Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoal Jilbab Syar’i

30 Maret 2016   13:02 Diperbarui: 30 Maret 2016   13:25 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akronim “Jilbab Syar’i” menjadi sebuah neologisme dalam konteks budaya Islam Indonesia. Sebuah neologisme biasanya membawa kepada interpretasi baru, kesibukan baru bahkan kecemasan baru. Sebagai sebuah istilah, “Jilbab Syar’i” bisa saja menjadi contadictio in adjecto, dimana kata sifat yang menerangkan, yaitu “syar’i” dan kata benda yang diterangkan yaitu “jilbab” berada pada posisi kontradiksi secara logis. Untuk menyebut satu saja perbedaannya, bahwa kata “jilbab” memiliki konotasi budaya dan “syar’i” sendiri merupakan term agama. Akan semakin rancu jika istilah jilbab syar’i ini—dengan model jilbab yang panjang sampai menutupi badan—kemudian dihadapkan dengan jilbab konvensional (bukan syar’i?) yang hanya sekedar penutup kepala atau memanjangkan jilbab-nya sampai menutupi dada dan setengah badan misalnya. Lalu banyak orang bertanya, yang syar’i yang mana? Ini adalah kecemasan sebagian orang terhadap terminologi jibab syar’i itu sendiri.

Secara etimologi, kata “jilbab” merupakan “ism” atau “kata benda” dalam bahasa arab, jamaknya (plural) adalah “jalabib”. Dalam kamus bahasa Arab, kata “jilbab” mengandung banyak pengertian. Jilbab bisa berarti “qomis” atau pakaian, bisa juga berarti “khimar” atau kerudung atau bisa juga berarti “al-milhaf” semacam kain yang menutupi (menyelimuti) bagian atas baju perempuan. Maka dalam budaya Arab, orang “berjilbab” sangat beragam, ada yang hanya penutup kepala saja (rambut agak keliatan), ada yang menutupi semua badannya dengan jilbab, ada yang hanya menutupi kepalanya sampai sebatas dada.

Adapun kata “syar’i” merujuk pada asal kata “syara’a” berarti “thoriq” atau “jalan”. Maka ketika muncul istilah “syari’ah” berarti bahwa ia berkonotasi “jalan yang telah ditetapkan/digariskan Allah swt atas sesuatu hukum”. Maka kemudian muncul istilah-istilah seperti, “hukum syar’i” atau “zawaj syar’i” (pernikahan yang dilandasi hukum syari’at) dan hampir tidak ditemukan istilah “jilbab syar’i” dalam terminologi disiplin keilmuan Islam apapun. Mungkin saja istilah ini mengambil kepada model ketetapan sesuatu yang berdasarkan syariat, padahal melihat dari istilah “jilbab” sendiri tanpa diembel-embeli “syar’i” itu adalah syari’at yang telah ditetapkan Allah kepada wanita-wanita muslimah.

Saya sendiri belum tahu secara pasti, kapan, dimana dan oleh siapa istilah “jilbab syar’i” dipopulerkan atau dimunculkan ke publik. Karena istilah jilbab itu kemudian menggandeng kata “syar’i” dalam pengistilahannya, maka secara tidak langsung telah membuat konotasi sendiri bahwa ada jilbab yang non-syar’i (atau saya sebut jilbab konvensional) yang selama ini sudah dipakai atau dimodifikasi secara “fashionable” oleh para pemode jilbab di Indonesia. Lalu muncul pertanyaan, apakah yang memakai jilbab konvensional berarti tidak syar’i? Nah, ini menjadi polemik di masyarakat ketika istilah-istilah ini kemudian dihadapkan pada realitas sosial pada masyarakat muslim, khususnya Indonesia.

Mengenai perintah menutup aurat bagi perempuan muslim (berjilbab) sudah disebutkan al-Quran, surat al-Ahzab:59, bahwa Nabi saw diperintahkan Allah untuk menyuruh anak-anaknya, istri-istrinya dan semua wanita mukmin agar mengulurkan jilbabnya—menurut Ibnu Katsir pada awalnya hanya khusus diperintahkan untuk istri-istri Nabi saw dan anak-anaknya, untuk membedakan dari perempuan-perempuan Jahiliyah waktu itu, tetapi kemudian menjadi umum (at-Ta’mim ba’da al-Takhsish) ketika ada kalimat “wa nisaailmu’minina” (untuk wanita-wanita mu’min). Adapun Qotadah, Ubaidah, Ibnu Mas’ud, Hasan Bashri, Said bin Jabir, Ibrahim an-Nakho’i dan Atho al-Khurasani, sepakat menyatakan bahwa jilbab merupakan “pakaian/kain yang dipakaikan diatas kerudung” (arridaau fawqa al-khimari) mirip dengan baju kurung saat ini. Sedangkan al-Jauhari mendefinisikan jilbab sebagai “al-mulhafah” yaitu “pakaian panjang (mirip mantel atau selimut)”.

Perbedaan pendapat mengenai bagaimana seharusnya jilbab dikenakan sebetulnya berawal kalimat, “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihinna” (perempuan-perempuan (muslimah) diperintahkan untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuhnya). Menurut Muhammad bin Sirrin ketika menanyakan mengenai kalimat tersebut kepada Ubaidah as-Salmani menyatakan bahwa jilbab yang dimaksud adalah seluruh pakaian yang menutupi seluruh tubuh, wajah dan rambutnya, kecuali mata sebelah kiri yang terlihat. Adapun Ibnu Abi Hatim berdasarkan riwayat dari Az-Zuhri menyatakan bahwa jilbab hanya dikenakan kepada wanita yang sudah menikah saja, karena jika gadis memakai jilbab dikhawatirkan menyerupai wanita-wanita yang sudah merdeka atau sudah menikah.

Jadi asumsi saya, jilbab selain sebagai sebuah perintah syariat juga berkaitan dengan norma dan budaya bangsa Arab waktu itu, dilihat dari beberapa perbedaan pendapat mengenai konteks jilbab itu sendiri. Hal ini sebagaimana diceritakan kembali oleh Imam as-Sudaiy ketika menafsirkan surat al-Ahzab: 59 bahwa asbabunnuzul (sisi historis turunnya ayat) berkaitan dengan sekelompok orang yang di Madinah yang keluar menjelang malam. Mereka  ketika bertemu dengan wanita-wanita miskin yang lemah diantara penduduk Madinah, mereka (para lelaki) menggodanya, tetapi memberikan perlakuan berbeda kepada wanita yang berjilbab atau tidak. Jika wanita itu berjilbab, maka mereka (para lelaki) itu berkata, “ini wanita merdeka, biarkan dia lewat”. Tetapi ketika yang ditemui adalah wanita tidak berjilbab, maka mereka berkata,”Ini adalah budak, maka dekatilah mereka”.

Dengan demikian, jilbab menurut saya merupakan syariat Islam yang menjadi “pakaian kehormatan wanita” jika dilihat dari sisi budaya, karena dengan menutup aurat, wanita akan terhindar dari fitnah (godaan, cemoohan, atau pelecehan). Adapun mengenai bentuk, model, corak atau sisi eksotis lainnya dari model jilbab adalah “produk budaya” bukan “produk syar’i” apalagi mengklaim bahwa jilbab syar’i adalah yang sudah menjadi “produk budaya” sekarang ini, sehingga mempertentangkan dengan jilbab konvensional yang dianggap “tidak nyar’i”. Asumsi saya, jilbab dari zaman dulu sampai sekarang itu sudah menjadi tuntutan syari’at sebagaimana firman Allah pada surat al-Ahzab:59, sehingga tidak perlu ada dikotomisasi antara jilbab syar’i dan non-syar’i.

Jadi dengan demikian, berjilbab merupakan upaya menutupi aurat yang ada pada wanita mu’min. Jika dulu zaman Jahiliyah bahwa wajah merupakan bagian dari pemicu timbulnya fitnah dari laki-laki, maka Nabi saw kemudian membatasi apa saja yang boleh terlihat dari wanita mu’min, yaitu bagian wajah dan telapak tangan. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Nabi saw pernah menegur Asma binti Abu Bakar yang berkunjung ke rumah Nabi tapi dengan baju yang tipis, sehingga Nabi saw kemudian berpaling dan menyuruh Asma untuk menutup auratnya seraya menyebutkan bahwa yang boleh dilihat hanyalah wajah dan telapak tangan.

Wallahu a’lam bisshawab

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun