Kebanyakan yang terjadi dari serentetan nazar politik yang ada hanya sebatas “kata-kata tanpa pelaksanaan” sehingga publik pun dapat mengukur kualitas dan kapasitas seorang pemimpin yang tidak melaksanakan nazarnya tersebut. Untuk sekadar melihat contoh saja, bahwa hampir setiap nazar politik tidak pernah dilaksanakan, seperti Nazar Anas Urbaningrum (menggantung diri di Monas), Nazar Amien Rais (Berjalan kaki dari Yogya-Jakarta), Nazar Habiburrokhman (Terjun dari Monas) dan Nazar Haji Lulung (Mengiris Kuping Sendiri).
Padahal, mereka adalah “pejuang-pejuang” politik yang diamanati rakyat. Mereka merupakan kelompok elit dalam masyarakat yang “terpilih” sebagai corong penyambung lidah dan kata-kata rakyat dalam rangka berjuang bersama rakyat. Oleh sebab itu, wajar jika kemudian WS Rendra membuat sebait syair yang menyebut “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. Kata-kata yang tidak dilaksanakan oleh seseorang berarti mengingkari perjuangan itu sendiri.
Tidak hanya itu, jika kita amati semakin banyak pemimpin-pemimpin kita yang berbahasa atau berbicara lebih mengutamakan ekspresi ketimbang refleksi. Refleksi berbahasa akan berpijak pada aktivitas perenungan dan berpikir yang dalam, berbeda dengan ekspresi yang cenderung berasal dari luapan emosi yang minim logika.
Asumsi saya, berbicara yang baik memang ditekankan dalam ajaran agama ataupun psikologi. Bahkan hal ini harus dibiasakan sejak kecil di mana para orang tua selalu membiasakan mengajarkan kata-kata yang indah dan benar kepada anak-anaknya, karena akan berpengaruh terhadap cara berpikir dan bertindak kepada si anak. Menurut pengamatan, bahwa anak yang terbiasa menerima cacian atau umpatan, kelak ketika besar dia akan terbiasa mencaci dan mengumpat. Mungkin saat ini, kita bisa menilai bahwa orang-orang yang senang mencaci dan mengumpat boleh jadi merupakan kebiasaan yang dialami sejak dia masih kecil.
Jadi, berbicaralah yang santun, berbahasalah yang baik karena polusi bahasa ancamannya jauh lebih berbahaya dari polusi udara. Ibarat udara yang memerlukan oksigen, bahasa pun demikian, membutuhkan muatan makna yang benar, baik dan indah. Jika ketiga sifat itu bertemu, tentu akan melahirkan wacana yang sehat dan tidak membosankan.
Dengan demikian, publik tentunya dapat menilai sejauh mana kualitas pemimpin kita dilihat dari pembicaraan dan bahasa-bahasa yang diungkapkan di depan publik. Memberikan penghargaan terlebih pembelaan kepada seseorang yang dari sisi bicara dan bahasanya tidak baik, maka berarti dia sama saja kualitasnya dengan seseorang tersebut.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H