Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahaya Deepfake dan Voice Cloning

4 April 2025   10:20 Diperbarui: 4 April 2025   10:20 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi deepfake dan voice cloning. (Gambar dihasilkan dengan Dall-E) 

Beberapa hari terakhir, beredar video Presiden Prabowo Subianto mengumumkan program bantuan tunai bagi masyarakat. Wajahnya meyakinkan. Suaranya nyaris sempurna. Tapi nyatanya, itu palsu. Bukan pernyataan resmi, melainkan hasil manipulasi deepfake. Dalam waktu hampir bersamaan, viral pula percakapan telepon antara dua figur publik---suaranya autentik, tapi emosinya datar, beku. Karena ternyata, itu bukan manusia yang berbicara. Itu mesin.

Kita sedang menghadapi teknologi yang tak lagi bertanya pada realitas, tapi menantangnya. Deepfake dan voice cloning adalah produk dari kecerdasan buatan yang berhasil meniru manusia, bukan untuk memahami, tetapi untuk mengimitasi secara brutal. Teknologi ini mampu menyalin wajah dan suara dengan presisi menyeramkan. Ia tidak sekadar menciptakan kebohongan, ia menciptakan replika kepercayaan.

Dalam masyarakat pasca-kebenaran (post-truth society), yang dikaburkan bukan sekadar isi pernyataan, tapi identitas penyampainya. Kebenaran dibatalkan oleh kemiripan. Kita tak lagi bisa berkata "melihat berarti percaya", atau "mendengar berarti menerima". Karena apa yang dilihat dan didengar, bisa jadi hanya simulasi dari niat jahat yang dikemas secara canggih.

Data menunjukkan bahwa ini bukan sekadar kekhawatiran. Ini epidemi digital. Di Indonesia, menurut VIDA (PT Indonesia Digital Identity), sebuah perusahaan penyedia layanan identitas digital berbasis teknologi, kasus penipuan berbasis deepfake melonjak 1.550% dalam kurun 2022--2023. Di Amerika Utara, peningkatan mencapai 1.740% dalam satu tahun. Setiap lima menit, satu serangan deepfake terjadi di dunia. Secara global, 6,5% dari seluruh penipuan digital kini menggunakan rekayasa visual dan suara. Teknologi ini telah berpindah tangan: dari laboratorium ke ruang kejahatan.

Dan modusnya tidak lagi sederhana. Ada voice cloning yang meniru suara CEO dan memerintahkan staf untuk mentransfer dana. Ada deepfake video yang menampilkan selebritas menganjurkan investasi fiktif. Bahkan ada rekaman suara "anak" yang konon diculik dan meminta tebusan---padahal hanya hasil olahan mesin. Ini bukan penipuan biasa, ini bentuk baru kriminalitas yang menyerang rasa percaya.

Namun hukum, seperti biasa, tertinggal. Regulasi tertatih mengejar laju inovasi. Perundangan belum mampu mendefinisikan siapa yang bersalah ketika suara palsu memberi perintah nyata. Kita hidup di zaman di mana hukum dibentuk oleh analogi, tapi kejahatan bergerak dengan algoritma.

Kita tak bisa lagi hanya bergantung pada negara atau aparat. Kewaspadaan harus menjadi proyek kolektif. Literasi digital harus naik kelas: dari sekadar tahu cara pakai gawai, menjadi peka terhadap tipu daya digital. Lembaga keuangan dan media pun harus memperkuat verifikasi multi-lapis. Karena ke depan, yang dipalsukan bukan hanya wajah atau suara, tapi juga niat dan kebijakan.

Demokrasi membutuhkan akal sehat yang jernih, tapi hari ini, akal sehat saja tidak cukup. Ia harus diperkuat oleh kecerdasan skeptis yang mampu menolak tipu daya visual dan suara yang menyesatkan. Di tengah ledakan konten palsu, publik tidak boleh jadi audiens pasif. Kita harus jadi verifikator, bukan hanya penonton. Sebab ketika yang palsu tampil lebih meyakinkan daripada yang asli, maka yang dibutuhkan bukan teknologi tandingan, tapi kesadaran kritis yang tak bisa dipalsukan.

Maka, inilah waktunya: untuk tidak sekadar kagum pada teknologi, tapi curiga pada potensinya merusak. Untuk tidak hanya mengagumi kecerdasan buatan, tapi juga menjaga kecerdasan manusia. Karena dalam dunia di mana wajah bisa disalin dan suara bisa dicuri, satu-satunya yang tak bisa diduplikasi adalah nalar kritis yang jujur.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun