Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Merinding Sampai Kata “Awas!”

13 Mei 2016   11:10 Diperbarui: 13 Mei 2016   11:26 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul ini terinspirasi dari sebuah artikel yang ditulis mantan presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tulisan Gus Dur dengan judul diatas berkait dengan persoalan jihad yang dibenturkan dengan ketidaksukaan kelompok tertentu yang “radikal” terhadap konsep berbangsa dan bernegara di Indonesia. Persepsi kebanyakan orang mengenai “jihad” ketika dihadapkan pada konteks berbangsa dan bernegara yang berasaskan Pancasila seakan memiliki konotasi negatif, yaitu perbuatan “makar” dimana sekelompok orang tertentu ingin berjihad untuk menegakkan asas agama menggantikan ideologi Pancasila. Sehingga mendengar kata “jihad” banyak orang yang merinding, seakan-akan yang dimaksud adalah akan terjadi “pemberontakan” atau aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok radikal yang berhaluan garis keras.

Saya mengambil judul ini untuk melihat fenomena sosial yang saat ini mulai menggejala dalam masyarakat di Indonesia, yaitu munculnya simbol-simbol komunisme yang ditengarai mulai marak belakangan ini. Simbol komunisme yang muncul berupa gambar “palu-arit” yang dulu dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia telah membuat sebagian orang merinding karena sisi lain dari memorial kita akan langsung terbayang pada “sejarah gelap” perjalanan Partai Komunis Indonesia (PKI).

 PKI yang sejak zaman Orde Baru dianggap sebagai kekuatan politik yang terlarang, bahkan hampir semua atribut, keterkaitan, kedekatan, apalagi yang berhubungan dengan segala hal yang berbau komunisme diberangus habis tak tersisakan. PKI oleh rezim Orde Baru dianggap sebagai bentuk radikalisme yang mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara, sehingga segala bentuk yang memiliki hubungan dengan komunisme dicap sebagai bentuk “makar” dan harus diberantas, tanpa perlu diadili.

Tentu kita akan merinding, ketika membaca sejarah-sejarah pemberontakan PKI yang bertujuan untuk merongrong kekuasaan negara. Partai yang dibentuk pada 1924 ini merupakan perpanjangan tangan dari Indische Social Democratiche Vereniging (ISDV) yang dimotori oleh Partai Komunis Belanda (CPN).

 Memang, pada awalnya PKI merupakan alat politik untuk mencapai kekuasaan. Dengan beranggotakan para petani dan buruh, partai ini tumbuh semakin besar melalui ideologi sosialisme-komunis yang cukup ampuh melawan kesewenang-wenangan penindasan dan penjajahan, baik yang dilakukan oleh Belanda maupun pemerintahan yang sah saat itu. Namun dalam perjalanannya, banyak “penyelewengan” yang terjadi sehingga yang tampak oleh kebanyakan kita adalah “sejarah kelam” PKI yang melakukan pemberontakan demi pemberontakan sehingga PKI tidak hanya berhadapan dengan kesewenang-wenangan penjajahan atau kekuasaan tetapi berhadapan langsung dengan rakyatnya sendiri.

 Saya yakin, masih terdapat phobia masyarakat terhadap paham komunisme ini, karena sejarah pemberontakan dan pembantaian yang dilakukan oleh PKI bukanlah sekedar isapan jempol belaka, tetapi faktanya memang ada. Inilah yang kemudian membuat sebagian orang merinding mendengar atau melihat simbol-simbol PKI yang marak saat ini.

Membaca sejarah ideologi komunisme yang dibawa oleh PKI di Indonesia memang harus merujuk pada konsep Marxian mengenai cara pandang mereka terhadap agama. Indonesia merupakan cermin masyarakat agamis dengan seperangkat kepercayaan, norma dan nilai-nilai yang mengikat mereka secara sosial. Nah, cara pandang Marxian terhadap realitas sosial selalu dihubungkan dengan pola aktivitas ekonomi, apakah masyarakat tergolong pada pertanian, perdagangan, industri, kapitalisme atau sosialisme. 

Cara pandang seperti ini justru menihilisasikan keberagamaan masyarakat yang justru telah menjadi fakta sosial di Indonesia. Oleh karena itu, seringkali ideologi komunis berbenturan bahkan melawan langsung seperangkat keyakinan yang sudah dianut oleh masyarakat. Maka wajar, kemudian pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan PKI mengarah pada deagamanisasi karena agama oleh ideologi komunis dianggap “candu” bagi masyarakat yang mengakibatkan keterbelakangan dan tidak mampu melawan kesewenang-wenangan.

Ketakutan masyarakat terhadap munculnya kembali ideologi komunisme yang memberangus bahkan menihilisasikan agama membuat sebagian besar masyarakat kemudian mewanti-wanti, “awas, jangan coba-coba menghidupkan kembali komunisme, karena komunisme akan mengganti agama dengan ideologi yang mereka bawa. Kalau agama sudah tidak ada, maka hancurlah Pancasila, hancurlah Indonesia!”. Inilah yang menjadi sisi kelam sejarah komunisme yang dipopulerkan oleh PKI sendiri melalui serangkaian pemberontakan dan upaya pemberangusan terhadap agama yang ada di Indonesia.

Meskipun pada kenyataannya, kita juga yakin bahwa ideologi komunisme itu sudah tamat bahkan tidak laku ditengah era kapitalisme yang saat ini sedang menggejala diseluruh dunia. Bahkan seorang futurolog Jepang, Francis Fukuyama sudah lebih dulu menyimpulkan akhir sejarah dunia dengan matinya seluruh ideologi yang pernah ada dan digantikan oleh demokrasi liberal, demokrasi yang dibangun oleh liberalisme dan kapitalisme dunia Barat.

Lalu bagaimana dengan kondisi maraknya simbol-simbol komunisme saat ini? Saya berasumsi bahwa maraknya simbol-simbol komunisme belakangan ini belum sampai pada tahap kemunculan kembali ideologi komunis yang akan melahirkan “PKI-PKI” baru. Terlalu dini jika ada sebagian kalangan yang mengkaitkan kemunculan PKI dengan simbol “palu-arit” yang banyak menghiasi kaos-kaos oblong yang dijual di rak-rak toko pakaian di mall-mall atau distro tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun