyeluruh baik terhadap proses pembelian lahan RS Sumber Waras maupun kegiatan kunker anggota DPR. Meskipun kenyataannya, BPK menyebutkan, meskipun diduga ada kunker fiktif, BPK masih harus mengumpulkan bukti-bukti tambahan yang berasal dari laporan real kunker setiap anggota DPR sehingga total kerugian negara dapat dihitung kembali besarannya.
DPR seringkali dianggap sebagai lembaga “paling seksi” dalam persepsi publik soal korupsi. Pada 2015 lalu, salah satu lembaga survey di Indonesia, Populi Center merilis hasil survey-nya bahwa lembaga tinggi negara ini disebut sebagai lembaga “terkorup” diantara lembaga-lembaga negara lainnya di Indonesia. Menurut peneliti Populi Center, Fachry Ali, sebanyak 39,7 persen responden yang mengikuti survey menyatakan bahwa DPR merupakan lembaga negara terkorup, disusul kemudian oleh institusi Kepolisian RI pada angka 14,2 persen.
Mungkin bisa saja ketika survey itu kembali dilakukan saat ini, DPR masih dipersepsikan publik sebagai lembaga terkorup mengingat banyak celah yang dapat dimanfaatkan para anggotanya secara transaksional, baik dalam hal pembuatan regulasi, pengawasan terhadap kinerja lembaga lain apalagi kebijakan mengenai anggaran. Hal ini terbukti oleh banyaknya kasus yang diungkap KPK mengenai korupsi yang dilakukan oleh oknum wakil rakyat.
Persepsi publik mengenai lembaga tinggi negara yang dihuni oleh 560 orang wakil rakyat ini cenderung selalu negatif akibat prilaku para oknum wakil rakyat yang justru tidak pro-rakyat, kurang berintegritas dan mudah membuat kebijakan-kebijakan hasil kesepakatan secara “transaksional”. Fungsi DPR sebagai pengawasan, legislasi dan anggaran-pun seringkali mandul akibat banyaknya kepentingan politik transaksional yang bermain didalamnya.
Akibat fungsi yang tidak berjalan semestinya ditambah dengan banyaknya kebijakan yang sifatnya transaksional, DPR pada akhirnya seringkali jatuh dalam prasangka sebagian orang sebagai lembaga yang paling mudah terindikasi kolusi, korupsi dan nepotisme. Lihat saja bagaimana para oknum wakil rakyat yang bermain-main dalam berbagai proyek pembangunan sangat mudah terjerumus secara transaksional antara mereka yang di DPR, pemerintah dan pengusaha.
Para pemain proyek ini seakan menjadi “setali tiga uang” dalam berbagai pelaksanaan proyek yang dibiayai anggarannya oleh negara. Belakangan ini beberapa oknum wakil rakyat yang membidangi pembangunan infrastruktur masih diproses secara hukum oleh KPK akibat tertangkap tangan melakukan korupsi.
DPR memang memiliki anggaran internal sendiri yang dialokasikan oleh negara dalam rangka mendukung berbagai kegiatan dan pekerjaan yang berhubungan dengan tugas dan wewenang para anggotanya. Sumber dananya sudah pasti sangat besar sehingga cukup bagi banyak orang didalamnya ikut tergiur untuk bisa berpartisipasi dalam mengurus dan mengelola sumber-sumber dana tersebut. Sehingga wajar ketika anggaran yang begitu besar, para wakil rakyat tentunya diberikan banyak previlege oleh negara. Previlage para wakil rakyat sangat mungkin berbeda jauh dengan previlage pejabat-pejabat publik lainnya, baik yang ada dalam kementrian atau lembaga-lembaga negara lain.
Banyaknya previlege yang diperoleh anggota DPR seringkali disalahgunakan oleh para anggotanya sehingga acapkali memunculkan kecurigaan publik terhadap keseriusan para wakil rakyat ini dalam mengemban amanah yang dipercayakan oleh rakyat kepada mereka. Alih-alih menjadi pendukung, pelayan dan penyambung lidah rakyat, para wakil rakyat malah terlalu nyaman dengan previlage yang selama ini mereka dapatkan, sehingga banyak yang lupa terhadap rakyat yang memilihnya.
Padahal, sebagai lembaga negara yang memiliki banyak previlege, para wakil rakyat semestinya memiliki tanggung jawab paling besar diantara para pejabat publik lainnya, baik dalam hal kinerja, tugas atau integritas para anggota-anggotanya. Hal yang cukup aneh ketika kemudian hasil audit BPK mengenai adanya potensi kerugian negara hanya diakibatkan karena belum lengkapnya laporan kunker anggota DPR yang belum sepenuhnya diterima Setjen DPR.