Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Soal Reklamasi, Korupsi Sanusi dan Keterlibatan Ahok

4 April 2016   06:56 Diperbarui: 4 April 2016   07:08 5912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari belakangan ini media meyuguhkan berita soal penangkapan Mohamad Sanusi (MSN) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat kasus suap mengenai Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) yang berhubungan dengan proyek reklamasi wilayah pesisir Jakarta Utara oleh Pemprov DKI Jakarta. Kasus ini melibatkan perusahaan pengembang yang giat membuat pulau-pulau reklamasi, yaitu PT Agung Podomoro Land (APL) sebagai pihak “penyuap” terhadap MSN yang saat itu merupakan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta yang membidangi  pekerjaan umum dan tata ruang DKI Jakarta. MSN juga disebut sebagai bakal cagub DKI Jakarta yang sudah dipersiapkan Partai Gerindra untuk berlaga melawan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang.

Bukan jumlah nilai suapnya yang menjadi persoalan, bukan juga karena KPK melakukan penangkapan terhadap MSN melalui OTT, tetapi kasus ini paling tidak semakin membuka mata publik tentang kentalnya aroma korupsi dalam setiap konteks pembahasan regulasi-regulasi apapun yang melibatkan “penguasa-pengusaha”. Hubungan “penguasa-pengusaha” berarti pihak yang bermain tidak hanya antar legislator sebagai pihak yang menyetujui regulasi, tetapi juga para eksekutif, seperti gubernur yang juga bisa saja “memanfaatkan” dari  “pengusaha-pengusaha” yang sama-sama ingin mengambil keuntungan. Kasus tertangkapnya MSN melalui OTT oleh KPK jangan hanya dianggap sebagai beban kesalahan yang hanya dilakukan oleh MSN dengan menihilkan unsur lainnya karena proses dan hasil dari sebuah regulasi pasti melibatkan beragam kepentingan didalamnya.

Hubungan penguasa-pengusaha dalam adagium Jawa, mirip-mirip dengan istilah Adoh Watu Jedak Ratu, jika dilihat dari konsep politik kekuasaan, berarti jika kita berada dekat dengan pusat kekuasaan atau jika kita memiliki kedekatan dengan penguasa, maka kita akan banyak mendapatkan kemudahan-kemudahan. Mungkin  model seperti ini mirip dengan konsep “patronase” yang selama ini masih membudaya dalam praktek birokrasi dan politik di Indonesia. “Patron” sebagai pemberi perlindungan kepada “klien” sehingga klien harus memberikan imbalan-imbalan atas jasa patron yang senantiasa melindunginya. Dalam kasus reklamasi yang melibatkan Agung Podomoro, Ahok disebut-sebut memiliki kedekatan khusus dengan Agung Podomoro, bahkan tanpa sungkan, Ahok senang jika dipanggil “Gubernur Agung Podomoro”.

Kasus reklamasi yang ramai diperbincangkan publik saat ini, ditengarai merupakan kasus lama yang sudah ada sejak kepemimpinan gubernur Fauzi Bowo. Reklamasi kemudian tidak dilakukan apa-apa pada masa Joko Widodo dan kemudian diperbaharui lagi (dibuat perizinan) pada masa  kepemimpinan gubernur DKI Jakarta sekarang, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Ketua KPK, Agus Rahardjo yang menyatakan bahwa masalah reklamasi ini sudah dimulai sejak izin pertamanya dikeluarkan masa gubernur Fauzi Bowo, kemudian masa kepemimpinan Joko Widodo dan izin kembali mengenai pembangunan reklamasi ini dikeluarkan oleh gubernur DKI Jakarta, Ahok. Maka, sejak November 2015, Ahok kemudian mengusulkan kepada DPRD DKI tentang Raperda mengenai Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, salah satu isi baleid itu adalah akan mengatur sejumlah aturan antara Pemprov DKI dan pihak pengembang. Padahal usulan mengenai reklamasi ini sempat ditolak oleh DPRD DKI Jakarta sebanyak tiga kali, kemudian berujung pada penangkapan MSN oleh KPK.

Meskipun muncul penolakan dari masyarakat, selama menjabat gubernur, Ahok sudah mengeluarkan izin mengenai reklamasi pantai melalui empat surat perpanjangan persetujuan prinsip reklamasi yang ditandatangani sendiri olehnya, masing-masing: Surat Gubernur No. 544/-1.794.2 tentang Perpanjangan Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau F kepada PT. Jakarta Propertindo;2. Surat Gubernur No. 541/-1.794.2 tentang Perpanjangan Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci; 3. Surat Gubernur Nomor 540/-1.794.2 tentang Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau K kepada PT. Pembangunan Jaya Ancol, Tbk; 4. Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 542/-1.794.2 tentang Perpanjangan Izin Prinsip Reklamasi Pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra.

Saya kira, terdapat beberapa klausul yang menyiratkan “aroma korupsi” karena masih terdapat tarik ulur antara pihak “penguasa” dan “pengusaha”. Menurut sumber dari Pemprov DKI Jakarta mengenai Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, terdapat klausul, “Lima persen lahan dari luas pulau wajib diserahkan ke Pemprov DKI. Nantinya akan dikembangkan untuk penyediaan rumah susun menengah kebawah” dan belakangan –menurut versi Ahok—terdapat unsur keberatan para pengusaha untuk kewajiban membayar 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tiap proyek reklamasi yang diberikan kepada para pengembang.

Banyak usulan yang berkembang di masyarakat, agar persoalan perizinan reklamasi Teluk Pantai Utara Jakarta ini dihentikan, karena mengandung banyak unsur korupsi didalamnya. Tertangkapnya MSN mengindikasikan, bahwa praktek korupsi sudah terbukti mewarnai perjalanan persoalan perizinan mengenai pengembangan reklamasi ini. Yang sangat disesalkan justru, praktek “cuci tangan” yang tidak hanya dilakukan oleh Partai Gerindra terhadap kadernya yang tersangkut korupsi, dengan sengaja tidak memberikan bantuan hukum, bahkan membiarkan kadernya “mempertanggungjawabkan” sendiri perbuatannya. Model “cuci tangan” seperti ini seakan member kesan kepada masyarakat bahwa parpol sebenarnya tidak mentoleransi korupsi, padahal masyarakat juga sudah tahu, bahwa hal ini hanya upaya menutupi para kadernya yang korup, sehingga parpol tidak dicap sebagai “korup”.

Ahok juga mulai “cuci tangan” terhadap kasus yang melibatkan DPRD DKI Jakarta ini. Ahok menyatakan tidak ada kerjasama dengan APL, padahal justru APL sudah sejak lama memiliki kedekatan khusus dengan Ahok. Bahkan dari beberapa penulusuran media, Ahok beberapa kali melakukan pertemuan dengan pihak PT Muara Wisesa Samudera (MWS) yang ditengarai merupakan anak perusahaan dibawah PT APL. Hiruk-pikuk Pilkada DKI Jakarta ini seakan menjadi sebuah momen untuk saling menjatuhkan, saling memperkuat image politik dan korupsi sudah menjadi “idola” masyarakat untuk mengangkat citra atau menjatuhkan kontestan lainnya. Korupsi bukannya menjadi lawan bersama dalam kondisi-kondisi seperti ini, korupsi malahan menjadi “ruang” pembentukan opini publik terhadap siapa yang salah dan siapa yang benar yang hanya untuk pembenaran secara politik.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun